Maleo, Burung Endemik Sulawesi Yang Hampir Rembas

“Maleo adalah sebuah gambaran tentang kesetiaan. Kita, manusia, perlu belajar dari burung endemik Sulawesi ini.”

“Mas, besok jadwalmu ke Cagar Alam Panua ya.”

Begitu sederet kalimat yang masuk lewat aplikasi pesan singkat di gawaiku malam itu. Pesan itu dikirim mbak Sasha, biasa dipanggil Emak, editor in chief merangkap kepala rombongan. Saat ini kami serombongan tengah berada di Bumi Serambi Madinah, sebutan lain untuk Gorontalo, Sulawesi.

Aku segera menjawab dan mengiyakan pesan singkat tersebut sembari memindahkan semua data foto, video dan juga hasil wawancara dengan narasumber hari ini ke laptopku. Mengosongkan memori kamera dan gawai, menyisakan aplikasi yang sekiranya esok akan aku pakai saja.

Banyak yang belum mengenal cagar alam Panua, termasuk aku. Ini baru pertama kalinya aku dengar ternyata ada cagar alam di pulau Celebes. Setelah meramban beberapa saat di dunia maya, aku temukan bahwa cagar alam ini tempat yang menarik. Kita dapat berwisata alam dan meneroka keanekaragaman alam hutan serta keindahan pantainya yang berpasir putih. Nama Panua diambil dari bahasa Gorontalo yang berarti Maleo. Konservasi hutan ini berbatasan langsung dengan garis pantai, dimana dahulu merupakan habitat terbesar Maleo (Macrocephalon maleo), burung endemik dari Sulawesi.

CAGAR ALAM PANUA

Kawasan cagar alam Panua secara geografis terletak di desa Maleo, Kecamatan Paguat, Kabupaten Pahuwato, Gorontalo dan masuk di dalam wilayah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara, Seksi Konservasi Wilayah II Gorontalo. Terletak di arah barat kota Gorontalo, kamu dapat mengunjunginya dengan menempuh perjalanan darat.

4 jam lamanya terguncang-guncang di dalam kabin mobil yang kami tumpangi membuat kaki lumayan pegal. Entah beberapa kali mobil berhenti, menepi di bahu jalan Trans Sulawesi, sekedar untuk menghilangkan penat dan meluruskan otot.

Suara penyanyi perempuan, entah siapa itu, masih mengalunkan suaranya dari tape mobil; musik dangdut koplo menjadi teman perjalanan selama 4 jam. Dan sialnya, hanya itulah satu-satunya musik yang disimpan dalam flash disk pak sopir. Bayangkan! Otak saya dicuci oleh musik dangdut koplo selama 4 jam! Sangat bedebah saudara-saudara…

Macrocephalon maleo
Papan petunjuk Cagar Alam Panua, Gorontalo

Luas cagar alam Panua mencapai 45.575 hektar, namun saat ini terjadi penyusutan drastis terhadap luas areanya. Ini disebabkan oleh peralihan fungsi lahan menjadi kawasan perkebunan, pertambangan dan tata hutan kota yang menyebabkan populasi Maleo semakin langka dan diambang kepunahan.

Status burung Maleo sendiri dilindungi sejak tahun 1970 sebagai burung yang terancam punah dan mendapatkan skala prioritas oleh Badan Konservasi Nasional, setara dengan burung Cendrawasih dari Papua.

Baca juga: Petualangan Cinta Di Atas Karang

Era tahun 1970-an sangat mudah ditemukan Maleo di Gorontalo. Penyebarannya ibarat ayam yang bebas berkeliaran di permukiman masyarakat. Satu dekade setelahnya, terjadi perburuan besar-besaran akan telur dan burung Maleo. Kebutuhan telur Maleo semakin meninggi karena digunakan sebagai perlengkapan wajib saat upacara adat. Kelestarian Maleo terancam. Gangguan lainnya adalah gangguan predator dan juga pencurian telur Maleo yang dilakukan oleh masyarakat karena dipercaya dapat menyembuhkan penyakit.

Berbagai upaya penangkaran sudah dilakukan, namun tak banyak menunjukkan keberhasilan karena perilaku masyarakat sendiri yang membuatnya punah. Perburuan burung Maleo secara masif dilakukan karena keunikannya. Ia memiliki tonjolan diatas kepalanya yang berfungsi sebagai pendeteksi panas lingkungan untuk menetaskan telurnya. Keunikan inilah yang menyebabkan nilai jualnya sangat tinggi.

