“Senja hadir hanya sebentar, mungkin hanya sekejap. Ia datang tak lama, namun ia tak pernah mengeluh. Kehadiran malam juga tak pernah membuatnya merasa kehilangan. Sementara kedatangan siang tak juga membuatnya jenuh untuk menunggu sore”.
Steven Bryant dalam komposisi musiknya yang berjudul “Dusk” mengapresiasi senja dengan sebuah symphony yang mengalun perlahan dalam gesekan cello yang tenang, mengiris dan menghanyutkan.
“Senja yang begitu singkat, selalu membangkitkan gairahku; ketika hening bersentuhan dengan sebuah suasana yang dramatis” begitulah kira kira liriknya.

Siapa yang tak menyukai senja? Barangkali hanya aku. Namun, itu sebelum aku mengenalmu, si pencinta senja. Aku sebelumnya lebih memilih fajar daripada senja. Memburunya dengan sengaja. Meninggalkan kenikmatan selimut yang membungkus badan. Berlari menembus dinginnya pagi, hanya untuk berjumpa dan memeluknya. Fajar berbicara menjemput hari baru, tentunya dengan cerita yang jauh dari kata usang.
Namun, setelah aku mengenalmu, si pencinta senja yang bermata sipit dan berambut sebahu aku mulai jatuh hati kepada senja. Racun-racun yang kau tebarkan, sanggup membuatku tak bosan memburu senja bersamamu.

Menunggu senja berdua dan menggenggam tanganmu erat. Menunggu cahaya kuning keemasan yang mengkilat hingga berubah menjadi jingga yang menyilaukan mata. Menunggu matahari yang hilang tenggelam dan menikmati semburatnya dengan sabar. Seutas senyum terlintas di wajahmu yang putih. Aaah… wajahmu terlihat cantik ketika ditimpa binar senja.
Senja tak pernah mengajarkan hal yang sia – sia. Cahaya yang hendak hilang di batas cakrawala adalah ucapan selamat tinggal yang teramat manis. Ia adalah senyum Sang Maha Agung di penghujung hari.
Senja hadir hanya sebentar, mungkin hanya sekejap. Ia datang tak lama, tapi ia tak pernah mengeluh. Kehadiran malam tak pernah membuatnya merasa kehilangan. Sementara kedatangan siang tak juga membuatnya jenuh untuk menunggu sore.
Senja adalah pemisah antara siang dan malam supaya keduanya tak berjumpa. Ia adalah penanda berakhirnya sebuah cerita. Keberadaannya adalah sebuah titahNya. Dan tak ada kuasa satupun yang dapat menolak.
Memang ketika matahari setengah berhasrat turun dan menghilang di remang langit, ia meninggalkan banyak pesan. Ia diantara rasa enggan dan sebuah keharusan.

Senja memang hadir dalam sekejap. Seperti halnya dirimu. Senja hadir dalam sekejap, namun kenangannya yang lama…. Ihiir 🙂
Semoga aku besok masih bisa melihat senja. Semoga.
*Bagi para penggemar senja yang hanya sebentar, dan juga penyuka lengkung jingga, dan juga untuk kamu – pencinta senja yang bermata sipit.
.
.
Saya kalo lagi puasa juga tiba” suka dengan senja
Pertanda mau buka puasa
Wkwkwk
LikeLiked by 1 person
Hahahaha… Syeeem
LikeLike
Hadir!!!
LikeLiked by 1 person
Siap kak… Kapan kita menyenja bersama?
LikeLike
Kapan saya diajak motret senja sambil diajarin menulis?
LikeLiked by 1 person
Siap, Oom… Mari berangkat kita memburu senja!
LikeLike
7 dari 31 hari di bulan Desember selalu dapat diandalkan untuk menikmati senja
LikeLiked by 1 person
Wuiiih… Berpujangga, kak? Hehehe
Mari berangkat memburu senja di lereng Merbabu, kak. Syahdu lho
LikeLike
Wew pemandangannya bagus
LikeLike
akupun anak senja, soalnya susah bangun pagi 😐
LikeLiked by 1 person
Hahaha… Survey memang menjawab banyak orang suka dengan senja karena susah bangun pagi
LikeLike
Baca tulisanmu kok terdengar melankolis mas hahahahah.
Senja itu bisa membuat kita merangkai kata yang kadang tak terbesit kala sedang bersantai.
LikeLiked by 1 person
Mungkin karena ada si mata sipit dan berambut sebahu yang menemani melihat senja, jadinya melankolis mas… Ihiiir… Hahahaha
LikeLike
Tidak, aku pun cinta pada nya
Pada senja.
Walau ia hanya hadir secepat kedipan mata
LikeLiked by 1 person
Sedaap. Keren, Oom 🙂
LikeLike
Siapa tuuuh cewek bermata sipit kah?
Ulluh..ulllh…bisa baper jg 😂
Siapa siiiih yg buat mas ky gini 😁
LikeLiked by 1 person
Hahahaha… Anu … Itu…
Cewek bermata sipit dan berambut sebahu? Hmmm siapa ya… 😀
LikeLike
bagus ya foto2nya bisa dapet gitu momennya
LikeLiked by 1 person
Hehehe… Sengaja tunggu moment, mas
LikeLike
aku juga lebih suka liat matahari terbenam saat senja dari pada liat dia nikah sama orang lain .
LikeLiked by 1 person
Curcol, mas? 😀
LikeLike
Saya dan dua teman, Armando dan Sony, juga pemburu senja hahaha (bahasanya: pemburu :p). Saya fokusnya ke wanita bermata sipit berambut sebahu itu … huhuy!
LikeLiked by 1 person
Hahaha…
Nanti saya kenalin sama yang bermata sipit berambut sebahu itu, mbak 😉
LikeLike
kalau senja, kata yang tepat untuk para orang jaman dulu..
“Ndang Balik Omah, Setenae wis do teko”
maghrib ojo metu omah mas hahah
LikeLiked by 1 person
Hahaha… Ingat banget itu kalimat, mas. Padahal sebenarnya itu hanya perintah untuk pulang dan mandi, karena sudah sore jelang malam 🙂
LikeLike