Sinjang Indigo, Doa Dan Harapan Dalam Sehelai Kain

Begitu luhur doa dan harapan yang tertera pada sehelai kain batik. Setiap karya yang dihasilkan setiap orang akan berbeda walaupun bermotif sama. Semua bergantung pada suasana hati sang wanita pembatik.

2 orang wanita terlihat gemulai menampilkan tarian. Menyerap energi dari setiap jiwa yang menarikan. Setiap gerakan tubuh  mereka elok dan menampilkan arti, selaras dengan syair tembang Yogyaning Reh Mamardi Mring Siwi yang dilantunkan oleh seorang lelaki tua yang dipanggil “Mbah”. Tembang Jawa yang bermakna sangat dalam tentang falsafah kehidupan itu larik demi lariknya terucap mengiringi gerak tarian Sinjang Indigo, dibarengi dengan tetabuhan seperangkat gamelan Jawa. Asap dupa membumbung ke udara menjadi mantra yang dipanjatkan, penuh dengan doa, niat dan harapan kebaikan di hadapan Sang Pencipta.

Dahulu, seorang perempuan Jawa tidaklah dapat sebebas saat ini untuk dapat berekspresi. Biasanya mereka akan dipingit ketika memasuki usia akil balik. Mengenyam pendidikan tinggi hanyalah sebatas asa, tak mudah untuk meraihnya. Hak kebebasan berekspresi dikekang oleh para orang tua, hingga saatnya tiba seorang lelaki yang telah dijodohkan akan datang meminangnya untuk menjadi pendamping hidup. Sangat nelangsa, namun para perempuan Jawa ini tak diperbolehkan untuk membantah dan patuh kepada orang tuanya. Membatik (menuliskan/menerakan malam atau cairan lilin yang dipanaskan pada sebuah kain yang lebar) adalah salah satu cara untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan harapan dari para perempuan Jawa yang terpasung kebebasannya saat itu. Hal inilah yang menyebabkan mengapa kita temui para pembatik kebanyakan adalah kaum perempuan.

Membatik Kain
Sinjang Indigo

Sinjang Indigo, adalah sebuah karya tari kontemporer dari sanggar Omah Mbudur pimpinan Nuryanto atau lebih dikenal dengan Mas Nur. Kata sinjang berasal dari bahasa Jawa berarti kain yang biasa dipakai perempuan Jawa jaman dulu, sementara Indigo (Indigofera) adalah tumbuhan penghasil warna biru. Jika diartikan secara keseluruhan maka Sinjang Indigo adalah gambaran proses membatik oleh para perempuan yang menghasilkan selembar kain berwarna biru dengan motif tertentu.

“Tarian ini adalah gerak tari spontanitas yang baru saja diciptakan siang ini dan langsung dipentaskan. Kami berdiskusi hanya tentang konsep tarian, selanjutnya gerakan seluruh anggota tubuh kami akan menyelaraskan dengan gerak ingsun yang sesuai dengan rasa dan doa-doa yang sebelumnya kami panjatkan,” Mbak Uci membuka perbincangan. Ia adalah salah satu penari yang membawakan Sinjang Indigo.

Koreografer serta pemilihan tembang Jawa yang merupakan unsur paling dasar dari konsep sebuah tarian tak luput dikomunikasikan oleh para penari. Demikian pula dengan penyatuan rasa penabuh bebunyian gamelan, penembang Jawa serta pembaca doa hingga pembawa ukupan dupa menjadi suatu kesatuan yang sangat penting dalam pementasan. Sehingga jika ada seorang saja yang terlibat dalam pementasan “berkhianat”, maka hasil tarian akan terbilang gagal.

Megah
Pembacaan doa, kembang ditabur dan tembang dilantunkan – menjadi mantra yang dipanjatkan

Hari lepas maghrib saat pementasan tarian berlangsung. Aura kemegahan tarian Sinjang Indigo sangat terasa. Lampu sorot dipasang sebagai penerangan utama disertai temaram pekarangan Omah Mbudur. Kami yang tergabung dalam rombongan liputan dibuat terpukau. Mbak Uci dan Mbak Diah menarikannya dengan luwes dan penuh penghayatan. Sementara syair tembang Yogyaning Reh Mamardi Mring Siwi yang berisi niat dan doa-doa yang dipanjatkan berhasil menentramkan, mencacah setiap sekat-sekat jiwa, menembus ruang tanpa batas dan menyatu dengan keagungan Sang Pencipta. Kami sampai merinding dibuatnya.

Tarian Sinjang Indigo ditutup dengan doa yang disuarakan dalam wujud tembang berjudul Suntanedyo Nglirwakaken Piweling. Sebuah doa dan wejangan dari guru dan orang tua bahwa dalam hidup manusia segala yang baik dan benar harus diutamakan. Demikian pula tentang hal mengasihi dan mencintai sesamanya juga harus dijalankan.

“Memaknai tarian Sinjang Indigo tak bisa dilihat sepenggal-sepenggal, mas. Harus dari awal hingga akhir karena arti yang seutuhnya berada pada doa-doa, niat dan nilai-nilai yang kami panjatkan dalam sehelai kain ini,”Mbak Uci menambahkan seusai pementasan.

“Jadi pada selembar kain batik itu mempunyai niatan dan nilai-nilai hidup, mbak?” tanyaku penasaran.

“Benar sekali, mas. Kain batik tidak hanya selembar kain yang dilukis begitu saja, namun ketika kami menerakan setiap goresan lilin panas pada selembar kain itu terdapat arti yang merefleksikan suasana hati, kerelaan, ketulusan dari si pembuat kain batik,” pungkas mbak Uci.

Mas Nur menambahkan bahwa pada setiap motif batik yang dapat kita temukan saat ini semuanya mempunyai arti. Ia menjelaskan sebagai contoh kain batik Sido Asih mempunyai arti sebuah harapan bahwa orang yang memakai kain ini akan mempunyai sifat yang welas asih. Demikian juga pemakai kain batik Sido Mukti diharapkan akan mendapatkan tempat yang terhormat. Begitu luhur doa dan harapan pembuat kain batik ini, namun walaupun motif batiknya sama setiap karya yang dihasilkan setiap orang akan berbeda. Semua tergantung kepada suasana hati dan doa-doa yang dipanjatkan.

Sinjang Indigo adalah sebuah pementasan istimewa karena lahir dari sebuah rasa yang timbul dari dalam jiwa. Gerak ingsun yang menyatu dengan niatan luhur serta kerelaan dan disertai mantra kebaikan menghasilkan karya tarian terbaik dan berbeda. Demikian pula halnya dengan selembar kain batik, sebuah karya agung nusantara yang diakui dunia. Kain yang sarat nilai kehidupan serta filosofi tinggi menjadikannya patut mendapatkan tempat dan diteruskan oleh generasi berikutnya.

“Segala hal yang dimulai dan juga diakhiri dengan doa, tidak boleh terhenti di tengah jalan”

Magelang, Februari 2018.

This slideshow requires JavaScript.

8 Replies to “Sinjang Indigo, Doa Dan Harapan Dalam Sehelai Kain”

Leave a comment