Hening danau Baru Klinting

Siapa yang tak mengenal Rawa Pening? Sebuah kawasan rawa yang lebih tepat disebut danau ini mempunyai luas kurang lebih 2670 hektare, terbentuk oleh alam dan menjadi hulu bagi Sungai Tuntang. Sejak beberapa tahun lalu danau ini hampir seluruh permukaannya tertutup eceng gondok (Eichornia crassipes). Padahal ketika aku masih kecil, masih terlihat banyak para nelayan mencari ikan di danau ini. Kondisi ini tampaknya hampir sama seperti yang terjadi di danau Limboto – Gorontalo, yang mengalami pendangkalan hebat karena pergerakan tanaman gulma yang tak terkontrol.

Pergi ke tempat ini bagaikan sebuah ritual tersendiri bagiku. Menikmati pagi hari, apalagi ketika menjelang matahari menyingsing, dimana tempat ini masih senyap dalam keheningan. Merekam suara kecipak air dimana terlihat ikan-ikan kecil berloncatan di permukaan air, yang ditingkahi suara kumbang dan semilir lembut sejuknya angin pagi. Aku membebaskan segala imajinasi dalam benakku di keheningan – bahkan imajinasi terliar sekalipun.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Hening

Menyepikan diri, bermeditasi dalam rengkuhan sisa-sisa dinginnya udara malam. Aku seperti menyatu dengan aura ketentraman disini.

Apalagi ketika mulai tampak semburat warna oranye di ufuk timur. Pertanda bahwa Sang Surya akan segera memperlihatkan wajahnya seperti mata dewa, begitu syair lagu Iwan Fals menggambarkannya. Tsaaah…

Tak lepas dari pengamatanku, beberapa nelayan melajukan perahunya ke tengah danau. Mereka akan mencari ikan atau melihat karamba miliknya. Ada yang berperahu motor ataupun perahu dayung. Para nelayan mulai aktifitas mencari ikan di pagi hari, karena ketika hari sudah siang tempat ini mulai ramai dikunjungi pelancong. Deru mesin perahu beradu dengan suara burung-burung kecil yang terbang, demi mencari makan.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Aku berjalan menyisir tepian danau, mengambil foto dengan kameraku sembari menunggu matahari muncul di batas cakrawala. Kadangkala aku bertemu dengan satu dua orang yang sedang memancing ikan. Tampak di kantung plastik mereka beberapa ikan air tawar tangkapan mereka. Hingga akhirnya aku berhenti di salah satu sudut danau, dimana berderet beberapa perahu milik para nelayan. Aku bergegas menemui satu orang nelayan yang sedang sibuk dengan perahunya. Tampaknya ia sedang bersiap untuk berangkat menjala ikan.

“Kami mulai menjala ikan ataupun mengurus keramba pagi hari, mas. Di siang hari kami bekerja di ladang, dan menjual hasilnya ke pasar.” kata Sanip seorang nelayan yang kutemui pagi itu.

Guratan keriput di wajahnya menandakan dia sudah cukup berumur. Ia berkulit gelap dengan otot-otot menyembul di beberapa bagian badannya. Dengan sigap ia mempersiapkan perahunya, dan dengan sekali hela perahu kecil berwarna biru itu sudah melaju diantara rapatnya tanaman eceng gondok.

“Mari, mas. Saya ke tengah dulu ya. Mau cari ikan,” katanya setengah berteriak.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Sanip dengan perahunya

Sambil menatapnya akupun melambaikan tangan, dan melanjutkan mengambil beberapa foto. Bagiku, semangat para nelayan ini untuk bekerja keras adalah sebuah pelajaran berharga – bahwa berkat itu harus diupayakan; tanpa kita bekerja jangan harap kita bisa menyambut hari depan.

Matahari tampak beringsut lebih tinggi dari batas cakrawala di ujung timur. Aku bisa melihat bulatan yang masih berwarna kuning lembut itu lewat pantulan di tengah danau. Ciamik sekali. Beberapa orang sudah tampak berhilir mudik di tempat ini. Mereka sepertinya akan melakukan aktifitas olah raga. Sebentar lagi akan mulai ramai, pikirku.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Saat ini, danau yang akrab dengan cerita legenda Baru Klinting ini sedang berbenah mempercantik diri. Target untuk menjadi tempat wisata kelas dunia tampaknya patut didukung berbagai elemen. Perubahan ini sudah tampak daripada ketika terakhir kali aku menyambangi tempat ini di pertengahan tahun. Aktifitas hilir mudik dua kapal keruk yang cukup besar sedikit menyita perhatian beberapa orang. Dari informasi yang kudapatkan, kapal-kapal keruk ini ternyata milik swasta yang disewa dan dipekerjakan oleh pihak PEMDA setempat mengeruk sedimentasi dan tanaman gulma di Rawa Pening. Suara deru mesin diesel kapal memecah keheningan Rawa Pening di pagi menjelang siang itu.

Setengah berbisik aku berbicara kepada diriku sendiri.

“Aku harus seperti Rawa Pening, terus berbenah dan mempercantik ganteng diri dari dalam. Supaya banyak orang akan merasakan kenyamanan dan riak kehidupan ketika bersama denganku”.

Rawa Pening, bersoleklah dan percantik dirimu. Buatlah kami para pemujamu untuk kembali datang dan berbagi cerita denganmu.

6 Replies to “Hening danau Baru Klinting”

Leave a comment