Angkringan Garis Keras

Apa yang terbersit segera dalam benakmu ketika mendengar kata “Angkringan”. Saya akan segera berteriak dengan nyaring “Murah, kenyang!”. Yak, gerai (anjrit, gerai) angkringan mulai ada di sudut-sudut kota; tak terkecuali Jakarta. Menilik jam operasionalnya dari sore hingga jelang dini hari juga harga makanan yang tergolong murah, keberadaannya menjadi kandidat nomor satu tempat makan paling dicari dan juga sebagai senjata pamungkas bagi yang kantongnya mulai reseh di akhir bulan, termasuk saya.

Angkringan  berasal dari suku kata bahasa Jawa ‘ Angkring’ yang berarti alat dan tempat jualan makanan keliling yang pikulannya berbentuk melengkung ke atas; macam pikulan soto atau sate Madura. Hanya saja sekarang sudah berganti menjadi gerobak, untuk lebih memudahkan mobilitasnya. Ada macam penyebutan untuk tempat makan yang identik dengan rakyat kecil ini. Di Yogyakarta terkenal dengan nama Angkringan, sementara di Solo dengan HIK (Hidangan Istimewa Kampung) dan di Semarang punya nama Kucingan.

Bagi saya angkringan merupakan sebuah legenda atau bahkan boleh saya tahbiskan sebagai “juru selamat” ketika dulu menjadi tenaga magang sebuah kursus komputer di kota asal pak Presiden. Ketika lapar melanda dan dompet makin tipis isinya, prinsip ekonomipun berlaku bagi saya. Sedikit pengeluaran, tetapi perut terselamatkan.

Janganlah berpikir terlalu rumit tentang hitung-hitungan kandungan nilai gizi maupun vitamin apa saja dalam sebungkus Sego Kucing, yang penting kebutuhan karbohidrat terpenuhi. Lupakan juga kelezatan ala restoran mewah. Tidak ada batu nyelip di sebungkus nasi saja sudah bersyukur. Paling tidak saya tidak ditemukan mati kelaparan di dekat bak sampah, dan menjadi tajuk berita koran picisan. Hahaha…

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Nasi kucing dan teman-temannya

Kebiasaan makan di angkringan tetap menjadi agenda tersendiri buat saya; penikmat angkringan bebas boleh makan sambil tiduran ataupun mengangkat kaki di bangku kayu panjang. Make yourself comfortable, begitu bahasa kerennya. Disini juga kadang ide-ide brilian (baca: gila) malah sering mengalir, kami bebas berdiskusi tentang apapun juga. Dari teknologi mutakhir hingga gagap teknologi, dari traveling ke Raja Ampat hingga Polewali Mandar kota yang selalu disebut di berita kriminal tengah malam, dari Musdalifah mantan istri Nazar yang cerai dengan suaminya lagi hingga pernikahan Raisa dan Hamish Daud yang sukses bikin baper para lelaki se-Indonesia. Disini dengan teman-teman tidak ada batas dalam bersendau gurau – kami dengan lancar misuh-misuh. Perbendaharaan kata-kata pisuhan seakan mengalir, setelah selama ini bagai terbelenggu.

Angkringan, sekarang banyak ragamnya. Dia ber-metamorfosa dari yang masih bertahan dengan gaya orisinil hingga penyajian makanan ala kafe. Semuanya dikemas unik demi kebutuhan pasar. Tempat ini memang variatif pengunjungnya. Saya tidak perduli apakah dia tukang bangunan, tukang ojek, artis, tukang becak, pengusaha atau pejabat sekalipun. Pokoknya ketika mereka memasuki gerobak bertutup terpal plastik berlampu teplok atau senthir ini, mereka bukan siapa-siapa. Status kita setara.

angkringan-mas-jo
Angkringan mas Jo

Saya pribadi lebih menyukai angkringan orisinil. Menikmati nasi kucing tidak enak jika independent, mesti ditemani teman-teman seperjuangan macam penganan gorengan, sate usus, sate paru, sate telur puyuh lengkap dengan kopi joss ataupun wedang jahe. Berdasarkan permintaan kita, semua makanan ini bisa dipanaskan kembali. Tak lupa anglo memanaskan ceret yang sudah hitam karena jelaga, sepertinya akan membawa saya menuju lorong waktu. Kembali ke jaman dulu.

Sebenarnya tidak ada makanan yang istimewa di angkringan. Tetapi yang membuat orang-orang kembali makan disini mungkin karena alasan romantisme, keramahan dan kesederhanaannya yang menjadi pemikat dan pengingat. Selama tungku dan minuman masih hangat, maka selama itu pula keramah tamahan suasana angkringan akan tetap kita dapatkan. Saya berharap suatu saat nanti, ada sutradara film yang mengambil setting adegan romantis dan tempat makannya di angkringan, bosan di kafe melulu.

Terima kasih untuk Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Klaten yang dipercaya sebagai cikal bakal angkringan, juga Mbah Pairo dan Lik Man sebagai pionir Angkringan di Yogyakarta. Tanpa nama yang saya sebutkan, saya tidak akan pernah bisa menabung… Lha apa hubungannya coba?

11 Replies to “Angkringan Garis Keras”

  1. Sek sek, kata angkring bukannya dr kata metangkring alias duduk di atas dingklik ato bangku mas? Pernah baca embuh dr sumber mana lali. Ada yg mengatakan seperti itu hehe.

    Bener sih, rasa itu urusan belakangan. Sing penting wareg wkwkwk

    Like

    1. Lha aku berdasarkan informasi dari wikipedia, mas; kalau nemu sumbernya sik bahas itu boleh di-share yo, mas

      Naah, kalau angkringan sik kekinian beberapa rasanya juga sudah enak – karena yang jual sudah me-modifikasi konten nasi kucingnya

      salam kucingan, mas Jo

      Like

  2. Makan d angkringan tu gak bikin kenyang, klo mnurut aku bukanya hemat malah boros. Tapi aku suka sih, terutama angkringan yg lauk sate-satenanya lengkap, gorengannya enak2. Terus ada musik livenya yg bkin romantis.

    Liked by 1 person

    1. Mesti 3 bungkus nasinya kalau mau kenyang, kak. Naah lauk pauknya tuh yang bikin jadi lebih nafsu makan… Hehehehe.

      Kumpul-kumpulnya itu lho yang bikin kangen nongkrong di warung angkringan.

      Salam.

      Like

  3. setahu ku angkringan dari kata nangkring ( tempat duduk / nongkrong) tapi apalah namanya pokoknya angkringan udah menjadi soulmate gue …. idolaque bgt apalagi wedang jahenya….uuh delicious

    Liked by 1 person

Leave a comment