Wanita Tangguh Pemetik Daun Teh

Matahari belumlah menampakkan dirinya pagi itu. Sinarnya tertutup awan kabut yang menggelayut sepanjang subuh. Aku melihat dari jendela kamarku, di kejauhan tampak sekelompok orang yang berjalan beriringan menembus hamparan kebun teh. Pagi itu hawa cukup dingin menusuk tulang. Tetapi orang-orang itu sudah keluar rumah dan berjalan kaki entah kemana.

Hampir semuanya mengenakan pakaian berlapis. Untuk mengusir hawa dingin, pikirku. Usia mereka rata-rata tigapuluhan ke atas. Terlihat pula beberapa anak kecil yang digendong ataupun juga berjalan kaki.

Demi membunuh rasa penasaran, aku memutuskan keluar dari penginapan dan mengikuti kemana perginya kelompok orang-orang ini. Tak lupa jaket tebal aku pakai, demikian juga sarung tangan berbahan wool sebagai penghangat badan.

Ternyata mereka adalah para pekerja lepas harian yang bekerja sebagai pemetik daun teh di kawasan perkebunan teh PT. Tambi. Pekerja yang kebanyakan wanita ini terlihat sangat ceria. Sendau gurau dan obrolan ringan menghiasi sepanjang jalan setapak yang makin menanjak menuju tempat kerja mereka.

Perkebunan teh ini menghampar luas lebih dari 800 hektar berada di ketinggian 800-2000 mdpl (meter diatas permukaan laut) di kaki gunung Sindoro, Wonosobo, Jawa Tengah.

00__P5860910
Para pekerja pemetik daun teh berjalan beriringan

Wanita-wanita buruh pemetik daun teh ini mempersiapkan diri begitu sampai di pinggir blok kebun teh yang sudah siap dipetik.

Dengan bersegera mereka mengambil glangsing (karung plastik bekas pembungkus beras atau pupuk) dan mengikatnya di pinggang dengan tali rafia untuk melapisi pakaian mereka. Ini dimaksudkan untuk melindungi tubuh mereka dari goresan batang atau dahan pohon teh yang bercabang rendah. Tak ketinggalan  sarung tangan dan topi caping dari anyaman bambu untuk menutup tangan dan kepala.

Mereka bersegera memetik daun teh dan memasukkannya ke dalam bakul dari anyaman bambu yang dibawa di punggung mereka. Bakul itu berukuran cukup besar, mampu menampung daun teh hasil petikan hingga lebih dari 5 kg. Sesekali teriakan sang mandor kebun terdengar memecah keheningan untuk menyuruh para pekerja memetik teh dengan lebih cepat.

Kelompok lainnya juga terlihat memetik daun teh di titik-titik perkebunan yang telah ditentukan sang mandor.

Mumun, salah seorang wanita pemetik daun teh menarik perhatianku sejak dalam perjalanan tadi.

Ia membawa serta anak perempuannya yang masih kecil, dan menitipkannya pada tukang jualan kopi yang berada di tempat penimbangan. Mumun terlihat sangat terampil dan cekatan memetik helai demi helai daun teh terbaik. Tangannya bagaikan mempunyai mata menelusuri setiap pucuk –pucuk daun yang ada.

Tak menunggu waktu lama bakul anyaman bambu di punggungnya terisi penuh dan siap ditimbang. Dihitung. Itu adalah timbangan pertama Mumun yang nantinya akan dijumlahkan dengan seluruh hasil timbangannya hari itu.

00__P5870044

“Daun harus dipetik pagi hari sebelum embun yang menutupi daun teh hilang karena sinar matahari. Ini adalah petikan daun yang terbaik. Harga per kilonya berbeda dengan petikan selanjutnya. Tergantung dari kualitas daun teh yang dipetik. Kalau hari sudah mulai panas dan embunnya hilang, itu tandanya daun sudah tidak segar lagi,” Mumun menuturkan sambil terus melanjutkan memetik daun teh.

“Tiap hari saya memetik daun teh kurang lebih hingga 100-150 kg. Per kilogramnya dihargai Rp350. Pencairan upah kami dilakukan mingguan tiap hari Sabtu,” lanjut wanita berusia 38 tahun yang sudah 7 tahun berprofesi sebagai buruh lepas pemetik daun teh.

Ia kembali ke tempat penimbangan untuk mengumpulkan hasil petikan daun teh yang ke sekian kalinya.

Sambil menghampiri anaknya ia beristirahat sejenak dan meneguk minuman dari termos yang ia bawa dari rumah.