Tak bisa sembarangan orang yang dapat memasuki kawasan tersebut, sesuai dengan statusnya sebagai cagar alam. Diperlukan SIMAKSI (Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi) yang dikeluarkan oleh kantor kehutanan setempat. Namun kita masih dapat melihat dari dekat anak burung Maleo di tempat perawatan yang terletak di kandang kantor kehutanan.

Macrocephalon maleo
Telur burung Maleo ternyata cukup besar ya

RELOKASI TELUR BURUNG MALEO

Pak Tatang Abdullah, narasumber yang aku temui, bertugas sebagai Kepala Resort cagar alam Panua. Dari keterangan yang aku dapatkan, dijelaskan bahwa di Sulawesi tak banyak hutan yang memiliki kondisi lingkungan yang dibutuhkan Maleo untuk kelangsungan hidupnya. Juga tidak semua hutan yang mempunyai panas bumi terdapat burung Maleo.

“Habitat yang unik dan khas inilah yang membuat burung Maleo rentan dan sensitif terhadap gangguan. Sedikit saja muncul ancaman maka akan sulit baginya mengembangkan hidup,” Pak Tatang membuka perbincangan denganku.

Oleh karena itu kegiatan seperti perambahan hutan dan juga alih fungsinya jelas mengancam dan mengusik kelangsungan hidup Maleo.

“Saat ini yang kami lakukan secara serius adalah relokasi atau pemindahan penetasan telur Maleo dari penetasan secara alami menjadi penetasan semi buatan. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya tetas telur Maleo,” papar Pak Tatang.

Pada umumnya Maleo bertelur di daratan yang hangat, seperti tanah berpasir dekat pantai atau di kawasan hutan. Suhu tanah yang cocok untuk peneluran Maleo berada di kisaran 32-34 derajat Celcius.

Pemindahan penetasan telur Maleo dilakukan untuk mengurangi tekanan kepada telur dari pemangsa seperti ular atau biawak yang sering mengincarnya di alam liar. Ancaman predator alami ini termasuk masih tinggi, terutama di dalam kawasan hutan.

Macrocephalon maleo
Saya dan Pak Tatang Abdullah, Kepala Resort cagar alam Panua (Dok. Pribadi)

Relokasi dilakukan di dalam bak penampungan yang berpagar rapat dengan cara yang sama yaitu telur dikubur dalam pasir pantai.

Aku berkesempatan mendatangi tempat relokasi telur Maleo tersebut. Setiap telur yang telah direlokasi dicatat dan dibubuhkan nomor registrasi sesuai tanggal pemindahannya. Hal ini untuk memudahkan pemantauan serta perhitungan waktu pengeraman telur hingga saatnya menetas.

Dalam habitat aslinya Maleo mulai bertelur di usia tiga tahun dan menghasilkan rata-rata hingga 10 butir telur dalam setahun. Ia akan mengubur telurnya dalam lubang berkedalaman sampai 60 centimeter. Untuk mengelabui predator alami, Maleo membuat dua atau tiga lubang galian namun hanya satu lubang yang berisi telur.

Telur Maleo akan menetas dalam waktu 2-3 bulan dengan memanfaatkan panas bumi atau panas matahari.

Macrocephalon maleo
Tempat berukuran 3 x 3 meter yang menjadi tempat relokasi telur Maleo (Dok. Pribadi)

Secara alami anak Maleo sudah dipersiapkan untuk bertahan hidup begitu ia keluar dari cangkang telurnya. Ia sudah mempunyai naluri mencari makan serta bertahan hidup dari predator yang mengincarnya. Bahkan anak Maleo sudah dilengkapi dengan sayap primer yang sempurna, sehingga ia dapat langsung terbang begitu menetas. Menakjubkan ya?

“Tidak mudah menebak tempat bertelurnya Maleo. Karena ia membuat lebih dari satu lubang untuk menghindari pemangsa. Juga membedakannya dengan sarang burung Gosong (Eulipoa Wallacei) yang mempunyai kemiripan baik bentuk tubuh ataupun perilaku bertelurnya. Namun ciri fisik yang paling terlihat jelas adalah dari ukuran telur Maleo lebih besar,” imbuh Pak Tatang.

Setelah telur menetas di tempat relokasi, anak Maleo dipindahkan ke dalam kandang tempat perawatan sebelum dilepaskan kembali ke alam liar.

Baca juga: Jejak Kebesaran Masa Lalu Gorontalo

“Biasanya setelah anak Maleo lahir cara terbangnya masih sporadic, di tempat perawatan inilah kami pantau perkembangannya. Setelah ia dapat terbang dengan baik barulah kami lepas ke habitatnya,” Pak Tatang menerangkan penjelasannya.

