Menapak Jejak Para Dewa di Negeri Kahyangan

“Dari batu-batu penyusun candi yang berusia ribuan tahun dan pahatan relief karya agung nenek moyang, dari sanalah kita mengambil pelajaran berharga tentang kehidupan.”

Melangkahkan kaki melewati jalan setapak dengan jajaran pohon dan rumput hijau di kiri dan kanan kompleks Candi Arjuna – Dataran Tinggi Dieng seperti menyusuri lorong waktu. Menilik sebentar ke perjalanan masa silam. Hawa dingin seketika menyergap dan aura mistis begitu kental terasa. Di ketinggian 2093 mpdl dengan luas situs purbakala ini mencapai lebih dari 90 ha, menjadikan perjalanan kali ini serasa berbeda.

Di area sebelah kanan tak jauh dari pintu masuk kompleks candi kita akan menemukan reruntuhan darmacala. Darmacala merupakan rumah singgah atau tempat peristirahatan peziarah yang terletak di dekat kompleks candi. Pada masa itu para pemuka agama atau bangsawan Hindu menempuh perjalanan jauh dari wilayah Jawa bagian barat dan timur untuk melakukan ritual-ritual keagamaan. Mereka singgah dalam waktu cukup lama dan tinggal di darmacala, dimana mereka mempersiapkan diri serta menyiapkan berbagai kelengkapan ritual.

Area darmacala sendiri sangat luas, mengikuti kompleks bangunan candi yang ada dan terdapat tembok yang mengelilinginya. Hal ini dimaksudkan sebagai pagar pembatas, karena tak semua kasta bisa memasuki halaman atau pemukimannya yang dikhususkan untuk kasta Brahmana dan Ksatria. Saat ini batu-batu yang disusun mengelilingi darmacala masih dapat kita temukan walau sudah tak utuh lagi, juga dapat ditemukan replika bangunan darmacala. Di bagian utara darmacala, terdapat sendang Sedayu yang dahulu dipergunakan untuk penyucian dan memenuhi kebutuhan air para peziarah.

00__P5870166
Replika darmacala dan tembok pagarnya

Langkah kaki penjelajahan berlanjut menuju kompleks utama Candi Arjuna dimana berdiri empat bangunan candi yang berjajar lurus dari utara ke selatan yaitu Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Sembadra dan Candi Puntadewa. Hingga saat ini nama candi yang sebenarnya tak diketahui. Penamaan candi berdasarkan nama-nama pewayangan ini dipercaya dilakukan pada abad ke 12 berdasarkan epos Mahabharata oleh penduduk Jawa. 

Begitu pula sejarah dan raja yang membangunnya pun tidak banyak terdapat dalam penulisan sejarah. Langkanya prasasti atau catatan data terkait dengan masa pembangunan candi-candi ini menjadikannya kabur. Hanya tercatat sebuah penemuan prasasti bertahun 808 – 809 M,  yang menjelaskan bahwa kumpulan candi Hindu beraliran Siwa ini dipercaya dibangun pada abad 8 M dimasa Mataram Kuno oleh dinasti Sanjaya. Fungsi utamanya sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa serta meletakkan abu para raja pada masa itu.

Baca juga: 12 Lagu Teman Perjalanan

Keempat candi utama yang dipakai untuk melakukan ritual keagamaan ini kesemuanya menghadap ke arah barat. Sementara Candi Semar yang berdiri menghadap ke arah Candi Arjuna merupakan candi sarana dimana ia berfungsi sebagai tempat berkumpul peziarah dan juga gudang untuk mempersiapkan perlengkapan pemujaan.

00__P5870174
Kompleks candi Arjuna

Kompleks candi di Dataran Tinggi Dieng diperkirakan merupakan bangunan keagamaan tertua yang masih ada di pulau Jawa. Kompleks bangunan ini terbagi menjadi 3 kawasan candi yaitu Arjuna, Gatotkaca, Dwarawati dan candi yang berdiri sendiri yaitu Candi Bima.

Mas Hengki Krisnawan, petugas Dinas Budaya dan Pariwisata (DINBUDPAR) di kompleks Candi Arjuna menemani dan menjelaskan kepada kami awal mula dari pembangunan kompleks candi di Dieng ini.

