11 Jam di Negeri Rempah – Bagian II

“Sahrul, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memutari pulau Ternate?” tanyaku penasaran sambil melihat Google Maps. Sepertinya kecil, begitu pikirku.

“Paling lama 1 jam, bang”, jawabnya.

Aku membelalakkan mata seakan tak percaya, dibarengi dengan ide untuk mengelilingi pulau Ternate.Entah setan dari mana yang membisikkan hal itu di kepalaku. Tak diduga Sahrul mengiyakan ajakanku. Ahhh anak ini memang asyik.

Motor matic yang kami tumpangi berdua kembali menapak aspal. Kami menyisir jalan utama yang cukup lebar dan beraspal halus, hanya saja di beberapa bagian terlihat sedikit diperbaiki karena adanya aktivitas penambangan pasir. Pada sebuah bagian jalan yang lain, terdapat pembangunan sebuah jembatan. Jembatan ini dulunya menjadi penghubung antar kampung yang pernah hanyut diterjang guguran lahar dingin semburan gunung Gamalama beberapa waktu lalu. Kembali Sahrul menjadi pencerita yang baik.

Kalau kamu belum tahu, gunung Gamalama ini adalah gunung berapi yang masih aktif dan merupakan keseluruhan dari pulau Ternate. Dengan kata lain pulau Ternate itu ya gunung Gamalama. Gunung yang namanya diambil dari kata Kie Gam Lamo (negeri yang besar) mempunyai ketinggian 1715 mdpl dan terakhir meletus di tahun 2012. Cuaca berawan ketika kami menjejak tujuan selanjutnya. Leherku berasa perih kepanasan. Aku lupa mengoleskan krim sun block yang tertinggal di dalam tas carrier yang entah keberadaannya dimana.

Baca: 11 Jam di Negeri Rempah – Bagian I

  • Desa Fitu Dan Uang 1000 Rupiah

Kamu masih menyimpan lembaran kertas uang seribu Rupiah? Pada satu sisi terdapat gambar pahlawan Nasional yaitu Thomas Matulessy atau yang dikenal dengan nama Kapitan Pattimura, sementara di sisi lainnya tergambar lukisan Pulau Tidore dan Pulau Maitara. Naah, aku sampai juga di tempat untuk melihat pemandangan persis seperti tampilan gambar di uang kertas seribu Rupiah ini lho. Tempatnya di desa Fitu. Rumah-rumah sederhana di desa Fitu mempunyai  pemandangan mewah yang langsung menghadap ke laut. Setiap harinya mereka disuguhkan megahnya alam laut, lengkap dengan perahu nelayan yang hilir mudik. Kalau kamu mau berkunjung ke desa Fitu, waktu yang tepat adalah di kala sore hari. Nikmati saat matahari terbenam sambil menyesap secangkir teh atau kopi dan sajian pisang goreng mulut bebek. Sedap tiada tara!

Pemandangan di Uang 1000
Pulau Tidore & Pulau Maitara
  • Warung Tanawangko

Setelah lelah mengitari seluruh pulau Ternate, kami berdua mengarahkan motor menepi kewarung Tanawangko, sebuah warung makan di seputar landmark. Warung tempat kami makan siang ini menyajikan masakan khas Ternate seperti nasi kuning (sayangnya pas kami pesan sudah habis… ya iyalah, sudah kesiangan) beserta sayur mayur dan lauk pauk lengkap. Naah, disini yang enak sayur pare dicampur dengan ikan cakalang. Njiiir… juara deh ini! Sumpah!

tanawangko-2
RM. Tanawangko
tanawangko-11
Menu di RM. Tanawangko
  • Fort Oranje

Selesai dengan urusan kampung tengah, aku dan Sahrul kembali melajukan motor menuju sebuah bangunan benteng yang letaknya di pusat kota. Ya, Fort Oranje atau Benteng Oranje. Menurut sejarahnya, benteng ini dibangun tahun 1522 oleh bangsa Portugis yang kemudian direbut oleh pasukan Spanyol pada 1606. Rakyat Ternate dengan bantuan VOC berhasil mengusir pasukan Spanyol dari bumi Ternate pada 1607. Otoritas Belanda pertama di Ternate, Paul van Carden akhirnya mengganti nama benteng menjadi Fort Oranje (sebelumnya House of Oranje).

