Dalam Semangkuk Burjo Dan Mi Instan Kami Percaya

Kalian pernah makan di kedai bubur kacang hijau yang juga terdapat sajian mie instan? Pasti sudah pernah dong. Bagi sebagian besar anak kuliahan – terutama yang pernah kost – warung bubur kacang hijau (selanjutnya disebut “burjo”) sangat akrab, terutama ketika uang kiriman dari orang tua mulai menipis. Di warung burjo ini tersedia juga telur ½ matang, gorengan tempe maupun tahu hingga kopi seduh murah meriah. Berbagai produk olahan kopi seduh dari kopi hitam, 3 in 1, cappuccino, mochacino, al pacino (Njiir… yang ini nggak ada ding) siap diseduh dengan air panas maupun ditambahkan rock ice (es batu).

Aku dulu termasuk dalam salah satu dari ratusan – mungkin jutaan – anak kuliahan yang mengandalkan menu burjo ataupun mi instan ketika logistik dari orang tua kian menipis. Nasib memang. Bahkan sampai sekarang kadangkala aku masih nongkrong di warung burjo, sekedar bernostalgia. Kadangkala menikmati semangkuk mi instan pas kepingin banget. Entah terbuat dari ramuan ajaib apa hingga mi instan yang jingle iklannya pernah dipakai kampanye salah satu presiden RI di tahun 2010 ini, menjadi sajian yang sangat digemari oleh berbagai kelompok usia.

Semalam, aku mampir di kedai burjo setelah sekian lama. Memesan semangkuk bubur ketan hitam dengan seduhan kuah santan yang “grombyang” menjadi menu yang aku sukai. Menikmatinya sembari berbincang dengan Misan, penjaga kedai yang orang Kuningan – Jawa Barat.

warung-mi-instan-24-jam-kuningan

“Hawa di Bekasi sekarang ini panas ya, Mas,” kata Misan mengawali pembicaraan sambil memindahkan tuas kipas angin menjadi lebih kencang.

Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala tanda mengiyakan. Akhir-akhir ini memang cuaca sedang panas-panasnya kala siang hari. Mungkin neraka bocor halus, begitu pikirku.

Sebatang rokok terselip dibibir Misan sambil sesekali dihisapnya. Jari tangan kanannya menjentikkan abu rokok pada sebuah asbak di atas meja sajian.

Misan ternyata sudah cukup lama menjadi penjual burjo di di Perumnas II, Bekasi. Warung yang disewa dari seseorang ini juga menjadi tempat istirahat bagi dia dan saudaranya. Warung burjo yang dikelola oleh mereka sejak 2004 ini buka 24 jam dengan 2 shift kerja. Mantap.

Perbincangan kami berlanjut dengan obrolan remeh temeh tentang maraknya tukang jualan es kepal coklat yang sedang hits, tentang jadwal jam buka warung burjo nanti ketika bulan puasa, tentang politikus ngehek, tentang pemilihan walikota Bekasi yang sebentar lagi akan berlangsung, hingga tentang peristiwa bom bunuh diri yang mengguncang kota Surabaya tadi pagi.

“Gila ya itu teroris. Meledakkan diri sarengan barudakna. Ngeri euy,” cerocos Misan dengan logat Sundanya yang kental.

bubur-ketan hitam
Bubur ketan hitam

Obrolan kami makin seru dengan sesekali diselingi guyonan khas warung kopi. Tapi dari sekian banyak perbincangan kami semalam, ada cerita yang menarik disana. Apa itu?

“Saat lebaran nanti produsen mi instan akan menyediakan bis untuk kami pulang kampung ke Kuningan dan Sumedang. Biasanya sampai 15 bus gede,” Misan tampak semangat menjelaskan.

“Mas bisa bedain nggak warung burjo dan mi instan kepunyaan orang Sumedang dan orang Kuningan?” tanyanya kepadaku.

“Hah, emang ada bedanya ya. Saya nggak terlalu perhatiin,” jawabku penuh selidik.

Misan menuturkan bahwa warung burjo versi Sumedang isinya tak jauh beda dengan warung burjo yang lainnya, hanya saja ada tambahan penjualan kue pancong balap. Sementara  warung burjo yang dikelola orang Kuningan biasanya sonder kue pancong balap.

Untuk olahan burjo-nya sendiri juga ada perbedaan rasa, versi Sumedang biasanya burjo ada sedikit rasa jahe. Mereka memang menambahkan potongan jahe ketika mengolah burjo. Sementara versi Kuningan tanpa tambahan jahe.

Aaah… ternyata itu perbedaannya. Aku yang selalu menyediakan rongga kosong di otak untuk menyerap informasi baru sebanyak-banyaknya ketika keluar rumah, serasa mendapatkan cerita segar. Dari hal sekecil itu yang tak menjadi perhatian banyak orang, terdapat cerita unik yang bisa digali.

Geliat ekonomi

Dari warung sederhana ini, terjadi geliat ekonomi yang sanggup mengubah taraf hidup seseorang, atau bahkan sekelompok orang. Bahkan menurut penjelasan Misan, di kawasan Perumnas II Bekasi ini tak kurang dari 12 warung burjo yang kesemuanya adalah teman bahkan saudara, semuanya berasal dari Kuningan. Warung burjo meng-invasi bahkan mengepung kawasan Jabodetabek… Hahaha

Indomi2
Semangkuk mie instan rebus… Yum yum. Dok: Pribadi

Tak dibutuhkan keahlian khusus untuk memasak burjo dan mi instan, menjadikan bisnis ini tampak menggiurkan. Dengan modal yang nilainya jauh dari fantastis, bahan baku yang mudah didapat, segmentasi pasar yang jelas, menu dan fasilitas seadanya terbukti mampu mendatangkan pundi-pundi keuntungan.

“Total pendapatan kami dapat mencapai antara 1 – 2 juta rupiah kotor setiap hari, mas.” Misan menutup perbincangan. Pelanggan setianya masih berdatangan malam itu. Padahal ketika aku melirik ke arlojiku, waktu sudah menunjukkan pukul 23.30. Warung burjo menjadi dewa penolong bagi orang yang kelaparan saat tengah malam.

Dalam semangkuk burjo dan mi instan kami percaya…

*ambil kalkulator hitung penghasilan Misan dalam sebulan 🙂

16 Replies to “Dalam Semangkuk Burjo Dan Mi Instan Kami Percaya”

  1. Biasa nih, informan selalu melek malem….hahaha. Cari informasi ketika yg lain sudah terlelap, lalu ketika mereka terbangun pagi, informasi itu sdh ada disekitar mereka….btw, warung burjo harusnya nyediain colokan supaya bisa bikin artikel ya mas….mantab deh masih inget zaman susah, nyari burjo…hihihi

    Liked by 1 person

    1. Hahaha… Warung burjo sudah ada colokan listrik, mas. Aman

      Tapi apa ya bisa nulis artikel di warung sempit gitu, terus di sampingnya mi instan rebus dengan telur dan irisan cabe yang dimakan pas cuaca hujan-hujan begini?

      Syeeem… Saya jadi kepingin mi instan.

      Kacang nggak boleh lupa kulit, mas… Hahahaha

      Like

Leave a comment