“Sepandai-pandai membungkus yang busuk berbau juga”
Sebuah narasi cerita rakyat yang diyakini sebagai latar belakang Batu Pandang Ratapan Angin, salah satu tempat memandang keelokan paras alam di Wonosobo.
Alkisah, diceritakan tentang sosok pangeran tampan dan pasangannya seorang putri nan jelita, hidup rukun dan penuh cinta. Keduanya menjadi teladan hidup yang baik bagi rakyatnya. Namun keharmonisan hubungan kedua pasangan itu berubah saat muncul orang ketiga. Seorang lelaki menggoda sang putri hingga memunculkan hubungan cinta terlarang diantara mereka.
Kehadiran Sephia (kekasih gelap) ini tertutupi oleh kebohongan demi kebohongan yang dilakukan sang putri, hingga akhirnya pangeran mendapati kebenaran hubungan terlarang ini.
Sang putri dengan balutan rasa salah dan penyesalannya berkali-kali meratap serta memohon maaf kepada suaminya. Di antara perasaan marah bercampur rasa sayangnya kepada sang istri, sang pangeran dengan sangat murka kemudian mengutuk kedua anak manusia yang berselingkuh tersebut menjadi batu. Batu yang berdiri adalah jelmaan dari kekasih gelap sang putri, sementara batu yang terduduk adalah jelmaan dari sang putri.
“Mas Yo, ini nasi goreng dan teh manis panasnya ya, “kata Mas Dwi, seorang penjaga penginapan murah di Dieng, membawa nampan berisi pesananku.
Ia meletakkan nasi goreng dan teh manis panas itu di atas meja kayu panjang di ruang tengah penginapan. Meja kayu panjang ini digunakan sebagai meja makan oleh para pelancong yang bermalam di penginapannya. Pagi itu aku sarapan bersama dua orang pelancong lainnya setelah sebelumnya menyegarkan diri dengan mandi air hangat. Mereka adalah pasangan suami istri dari Selandia Baru, Mark dan Cynthia. Aku mengetahuinya setelah berbincang dengan keduanya.
Kedua bule itu sudah bermalam di penginapan Mas Dwi sehari sebelumnya. Sementara aku baru semalam menginjakkan kaki di sini setelah menempuh perjalanan panjang dari Jakarta menuju Yogyakarta, transit bis di Magelang hingga pemberhentian terakhirku di Dieng. Seperti ritual, setahun sekali aku memang selalu mengunjungi Dataran Tinggi Dieng di Wonosobo.
Aku melahap dengan cepat nasi gorengku dan menggelontorkan teh hangat untuk mengusir rasa seret di tenggorokan. Bagaikan mendapat suntikan energi, badanku terasa kembali segar. Tas ransel berisi logistik dan kamera segera terpanggul di pundakku. Mark dan Cynthia juga terlihat sudah menyelesaikan sarapannya dan bergegas mengemas perlengkapan di kedua tas ransel kecil mereka.
Kami berpamitan. Kedua bule yang ramah itu mengambil perjalanan dengan arah yang berbeda denganku. Kami bertiga janjian untuk berbincang sore nanti setelah kembali ke penginapan.

“Bye, Yohan. We’ll see you later this afternoon. Have a good trip, “kata Mark. Ia dan Cynthia melambaikan tangan kepadaku.
“Thank you. Have a great trip both of you. Stay safe,” jawabku sambil membalas lambaian tangan mereka.
Menikmati keheningan di Batu Pandang Ratapan Angin
Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo memang tempat yang nyaman untuk dikunjungi para pelancong. Ia menyimpan banyak pesona alam dengan lansekapnya yang memesona. Tingkat ketinggiannya yang berada diatas 2000 mdpl membuat Dieng berhawa sejuk bahkan cenderung dingin. Pada waktu-waktu tertentu suhu di Dieng dapat mencapai 0 derajat Celcius bahkan minus 1 – 4 derajat Celcius.
Jika kamu adalah pelancong yang menyukai bentang alam dengan pemandangannya yang memukau, silakan taruh tuliskan nama Dieng di dalam daftar perjalananmu. Percayalah, Dieng bakalan memesonamu. No doubt!
Baca juga: Soreng, Sekelumit Kisah Aryo Penangsang Dalam Sebuah Tarian
Aku melajukan motor sewaan yang aku pinjam lewat Mas Dwi. Kali ini Batu Pandang Ratapan Angin menjadi tujuan perjalananku. Sekitar tahun 2015 tempat ini dibuka untuk umum dan saat ini sudah cukup terkenal dikalangan para pelancong. Tak susah rasanya menemukan foto-foto tempat ini di berbagai media sosial.
Secara letak geografis, Batu Pandang Ratapan Angin berada di Desa Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Wonosobo. Cukup berkendara sekitar 15 menit dari penginapanku.