Ketika aku menyambangi Fort Oranje, yang menarik adalah Fort Oranje merupakan ikonik wajahTernate karena lokasi benteng yang berada di tengah perkotaan. Padahal biasanya orang membangun benteng di dekat laut, agar mudah mengawasi dan menjaga daerahnya. Ternyata, dahulu Fort Oranje memang berada di dekat laut, hanya saja karena proses reklamasi menjadikannya berpindah di tengah perkotaan. Pada bagian depan benteng, dibuat taman kota dan pusat pertokoan. Sementara bagiandalam benteng saat ini masih dalam tahap revitalisasi.

Bahkan, ada salah satu ruangan di sisi dalam benteng yang menjadi studio musik (heh?). Terdengar distorsi raungan gitar dan suara pedal bas drum yang berdentum saat aku mengelilingi benteng ini.

FortOranje saat ini telah menjadi bangunan cagar budaya di bawah pengawasan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Meriam tua di sudut Fort Oranje, sayang terkena aksi vandalisme
Lonceng besar di bagian atas Fort Oranje
  • Pasar Tradisional Bahari Berkesan

Aku penasaran dengan sayur khas Ternate yaitu sayur lilin, dan aku menemukannya di satu lapak yang terletak disalah satu los di pasar tradisional ini. Sayur lilin terbuat dari terubuk atau tebu telur, tanaman yang mudah ditemui didaerah Halmahera. Cara pembuatannya adalah dengan cara terubuk dipotong agak panjang, kemudian diberi bumbu santan sebagai kuah dasarnya. Cara lainnya adalah terubuk ini dibakar diatas api bersama kulit / kelopak bunganya. Hal ini supaya ketika terubuk diolah tak mudah hancur. Setelah dibakar baru kemudian dikupas, kemudian akan tampak bunganya yang seperti lilin. Kemudian dipotong kecil-kecil dan dimasak sesuai selera. Hidangan sayur lilin ini biasanya disajikan dengan papeda. Aselik… ini sayur enak banget deh! Ketika aku cicipi, tekstur terubuk atau tebu telur ini berasa mirip sekali dengan telur ikan. Kuah santannya pun enak gaes!

Selain sayur lilin, di lapak pasar ini juga menjual ikan cakalang fufu. Jangan ditanya deh nikmatnya ikan ini. Juwara! Bau khas ikan yang matang karena proses pengasapan ini sontak menguar di sekitar lapak-lapak yang digelar. Bayangkan gaes, satu los pasar dengan sekian banyak lapak pedagang semuanya menjual ikan cakalang fufu. Aaahh… baunya nikmat sekali! Syurga.

  • Taman Nukila

Selesai menikmati sayur lilin dan ikan cakalang fufu (walau cuma membaui saja), kami membalikkan arah motor yang kami tumpangi ke taman Nukila. Letak taman ini tak jauh dari landmark Ternate, warung Tanawangko dan pasar tradisional. Taman Nukila cukup ramai dikunjungi ketika hari menjelang sore, begitu kata Sahrul. Biasanya para muda-mudi duduk-duduk di bangku sambil menikmati indahnya senja di pantai Ternate. Namun tak sedikit yang mengerjakan tugas ataupun kedapatan mengetik dengan komputer jinjingnya di taman ini. Fasilitas jaringan internet nirkabel diberikan oleh pengelola taman rupanya, pantas ramai dengan generasi milenial, begitu pikirku.

Taman Nukila yang asri dengan pepohonan
Aku meminta Sahrul mengarahkan stang motornya menuju suatu bangunan berarsitektur Belanda di persimpangan jalan tengah kota. Bangunan ini ternyata sebuah toko onderdil motor. Menilik dari arsitektur dan kusamnya tembok, bangunan ini tergolong tua dan masih terpelihara bentuk aslinya. Setelah mengambil beberapa foto disini, dengan malas aku meminta Sahrul mengantarkanku menuju bandara Sultan Babullah.