Sebagai binatang endemik Sulawesi, Maleo ternyata punya keunikan yang lain. Maleo dewasa yang telah berpasangan tidak akan mencari pasangan pengganti saat pasangannya mati. Juga ketika sudah masanya untuk bertelur, pasangan Maleo akan bekerja sama menggali tanah untuk menaruh telurnya. Jika salah satunya menggali tanah, maka pasangannya akan ganti menunggu dan sebaliknya.

Maleo saja tahu arti setia dengan pasangannya, masak kalian nggak? Hehehe…

Macrocephalon maleo
Penanda yang dibubuhkan di tempat telur Maleo dieramkan dalam tanah pasir (Dok. Pribadi)

REGENERASI BURUNG MALEO

Lambatnya regenerasi Maleo yang disebabkan oleh pola hidup dan cara bertelurnya yang unik, menjadikan populasi Maleo lambat melesat kuantitasnya. Selain tentu saja faktor-faktor eksternal lainnya yang juga dapat menjadi penghalang. Tetapi hal ini tidak menyurutkan kerja keras Balai Konservasi Sumber Daya Alam untuk tetap menjaga dan melestarikan kelangsungan hidup Maleo.

“Dari data-data yang tercatat, dalam 5 tahun terakhir persentase keberhasilan penetasan telur Maleo lebih dari 50%. Bahkan catatan terakhir menunjukkan kenaikan hingga mencapai 81%. Ini sangatlah menggembirakan, terlebih untuk generasi yang akan datang masih tetap dapat melihat seperti apa bentuk Maleo dan juga telurnya.” Pak Tatang Abdullah mengakhiri pembicaraan.

Macrocephalon maleo; burung Maleo
Anakan burung Maleo dalam penangkaran sebelum dilepas di habitatnya (Dok. Pribadi)

Selain menjadi habitat Maleo, di cagar alam Panua dapat ditemukan pula berbagai species penyu seperti penyu tempayan, penyu sisik, penyu belimbing, julang Sulawesi (burung Rangkong), babi rusa, anoa, tarcius, monyet Sulawesi dan juga berbagai jenis bunga anggrek.

Minimnya jumlah personil untuk memantau wilayah cagar alam serta tidak adanya pos penjagaan menjadi kendala dan harus digaris bawahi. Hal ini sudah selayaknya menjadi perhatian serius dan juga pekerjaan rumah para pemangku jabatan pemerintah daerah Gorontalo, jika tak ingin area cagar alamnya dirusak.  Kelestarian alamnya cagar alam Panua sebagai habitat banyak satwa liar sudah sepatutnya dijaga dan dilestarikan.

Jika kamu tertarik melihat burung Maleo sebelum dilepas ke habitat aslinya, luangkan waktumu untuk mengunjungi cagar alam Panua di Gorontalo.

Macrocephalon maleo
Burung Maleo dewasa di alam liar (sumber: Google image)

Kami berpamitan dengan pak Tatang, seorang yang sangat berdedikasi dalam penyelamatan populasi burung Maleo. Terima kasih untuk petualangan hari ini, pak Tatang.

Selanjutnya, perkampungan suku Bajo di desa Torosiaje sudah menanti kami. 5 jam lagi perjalanan dan bakal dicuci otak oleh Siti Badriah dengan “Lagi Syantik”… Matek aku!

*Tulisan ini pernah ditayangkan di In-flight Magazine Citilink bulan Agustus 2018; saat ini sudah mengalami penyuntingan untuk ditayangkan di blog pribadi.

20 Replies to “Maleo, Burung Endemik Sulawesi Yang Hampir Rembas”

      1. Masih besar telu burung Maleo, mas. Kalau diletakkan di telapak tangan orang dewasa panjangnya bisa mencapai 10-12 cm.

        Dan burungnya asli cantik banget; walaupun dinamakan burung tapi dia lebih sering berlari dibandingkan terbang 🙂

        Like

      1. Belum pernah ke Ragunan mas, terlalu jauh dari Solo. di Solo juga ada taman satwa Jurug, deket banget sama rumah..cuma koleksi hewannya gak lengkap.. dan denger2 akhir2 ini rugi karena covid..

        Liked by 1 person

      2. Iya, mas. Banyak taman margasatwa yang merugi karena panjangnya pandemi; Ragunan juga mengalami hal yang sama kok. Belum lama ini saja mereka membuka kembali kebun binatangnya, tetapi pengunjungnya dibatasi dan prokes juga ketat.

        Kebun binatang Yogyakarta lumayan banyak koleksi binatangnya dan tak begitu jauh dari Solo.

        Like

Leave a comment