Batu Pandang Ratapan Angin – yang disebut pula Batu Pandang Dieng atau Batu Pandang Telaga Warna – letaknya tak jauh dari Dieng Plateau Theater. Kita perlu berjalan kaki dan tracking untuk menuju Batu Pandang Ratapan Angin yang berada di atas sebuah bukit. Tak lupa aku menyodorkan uang IDR 10.000 sebagai tiket masuk di loket. Cukup murah.
Di atas bukit itulah terletak dua buah batu bertumpuk yang diyakini sebagai batu kutukan dari pangeran yang telah diselingkuhi oleh istrinya.
Dari atas batu pandang ini kalian dapat menikmati keindahan Telaga Warna dan Telaga Pengilon yang letaknya bersebelahan. Keunikan dari kedua telaga ini adalah pada warna air di masing-masing telaga. Warna air di Telaga Warna cenderung berwarna hijau, sementara warna air yang jernih lebih mendominasi Telaga Pengilon.
Kedua telaga itu terpisahkan oleh sebuah pulau – lebih tepatnya daratan kecil – yang akan hilang saat musim penghujan karena terendam oleh debit air danau yang bertambah. Jika kalian beruntung, kalian akan dapat menyaksikan Telaga Warna yang berubah warna airnya menjadi kuning atau berwarna-warni lainnya. Hal ini terjadi karena kandungan belerang yang tinggi di dasar danau sehingga saat sinar matahari menyinarinya akan menimbulkan efek warna-warni pada air telaga.
Layangkan pandangan matamu ke segala arah. Di kejauhan akan terlihat lahan-lahan pertanian di lereng-lereng bukit dan gunung yang tampak seperti ribuan anak tangga. Di sisi Timur, gunung Prau terlihat seperti raksasa yang tertidur. Memanjang berwarna hijau.
Aku berdiri di atas salah satu batu yang tertinggi, menikmati keheningan. Memejamkan mata dan menajamkan telinga. Mendengar desisan suara yang berpadu dengan bunyi gemerisik dedauan yang saling bergesek halus karena tertiup semilirnya pawana. Terasa getir dan melagukan lara. Terdengar seperti sebuah ratapan sedih.

“Mas, mau coba naik jembatan gantung nggak? Di balik batu besar itu tuh tempatnya! Dari sini naik sedikit kemudian lurus saja,” teriakan Sarip, penjaga loket di tempat ini, membuyarkan keasyikanku menikmati keheningan.
Aku menganggukkan kepalaku mengiyakan, namun tak sedikitpun aku menggeserkan kakiku dari atas batu pandang. Aku masih mau menikmati keheningan itu. Membiarkan seluruh panca indraku berkeliaran dan terlena oleh keheningan yang tercipta saat itu.
Baca juga: Pasar Ting Njanti, Kekunoan Yang Kekinian
Setelah puas dengan hanya duduk dan menikmati keheningan, aku beringsut turun dan kembali melanjutkan perjalanan menuju tempat lain di kawasan Dieng. Jembatan gantung yang diberi nama Jembatan Merah Putih tak aku sambangi seperti saran Mas Sarip.
Aku lebih memilih bergeser ke arah kompleks candi. Belajar kearifan dan keheningan lainnya dari tumpukan bebatuan yang disusun oleh tangan dan peluh keringat nenek moyang bangsa ini, jauh sebelum traktor ataupun forklift ditemukan.
Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo
Jadi inilah cerita dibalik wallpaper jelajahlangkah…..apik tenan.
LikeLiked by 2 people
Hahahaha… Iyaa, oom. Tapi aku durung punya logo kayak dirimu, oom 😁
LikeLiked by 1 person
Nggambar dhewe wae mas….hahaha.
LikeLiked by 1 person
Kangen daerah Dieng. Tahun lalu aku menikmati kedinginan di sana. Tahun ini gak ke Dieng, karena covid hahahhahaha
LikeLiked by 1 person
Hahaha… gegara pandemi ini memang semua perjalanan tertunda 😀
Sehat selalu nggih, mas.
LikeLike
Tulisan yang menarik, mengangkat cerita lokal dengan gaya tersendiri. Salam dari Wonosobo mas.
LikeLiked by 1 person
Terima kasih apresiasinya, mas. Wonosobo selalu menarik untuk dikulik, lengkap dengan nukilan cerita rakyat dan kearifan lokalnya.
Nanti kalau saya mampir kembali ke Wonosobo boleh mlipir ketemu mas Ryan nggih 🙂
Terima kasih.
LikeLike
Siap mas. Bisa mampir di Shine tempat temen2 Wobosobo berbagi cerita dan kearifan lokal.
LikeLiked by 1 person
Baik, mas. Noted. Terima kasih, kita berbagi cerita nanti.
LikeLike
Siap mas, insyaAllah disempatkan bisa bersua kembali ke Wonosobo.
LikeLiked by 1 person