Candi Plaosan, Markah Cinta Penyatu Perbedaan

“Kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia. Kau ajarkan aku cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini” – Habibie & Ainun.

Apakah yang akan menjadi bukti saat kamu berani menyatakan perasaan cintamu kepada seseorang?

India punya kisah cinta romantis yang menjadi latar belakang dibangunnya Taj Mahal oleh Shah Jahan, seorang Kaisar dari Kekaisaran Mughal. Ia membangun sebuah makam spektakuler, sebagai pembuktian cinta dan penghormatan atas istrinya yang setia, Mumtaz Mahal. Selain itu Taj Mahal dibangun dengan perpaduan dua seni arsitektur, yaitu arsitektur Mughal dan Persia sebagai asal dari Mumtaz Mahal.

Lain di India, lain pula dengan kisah percintaan berbumbu romantis di negeri ini. Cerita cinta Rakai Pikatan dan Pramodyawardani tertuang dalam bentuk bangunan berupa candi Plaosan. Candi ini dibangun sebagai perwujudan kekuatan dan keabadian cinta mereka berdua yang sebelumnya menjadi pertentangan kedua belah pihak karena perbedaan agama.

Untungnya, kisah cinta antar dua insan ini tak seperti akhir cerita Sunny Soon dan Saira Jihan, dua tokoh utama dalam film Cin(T)a. Mereka tak seberuntung Rakai Pikatan dan Pramodyawardani, dimana kisah cinta mereka berakhir kandas karena hal yang sama.

Candi Plaosan berciri arsitektur Buddha dan Hindu
Bangunan candi Plaosan dibangun dengan memadukan dua ciri yaitu berciri Buddha berpadu Hindu (Dok. pribadi)

Latar belakang perbedaan keyakinan menjadi kumaian bagi kisah cinta yang berujung manis dalam pernikahan Rakai Pikatan dan istrinya, Pramodyawardani. Selain berbeda agama, mereka berdua berasal dari dua wangsa atau dinasti yang berbeda. Rakai Pikatan berasal dari dinasti Sanjaya beragama Hindu beraliran Syiwa, sementara Pramodyawardani adalah wangsa Syailendra, pemeluk Buddha aliran Mahayana (R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia – 1973).

Baca juga: Senandung Sunyi Mangli

Dari keterangan yang lain, Pramodyawardani tercatat dalam sejarah Indonesia menjadi ratu pertama yang melakukan pernikahan lintas agama. Ken Arok, seorang raja Singhasari yang penganut Hindu, menikahi Ken Dedes penganut Buddha, menjadi pasangan kedua berbeda keyakinan yang tercatat tiga abad kemudian (Gatra, Volume 12, 2006).

Beralaskan perbedaan-perbedaan inilah yang menjadikan Candi Plaosan terlihat tak sama dengan candi-candi lainnya. Perpaduan unsur Buddha dan Hindu seakan menyatu dalam filosofi dan sentuhan arsitektur Candi Plaosan sebagai tempat pemujaan kepada Sang Pencipta.

Candi Plaosan dan reruntuhan bebatuan
Tumpukan reruntuhan batu kuno di sekeliling candi Plaosan (Dok. pribadi)

Sebagai candi yang mewakili perwujudan cinta yang abadi antara dua kekasih, Candi Plaosan punya  cerita yang berkembang di masyarakat setempat bahwa apabila kita membawa pasangan ke candi ini, niscaya hubungan percintaan itu akan langgeng. Hal ini bertolak belakang dengan cerita rakyat yang berkembang di Candi Prambanan tentang kisah percintaan Bandung Bandawasa dan Rara Jonggrang yang berakhir sedih.

Baca juga: Prambanan Dalam Diam

Jadi, bagi kalian yang masih jomblo, bolehlah lekas mendapat pasangan dan ajak piknik ke Candi Plaosan ya, mblo!

Aku sengaja mengunjungi candi Plaosan menjelang sore demi mengejar senja. Berdua tentu saja, bersamanya, wanita bermata sipit dan berambut sebahu. Tak dipungkiri bahwa kedatangan pada waktu sebelum matahari lingsir adalah waktu yang tepat untuk menikmati penghujung siang. Pendar sinar jingga di langit biru terlihat semakin menawan dan terasa berbeda.

