Pasar Ting Njanti, Kekunoan Yang Kekinian

“To travel is to live” – Hans Christian Andersen

Monggo pinarak, mas. Menika cenil kaliyan jus peleme”, begitu undang ibu penjual makanan kepadaku. Senyum yang lebar menghiasi wajahnya. Cenil dan jus mangga ia letakkan di depan deretan toples kaca dagangannya yang berisi cemilan ringan. Aku memilih duduk di bangku kayu panjang dan menikmati jajananku. Warung bambu beratap rumbia itu terasa adem. Siang itu hawa sedikit terasa panas, padahal tempat ini terletak di bawah rerimbun pohon. Kamera digital yang barusan aku pakai membekukan aktivitas orang-orang di pasar tradisional itu aku letakkan di meja kayu.

Pasar Ting Njanti terletak di Dusun Giyanti, Desa Kadipaten, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo.

Jajanan tradisional
Cenil, makanan tradisional yang terbuat dari singkong bersalut parutan kelapa dan gula pasir itu memang menggoda seleraku. Warna-warninya duuh… Sudah cukup lama aku tak lagi menemukan jajanan ini di kota-kota besar. (Dok. pribadi)

Nuansa tradisional dengan menu jajanan tempo doeloe disajikan untuk menggugah nostalgia pengunjung pasar. Lampu Ting atau lentera menjadi tetenger atau ciri khas pasar ini. Lentera akan dinyalakan saat pasar dibuka pada hari Sabtu mulai pukul 17.00. Setiap satu jam sekali ada semacam flash mob tradisional dengan membunyikan kentongan, piring, panci atau gamelan secara serentak yang dilakukan para pedagang dan penjaga pasar. Menarik bukan?

Baju tradisional
Ibu-ibu penjual di pasar ini mengenakan kain batik beserta baju kebaya sementara kaum lelaki memakai ageman kain bercorak lurik dan berikat kepala batik. (Dok. pribadi)

“Pasar Ting Njanti merupakan pasar tradisional yang kami konsep untuk memanjakan pengunjung dengan menawarkan banyak jajanan pasar sambil berwisata, berbudaya, berseni & beredukasi dalam satu wadah,” papar Ahnaf Ustanto. Pria yang lebih senang dipanggil mas Tanto ini adalah koordinator pasar sekaligus Ketua Pokdarwis Dusun Giyanti.

Baca juga: Barong Gunung, Tarian Rakyat Jelata Yang Menggeliat

Dusun Giyanti menyimpan kisah sejarah yang kental dan panjang. Peristiwa Palihan Nagari (pembelahan wilayah Mataram) menjadi dua wilayah, yaitu Surakarta dan Yogyakarta hingga akhirnya menelurkan Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menjadi jalinan cerita yang melatarbelakangi berdirinya pemukiman yang jauh dari keramaian ini. Orang-orang di Yogyakarta yang tak tahan dengan perlakuan semena-mena penjajah Kompeni Belanda akibat dari Perjanjian Giyanti akhirnya memutuskan mengungsi dan melarikan diri ke tempat ini. Tumenggung Mertalaya bersama 2 orang kompatriotnya, Ki Monyet dan Ki Mranggi, bersepakat memberi nama pemukiman itu menjadi Dusun Giyanti yang diambil dari nama tempat dimana perjanjian Giyanti disepakati.

Penabuh gamelan Jawa
Pak Prayitno, seorang pemain gamelan di Pasar Ting Njanti. Ia dengan setia memainkan gamelannya setiap kali pasar buka. Lelaki paruh baya ini juga sukarela mengajarkan cara memainkan gamelan dengan benar. Pak Prayitno dengan kesungguhan hatinya turut menjaga kelestarian budaya tradisional negeri ini. Senang dapat berbincang dengannya. (Dok. pribadi)

“Harapan kami dengan adanya pasar ini perekonomian warga desa akan meningkat, mas. Warga desa juga dilibatkan dalam pengelolaan aktivitas pasar,” tutur mas Tanto lebih lanjut menutup pembicaraan denganku.