Mumun terlihat menikmati kehidupannya saat ini, walaupun aku tahu upah yang ia terima beserta teman-teman kelompoknya jauh dari upah minimum. Pun juga resiko yang harus mereka hadapi kadangkala terpeleset mengingat area kerja mereka berada di tanah yang berkontur miring. Sepanjang hari selama bertahun-tahun ia dan kelompoknya melakukan pekerjaan selaku buruh pemetik daun teh hingga saat ini.

00__P5870094
Menimbang hasil petikan

Buruh wanita pemetik daun teh ini adalah sekian banyak wanita tangguh dan sepatutnya mereka mendapatkan upah yang sesuai dengan apa yang mereka kerjakan. Tetapi lain dengan kenyataan yang ada di lapangan, seringkali upah tenaga kerja di perkebunan terjadi perbedaan yang cukup kontras.

Sebagai tenaga buruh, pengupahan tenaga kerja pria dibayarkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan upah tenaga kerja wanita. Masih terdapat ketimpangan atau tidak terjadi kesetaraan antara buruh pria dan wanita.

Apakah ini terjadi akibat dari kebanyakan buruh wanita tidak mempunyai pendidikan formal, putus sekolah atau bahkan buta huruf sehingga mereka dianggap sebagai buruh kelas dua? Apakah mereka tidak berhak mendapatkan kesetaraan?

Padahal jika menilik dari penjelasan salah satu mandor perkebunan, buruh wanita bekerja lebih telaten ketika mereka memetik daun teh.

Berdasarkan standar analisis petikan daun teh, tidak sembarang daun yang dapat dipetik. Ada rumusan tertentu yang harus diikuti oleh para pekerja, untuk mendapatkan kualitas terbaik sesuai harapan dari manajemen perkebunan. Buruh wanita menjadi andalan selain mereka mudah diarahkan oleh para mandor, mereka dapat menghasilkan hasil petikan daun yang halus. Berbeda dengan hasil petikan daun teh yang dikerjakan oleh buruh pria, cenderung kasar dan lebih banyak daun yang tua.

Itulah mengapa lebih banyak tenaga buruh wanita jika dibandingkan dengan buruh pria di setiap perkebunan teh.

00__P5870078
Hasil petikan siap diangkut menuju pabrik untuk kemudian diolah

Perjuangan buruh wanita sebagai pemetik daun teh dalam hal kesetaraan hak sepertinya akan terus bergulir. Entah sampai kapan.

Kedudukan mereka tidak jauh berbeda seperti pada masa kolonial Belanda, yaitu sebagai tenaga borongan harian. Selama perhatian pemerintah belum sepenuhnya memperhatikan hak-hak mereka, maka Mumun dan teman-teman seprofesinya akan tetap menjalani kehidupannya seperti yang sekarang.

Mereka sudah berusaha mengajukan perbaikan upah kepada pihak perusahaan, hanya saja belum ada tindak lanjutnya.

“Daripada nggak ada pekerjaan, mas. Ya diterima saja…” sahut Mumun sambil tersenyum.

Kali ini ia beristirahat sambil membuka bekal makan siang yang ia bawa dari rumah. Satu iris telur dadar, tempe goreng, sayur bayam dan sambal – adalah makan siangnya hari itu. Sambil menyuapi anak perempuannya sesekali ia bercanda dengan kawan-kawannya yang lain. Tawa canda lepas mereka sejenak melepaskan beban.

Sementara di sisi lainnya, masih terlihat hilir mudik pekerja yang menimbang hasil petikan mereka siang itu.

00__P5860923
Salah satu blok perkebunan teh

Mumun dan teman-teman buruh lainnya mereka adalah sosok wanita-wanita perkasa dan tangguh.

Para perempuan juara.

Mereka sedang berjuang untuk perlakuan dan pandangan kesamaan haknya di dalam pekerjaan mereka sebagai buruh pemetik daun teh. Tentunya ini bagaikan jalan terjal dan berliku. Harapan mereka adalah ada secercah harapan untuk apa yang mereka tengah perjuangkan. Pihak perusahaan sebaiknya peka dan menaruh perhatian akan nasib pekerja lepas ini.

Ketika kita asyik menyeduh dan menikmati secangkir teh kala pagi atau sore hari di teras rumah, ingatlah bahwa mungkin itu hasil petikan tangan Mumun dan pemetik daun teh lainnya.

*Artikel ini sedang diikut sertakan dalam lomba menulis yang diadakan oleh C2live dengan tema “Perempuan Juara Dalam Lingkungan Kerja”

5 Replies to “Wanita Tangguh Pemetik Daun Teh”

Leave a comment