Sore menjelang ketika akhirnya aku harus mengucapkan kata perpisahan dengan Sahrul. Tak cukup rasanya 11 jam menikmati Ternate. Masih banyak kisah yang belum terjemput di sini. Aku kadung jatuh cinta dengan kota di kaki gunung Gamalama ini, namun perjalanan menuju Manado harus berlanjut. Setelah bertukar nomor dengan Sahrul dan membayar tarif hantaran seharian, kami berpisah. Sahrul, terima kasih ya…

Penerbanganku selanjutnya menuju Manado selepas ba’da maghrib seperti tertera di tiket pesawat. Ternyata delay 30 menit. Syeeem…

Carrier-ku Dibobol Maling

Perjalanan dari Jakarta dengan 2 kali transit berujung pengalaman yang tak mengenakkan. Dengan pertimbangan beratnya cukup lumayan, sejak dari Jakarta carrier-ku memang dititipkan di bagasi. Petugas bandara Soekarno Hatta hanya mengatakan bahwa aku bisa mengambil bagasi begitu sampai di tujuan, yaitu bandara Sam Ratulangi. Okay, noted. Jadi selama 2 kali transit aku tak tahu barang itu apakah ikut transit juga atau tidak.

Sesampainya di bandara Manado, aku langsung menuju ke conveyor belt dan mendapati carrier-ku dengan keadaan terbuka penutupnya. Dengan curiga dan penasaran, aku seketika membuka tas bagian dalam dan pakaian yang tersusun rapi sebelumnya ternyata sudah dalam keadaan terobrak-abrik tanda digasak maling. Power bank yang tersimpan rapi di dalam compartment ransel tak dapat aku temukan, beberapa bekal coklat bar juga dicolong (cuma disisakan sepotong coklat bar… Ngehek kan!) dan juga puluhan uang receh di saku kecil tas ransel raib tak berbekas. Aku segera membuat laporan kehilangan di konter groundofficer maskapai dan mereka menjanjikan untuk segera menindak lanjuti laporanku. Namun sampai aku menulis cerita ini tak satupun dari mereka yangmenghubungi aku sekedar menyampaikan proses laporan. Aaah… Kalian cuma janji palsu, persis seperti para politikus busuk!

Bandara Ternate

Apakah aku bakalan jera untuk traveling lagi? Tentu saja tidak. Kita tidak bisa menolak kebaikan pun kejadian buruk yang terjadi. Tergantung sikap kita menghadapinya. Peristiwa tak mengenakkan di bandara Manado menjadi penanda, mungkin aku mesti harus lebih berhati-hati. 

Kemolekan dan sepenggal kisah dari Ternate mampu menghapus kejengkelanku dengan kejadian tas dibobol maling. Mungkin orang yang mengambil barang-barangku memang membutuhkannya.

Terima kasih Ternate. Terima kasih juga untuk semua hal yang telah mengajarkanku dan semua yang belum bisa aku pelajari.

Ternate, Oktober 2018

Aku dan teman baruku, Sahrul

21 Replies to “11 Jam di Negeri Rempah – Bagian II”

  1. Dimalingin dalam perjalanan seperti ini emang gak enak banget ya, Mas. Soalnya barang-barang yang kita bawa kan emang untuk menopang kebutuhan hidup. Lah kalau hilang gitu, pasti jengkel banget rasanya

    Liked by 1 person

    1. Iya, mbak. Jengkel sih, tapi ya masih “untung” kamera dan peralatannya aman, karena di tas terpisah yang saya bawa.

      Juga segala macam kartu ATM dan lainnya pun aman. Kalau di taruh di carrier situ pasti ya ikut raib… Hehehe

      Like

  2. Harusnya menyeberang ke Tidore hahaha!

    Sabar Om, selalu ada hikmah di balik peristiwa, yang mungkin mengesalkan hati. Kadang dilipur dengan cara-cara tak terduga.

    Btw, nama “Nukila” di Taman Nukila itu punya sisi historis dengan Ternate.

    Liked by 1 person

    1. Naaah itu dia… Rencananya mau balik ke Ternate dan menyeberang ke Tidore; lanjut ke Halmahera dan Morotai… tapi baru rencana hahaha

      Betul, Oom. Saya sudah baca tentang Sultanah Nukila ini, pemimpin wanita pertama di kesultanan Ternate

      Liked by 1 person

  3. Ceritanya seru om. Tadinya emosi pengen ke ternate juga. Selesai baca malah emosi sama maling di bandara. Dan kayaknya sampe dorce gamalama jadi presiden tiga periode juga ga bakal ada update laporan dari mereka om

    Liked by 1 person

    1. Hahaha… Namanya musibah, Oom. Dapat terjadi ke siapa saja; tapi memang di acak-acak dan dimaling tas di bandara itu nggak enak, pedih, perih… Halah

      Mungkin karena yang hilang barang “tak berarti” Oom, jadinya nggak di follow up. Syeem

      Like

Leave a comment