Era perubahan akan tatanan kehidupan baru telah berhembus di dusun Giyanti dengan lahirnya Pasar Ting Njanti. Namun wasiat para leluhur untuk selalu mengingat dan mematuhi tuntunan Sang Pencipta, menjunjung budi pekerti luhur serta mengupayakan kelestarian adat dan budaya hendaklah harus terus digaungkan dan dilestarikan. Budaya tradisi tahunan Nyadran dan Tari Topeng Lengger selayaknya tetap mendapat tempat dan menjadi ikon dusun Giyanti. Hal ini akan menjadi pembeda dari pasar-pasar digital berkonsep tradisional yang sudah lebih dulu muncul di tempat lain. Semoga tetap lestari.

Mayo maring Njanti!

Wonosobo, Desember 2018

Jam buka: Sabtu 17.00 – 22.00 & Minggu 07.00 – 13.00

#wonosobohitz #pasartingnjanti

Suasana pasar yang selalu ramai pengunjung
Pasar yang mengusung konsep tradisional membuat kita seumpama berpergian ke masa lampau, Menarik dan unik. (Dok. pribadi)
Benggol sebagai alat bertransaksi jual beli
Transaksi di pasar ini tidak menggunakan Rupiah sebagai alat pembayaran. Mata uang yang berlaku disini adalah benggol, alat pembayaran yang terbuat dari keping kayu bundar yang dapat kamu tukarkan sesaat setelah memasuki kawasan pasar ini. 1 benggol-nya dihargai Rp2000. (Dok. pribadi)
Nasi pecel
Jika lapar dan kepingin makanan berat, tersedia nasi jagung lengkap dengan rempeyek teri, nasi leye (singkong) ataupun nasi megono. Apalagi makannya di bawah pohon bambu, jooss kan! Semuanya akan memberikan pengalaman kecap rasa menembus sekat-sekat waktu. (Dok. pribadi)
Penanda warung
Menu yang disajikan di tiap warung penjual adalah makanan atau jajanan tempo doeloe; dimaksudkan untuk menggugah nostalgia dan menjadi obat kangen akan makanan masa kecil. (Dok. pribadi)
Tempat penyajian
Material yang dipakai sebagai alat saji makanan dan minuman sebagian besar sudah berbahan baku alam; hal ini patut mendapat apresiasi hanya saja masih ada beberapa warung yang menggunakan material berbahan plastik – tentunya ini harus menjadi perhatian pengelola pasar agar konsep “kembali ke alam” dan tradisional benar-benar terwujud. (Dok. pribadi)
Diskusi
Di Pasar Ting Njanti kamu juga dapat berdiskusi ataupun sekedar ngobrol ringan dengan penjual atau penampil kesenian. Gratis kok, tenang saja. (Dok. pribadi)
Jamu herbal dan kacang rebus
Tak lupa kacang rebus dan jamu tradisional (herbal) juga dapat kamu pilih untuk menemani waktu santaimu. Benar-benar kembali ke masa lalu sejenak, gaes! (Dok. pribadi)
Jajan pasar
Tak ada yang menjajakan pizza, burger, kopi dalgona maupun jajanan kekinian dapat kamu temui di pasar ini. Jajanan tradisional seperti kue serabi, cenil, getuk ataupun tahu walik akan memanjakan lidahmu. (Dok. pribadi)

12 Replies to “Pasar Ting Njanti, Kekunoan Yang Kekinian”

    1. Lha ini kan pasar posisi di Wonosobo, Oom – ya agak jauh dari Tutup Ngisor. Besok lah ya kalau selesai dari Lima Gunung lagi kita mampir, ben bisa ketemu sama si “Jilbab Biru” 😉

      Mau kenalan po? Ada ni nomor kontaknya 😀

      Like

Leave a comment