Candi Plaosan dikelilingi reruntuhan bebatuan
Candi Plaosan dengan segala keagungannya (Dok. pribadi)

Romantisme candi Plaosan tak hanya melulu dari rangkaian kisah cinta maupun sejarahnya, namun bulatan oranye yang perlahan lahan turun ke batas cakrawala sanggup membius mata kami berdua. Bongkahan bebatuan kuno yang terserak di sekeliling candi menjadi berubah warna, bagaikan emas batangan, tertimpa sinar berwarna oranye itu.

Matahari yang semula tergantung tinggi di atas langit, dalam rentang waktu yang tak lama, berganti sinarnya menjadi lembayung, mewarnai langit yang perlahan berubah menjadi gelap. Sementara siluet candi Plaosan menjadikan senja di sore itu terasa magis.

Menikmati langit senja di candi Plaosan
Senja di candi Plaosan (Dok. pribadi)

Aaah, selain pasangan yang romantis mungkin Rakai Pikatan dan Pramodyawardani adalah pengejar senja, penyuka musik indie dan juga penggemar kopi.

Sebuah pertunjukan alam yang sempurna! Swastamita.

Baca juga: Watu Goyang, Swastamita Di Tanah Jogja

Berbicara tentang cinta tentu tak akan pernah ada habisnya. Cerita cinta akan selalu menjadi buah bibir selama manusia masih berada di permukaan planet Bumi. Kekuatan cinta sangatlah dahsyat. Ia mampu menembus sekat-sekat perbedaan. Jangankan bicara tentang suku, agama, status sosial atau segudang perbedaan lainnya, kerasnya batu meteor sekalipun akan mampu dilelehkan olehnya.

Candi Plaosan tak hanya berbicara tentang kemegahan arsitektur bangunan. Ia adalah representasi cinta nan abadi dan perlambang toleransi yang sebenarnya. Candi Plaosan mampu mengikis sekat perbedaan dan merangkainya menjadi suatu kekuatan. Perbedaan yang memang sudah ada sejak dahulu mampu disatukan oleh cinta yang bertumbuh subur.

Manusia-manusia zaman modern, yang mengaku sudah maju peradabannya, seringkali melupakan arti toleransi ataupun perbedaan. Menghargai perbedaan menjadi sesuatu yang bernilai sangat mahal. Apakah manusia modern justru telah mengalami degradasi peradaban?

Alangkah lebih baik jika mereka mau menengok sejenak catatan sejarah negeri ini dan berguru kepada nenek moyang bangsa ini.

Relief candi Plaosan
Relief berwujud wanita di candi Plaosan (Dok. pribadi)

“Yuk, kita pulang,” ajakku kepada wanita bermata sipit dan berambut sebahu.

Aku menggenggam tangannya, berjalan bersisian menikmati sisa sinar lembayung yang mulai redup.

Baca juga: Brown Canyon, Senja Di Penghujung Hari

“Enak banget ya orang zaman dulu kalau pas romantis. Bukti cinta bisa langsung bangun candi. Lha sekarang, bakalan ribet. Harga tanah saja sangat mahal, boro-boro bangun candi!” kataku.

“Bangun apartemen sajalah yang bagus,” jawab wanita bermata sipit dan berambut sebahu.

Kami berdua menyatukan pandangan dan bersama tertawa renyah.

Yogyakarta, September 2019

9 Replies to “Candi Plaosan, Markah Cinta Penyatu Perbedaan”

  1. wanita bermata sipit dan berambut sebahu, euy…

    Dan Pikatan juga akan bilang ke gadisnya: enak banget ya anak jaman sekarang, kita yang susah-susah bikin candi, mereka tinggal senja-senjaan, gandeng-gandengan dan foto-fotoan… 😀

    Liked by 1 person

  2. Aku inget ke sini subuh-subuh lalu abis selesai foto makan ama ngeteh di warung si mbok di seberang candi. Damai banget rasanya sambil ngeteh liat hamparan sawah dan candi, plus petani bolak balik dan anak-anak sekolah naik sepeda. Di Jakarta ga ada yang begini…

    Liked by 1 person

Leave a comment