Satu hari di negeri Para Dewa

Let’s find some beautiful place to get lost. Sederet kalimat yang dikirim sebulan lalu oleh Nita, teman perjalananku. Aku tersenyum membaca pesan itu di gawaiku, sementara saat ini aku tengah berada di sebuah minibus yang berjalan pelan melewati jalan menanjak dan berkelok menuju Dieng. Asap hitam sisa pembakaran bahan bakar tampak mengepul pekat keluar dari knalpot bis. Aku memutuskan untuk berangkat sendiri, sementara Nita gagal berangkat karena tidak mendapatkan ijin cuti dari kantornya. Padahal kita berdua sudah merencanakan untuk pergi berpetualang ke Dieng jauh hari. Kami berdua memang doyan traveling.

Merencanakan traveling itu sangat seru dan tentu saja laman Skyscanner menjadi andalanku untuk mencari tiket pesawat promo. Ia memiliki fitur pencarian dengan membandingkan ratusan laman travel agent yang menjual tiket pesawat murah lainnya, jadi aku pasti mendapatkan tiket pesawat dengan harga termurah di bulan yang termurah juga. Otomatis biaya yang kukeluarkan untuk beli tiket pesawat semakin irit.

Yogyakarta menjadi kota tujuanku, sebelum melanjutkan perjalanan ke Magelang dan selanjutnya menuju Wonosobo. Dataran Tinggi Dieng berketinggian diatas 2000 mdpl dan berhawa sejuk. Dengan panorama yang memanjakan mata, juga aura mistis serta banyak mitos yang kental terlalu sayang untuk dilewatkan. Aku segera menuju penginapan yang murah, nyaman dan cukup bersih yang sudah kupesan beberapa hari sebelumnya.

“Mas Leman, tolong bikinkan aku nasi goreng dan teh panas manis ya. Gulanya sedikit saja. Saya mandi dulu,” pintaku ke Leman, penjaga penginapan tempatku menginap.

“Baik, Mas.” jawabnya.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Sunrise bukit Sikunir

Malam itu kuhabiskan waktu berbincang dengan Leman sembari makan. Ia bercerita tentang Dieng yang makin ramai, mitos anak rambut gimbal, hingga cerita tentang kawah Sileri yang belum lama meletus sungguh menarik dan aku antusias mendengar celotehannya. Malam semakin kelam hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidur. Dinginnya udara pagi Dieng yang berhembus terasa menusuk tulangku ketika dibangunkan Leman saat subuh. Pagi itu puncak Bukit Sikunir aku pilih untuk menikmati matahari terbit. Leman berbaik hati meminjamkan motornya untuk aku bawa sendirian ke Bukit Sikunir, sementara dia melayani tamu yang lain. Aku percaya bahwa masih banyak orang baik yang akan kita temui dalam setiap perjalanan. Motor kulajukan dengan cepat menembus kabut bersamaan dengan sedikit gerimis kecil yang mengguyur; dan tak disangka ternyata aku salah memilih jalan yang bercabang hingga akhirnya tersasar cukup jauh. Beruntung ada penduduk yang memberikan arah yang benar. Terbukti kan bahwa orang baik itu masih ada?

Bukit Sikunir adalah salah satu tempat terbaik melihat matahari terbit di negeri ini. Sayangnya, hanya kurang dari satu menit saja matahari memperlihatkan pendar sinarnya dari celah awan, karena cuaca yang tak begitu cerah. Tanpa menunggu lama, aku segera menuruni bukit. Tujuanku selanjutnya adalah kawasan candi. Candi-candi itu berdiri kokoh berlatar belakang langit yang biru dalam kesunyian sisa malam, dapat kurasakan aura magis di sekeliling candi ini. Bangunan ini menjadi penanda dan pengingat jaman akan masa dimana dinasti Sanjaya pernah berkuasa.

Aku membebaskan segala imajinasiku, bahkan imajinasi terliarku. Membayangkan aku hidup di jaman saat pembangunan tempat pemujaan ini. Dengan segala keterbatasan teknologi waktu itu, tetapi para raja dapat menyelesaikan pekerjaan candi ini dengan sempurna. Tentunya tak habis di pikiranku. Kalian pernah berpikir hal yang sama denganku? Sungguh hebat bukan? Menurut cerita Leman yang pernah kudengar, konon astronaut NASA pernah melihat sinar yang sangat terang dari bumi yang dilihatnya dari angkasa. Ternyata, setelah diteliti berasal dari kawasan Dieng ini. Entah kebenaran berita ini dapat dibuktikan atau tidak.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Bangunan dalam keheningan

Rasanya tak ingin aku kembali pulang, tetapi aku harus kembali ke Jakarta siang ini. Bersama para dewa di sini aku mendapatkan banyak pesan dan petuah, untuk kubawa ke tengah para manusia milenial yang mungkin sudah untuk jangan pernah  lupa akan kekayaan budaya bangsanya.

Berlarik-larik cerita dan inspirasi memenuhi rongga kepalaku. Banyak cerita yang aku dapatkan, dan seharusnya sesegera mungkin aku tuangkan dalam aksara. Cerita tentang Leman dengan kesederhanaannya, tentang kegemarannya memakan beras mentah dan tentu saja cerita-cerita mistis serunya. Kesendirian dan kesunyian candinya, senyum ramah penduduknya, cerita mitos anak berambut gimbalnya, akan membuatku selalu merindu untuk kembali ke Dieng. Seperti Henry Miller pernah berkata “One’s destination is never a place, but a new way of seeing things”, aku pun sekarang melihat Dieng dengan pandangan yang berbeda.

6 Replies to “Satu hari di negeri Para Dewa”

    1. Benar, mas. Pesona Dieng tak ada habisnya untuk dijelajahi. Hanya sekarang saking terlalu banyak signage ala ala Hollywod di beberapa tempat wisata malah sepertinya mengganggu.

      Salam kenal juga, mas. Terima kasih sudah mampir

      Liked by 1 person

Leave a comment