Menurut penjelasan mas Hengki lebih lanjut, pada awal mulanya raja-raja jaman Mataram Hindu Kuno menitahkan kepada hulu balang kerajaan untuk mencari tempat yang tinggi di pegunungan. Ditempat ini akan didirikan bangunan sebagai pemujaan kepada Dewa Siwa; syaratnya harus memenuhi kelima hal yaitu ada unsur air, unsur angin, ada sinar matahari tapi redup, tidak ada matahari tapi ada sinar dan unsur api. Titah itu segera dilaksanakan hingga akhirnya menemukan suatu wilayah yang memenuhi semua persyaratan tersebut, yaitu berada di Dataran Tinggi Dieng.

“Awalnya kompleks candi di Dieng luasnya mencapai 90 hektar dengan jumlah total 400 candi. Tetapi banyak terjadi kerusakan akibat tergerus letusan vulkanis pegunungan dan pergerakan aktif tanah Dieng. Kerusakan lainnya disebabkan oleh akar-akar pohon dan tanah longsor sehingga saat ini hanya tersisa kompleks Candi Arjuna dan Candi Gatotkaca yang masih utuh. Kurang lebih jumlah bangunan yang masih utuh hanya sekitar 8 candi.” lanjutnya.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Candi Arjuna (kiri) dan candi Semar (kanan)

Menilik dari arsitekturnya, bangunan candi di kompleks Arjuna memiliki persamaan dengan arsitektur candi-candi Hindu seperti di India yang memiliki 3 bagian / tingkatan bermakna:

  1. Bhurloka, bagian kaki candi yang melambangkan kehidupan / dunia manusia.
  2. Bhuarloka, bagian tubuh candi yang melambangkan kehidupan orang-orang suci.
  3. Swarloka / Swargaloka, bagian atap candi yang melambangkan kehidupan para dewa.

Pada bagian atap setiap bangunan candi di kompleks ini semuanya berarsitektur mengerucut ke atas; ini mempunyai arti filosofis bahwa menurut kepercayaan Hindu kehidupan manusia itu akan menuju sampai kepada nirwana (kehidupan Swarloka).

Dari keempat candi yang berada di kompleks Arjuna, hanya candi Srikandi yang dibangun untuk penyembahan Trimurti. Trimurti berarti tiga dewa utama yang dipuja yaitu Brahma (dewa pencipta alam semesta), Wishnu (dewa pengatur waktu keberadaan alam semesta / dewa pemelihara) dan Siwa (dewa pengatur kembalinya isi alam semesta / dewa pelebur). Hal ini ditandai dengan adanya relief ketiga dewa tersebut pada dinding candi. Relief dewa Brahma berada pada sebelah kanan, relief dewa Wisnu di sebelah kiri dan relief dewa Siwa yang berada di bagian belakang candi.

Baca juga: Tentang Erotisme Candi Sukuh

“Candi sendiri sebenarnya merupakan penggambaran dari tempat bersemayamnya para dewa dengan bentuk mengerucut menyerupai gunung. Salah satu karakter candi adalah sebagai miniatur gunung Himalaya. Ini digambarkan dengan adanya relief tumbuhan dan hewan pada dinding candi dimana layaknya di gunung mereka tinggal. Candi merupakan kosmis dari gunung Himalaya.” pungkas mas Hengki.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Anggun dan megah

Dari batu-batu yang tersusun ribuan tahun, candi menjadi saksi dan tempat belajar untuk kita bisa mengambil pelajaran berharga tentang kehidupan. Bahwa tatanan kehidupan masyarakat itu dilukiskan dengan 3 (tiga) tingkatan utama, yaitu kehidupan manusia menuju kepada kehidupan yang lebih baik hingga akhirnya menuju alam kematian dan akan mencapai kesempurnaan di nirwana. Nenek moyang kita dengan pemikiran-pemikirannya yang agung telah menorehkannya pada dinding-dinding candi, menjadi penanda dan pengingat kita untuk lebih arif dalam menjalani kehidupan.

Bangunan berusia ribuan tahun ini tetap bertahan diatas sana sepatutnya perlu kita rawat pula kita jaga. Ditempa dinginnya hawa pegunungan Dieng tidaklah mengurangi nilai-nilai keagungan dan kisah penuh maknanya. Menjadi tempat bersemayamnya para Dewa yang suatu saat kita akan berjumpa.

 

18 Replies to “Menapak Jejak Para Dewa di Negeri Kahyangan”

    1. Iyes, Dieng kak.
      Kawasan Dataran Tinggi Dieng berhawa dingin, termasuk kawasan candinya. Di musim kemarau sekitar bulan Agustus bahkan bisa mencapai minus sekian derajat suhu di Dieng.

      Salam.

      Like

Leave a comment