Hidup Yang Memeluk Kehidupan

“Whenever GOD means to make a man great, HE always breaks him or her in pieces first” – Charles Spurgeon

“Jo, kamu pernah patah hati nggak?” tanya Rina kepadaku.

“Pernah. Beberapa kali,” jawabku sambil menyesap secangkir green tea latte. Sesapan terakhir sebelum akhirnya kami berdua pulang berboncengan menaiki sepeda motor malam itu dari kedai kopi Ujung Jalan.

Percakapan singkat dengan Rina yang hingga saat ini masih melekat di benakku. Patah hati. Siapa yang tak pernah mengalaminya. Aku rasa hampir semua orang pernah merasakan hal ini. Banyak hal disekeliling kita yang dapat membuat kita patah hati (by the way, ini bukan hanya masalah patah hati soal pacaran ya hehehe).

Coba kamu hitung, sudah berapa kali dunia ini membanting hidupmu? Menenggelamkan, menampar, mencaci lalu kemudian menghempaskanmu ke titik nadir hidupmu? Apakah itu membuatmu kapok akan hidup ini? Menyerah dan melambaikan tangan ke kamera? Belum lagi ketika kamu dikecewakan oleh orang terdekatmu. Teman baikmu? Rekan kerjamu? Keluargamu? Istrimu atau suamimu? Atau malah pendeta di gerejamu juga ikut menyakiti?

Begitu banyak hal yang dapat menyakiti kita. Semuanya akan menggores dan meninggalkan luka di hati.

Tiga bulan yang lalu aku mendapatkan kabar bahwa salah seorang bibiku dipanggil pulang oleh Gusti Allah karena penyakit Parkinson yang dideritanya; semua anggota keluarga sangat berkabung. Seminggu setelah itu, ayah dari seorang rekan baikku juga meninggal karena sakit di Medan. Menyusul 3 hari setelahnya, ayah dari salah seorang ex teman kerjaku juga dipanggil pulang ke rumahNya.

Ketiga peristiwa itu menimbulkan kesedihan, menggores dan menimbulkan luka yang mendalam. Aku tahu – sangat tahu – bagaimana rasanya kehilangan orang yang sangat kita sayangi.

The show must go on.

Kehidupan harus terus berjalan.

Aku sempat bertemu kembali dengan salah seorang rekanku yang kehilangan ayahnya seperti yang aku ceritakan di atas. Ia masih belum dapat menerima bahwa ayahnya tak lagi bersama. Semua hal di dunia ini dirasa tidak adil baginya, bahkan Gusti Allah pun juga dianggapnya tak adil. Sang ayah dipanggil saat ia sedang berada lekat dengannya.

Aku mengerti karena akupun pernah merasakan hal yang sama. Rekanku memendam sakit hati pada dunia dan juga Gusti Allah. Dengan meneteskan air mata ia menuturkan kisahnya.

Dan aku memberikan waktu untuknya berdiam diri.

Amsal 4: 23 – Jagalah hatimu baik-baik, sebab hatimu menentukan jalan hidupmu (BIMK)

Amsal 4: 23 – Yang terutama sekali, jagalah hatimu karena hatimu mempengaruhi segala sesuatu dalam hidupmu (FAYH)

Jika menilik dari hikmat Raja Salomo yang dicatatkan dalam kitab Amsal, ternyata dikatakan bahwa hati manusia sangat rentan untuk patah. Ia seumpama barang sangat mahal yang harus dijaga dengan hati-hati.

Hati merupakan inti dan muara dari kehidupan maupun segala masalah yang terjadi di sekitar kita.

Perkara apapun yang sedang terjadi mengerubungi hidupmu saat ini – entah hal itu memukul dan menohok ulu hati hidupmu; ataupun hal yang membelai dan membuai hidupmu dengan buncahan kebaikan – akan menjadi sesuatu yang berbeda, tergantung dari sikap dan kondisi hatimu saat kamu bersua dengannya.

Hal yang baik sedang menghampirimu namun saat kondisi hatimu sedang buruk, niscaya semuanya akan menjadi busuk pada pandanganmu. Demikian juga sebaliknya. Begitu rentan dan rapuhnya hati kita.

Peluk dan rengkuhlah ketakutanmu

Layaknya seorang petani yang merawat pohon buahnya, ia akan menjaga dan merawat tanah di sekeliling pohon yang tumbuh. Tak hanya itu, ia juga merawat akarnya dengan memberikan asupan makanan berupa pupuk dan juga menyiraminya dengan air. Petani akan memberikan yang terbaik pada akar pohon sebagai pokok kehidupannya, dengan harapan akan menghasilkan panen buah yang terbaik.

Demikian pula dengan hati kita, apabila kita abai memberikan pupuk dan menyiraminya dengan pikiran dan hal-hal yang baik tentunya akan berbuah hal yang tak baik pula.

Aku percaya bahwa hal-hal baik yang kita perbuat dan hasilkan, sudah pasti berasal dari lubuk hati yang memancarkan kehidupan. Itulah yang akan mempengaruhi segala sesuatu dalam hidup kita.

Lalu bagaimana dengan hal-hal yang mengerubuti dan menyakiti hati kita?

Anakku sakit keras, aku dikecewakan orang tuaku, aku divonis dokter sakit berkepanjangan dan tidak ada harapan hidup, aku ditinggal ayahku pergi, dll? Ketahuilah bahwa perkara-perkara pahit ini akan tetap ada dan berjalan seiring dengan kita sepanjang hidup. Tak bisa dipungkiri bahwa pada suatu saat ia akan kembali melukai perjalanan kita.

Dengan memeluk ketakutanmu, ia juga akan berdamai denganmu.

Hadapi ketakutanmu dan lanjutkan hidup. (Dok. ilustrasi)

Peluklah kehidupan kita seberapapun asamnya, rengkuhlah kehidupan yang asam dan pahit itu dekat disisi kita. Ijinkan ia membantingmu, menamparmu, menjebloskanmu hingga palung laut terdalam, menyakitimu, mencaci makimu hingga ia bosan dan akhirnya undur. Terimalah ia seperti kita menerima kebaikan cinta dan berjalanlah bersamanya seperti layaknya seorang kawan.

Jika semuanya itu mengubah arah langkahmu hingga tercipta hubungan yang lebih intim kepada Gusti Allah, pada titik itulah kita menjadi pemenang.

Ijinkan IA masuk dan membereskan patah hatimu. Biarkan Gusti Allah mengorek borokmu, membersihkan, mengobati lukamu dan membalutnya dengan perban air mataNYA. Kesembuhan dan keintiman denganNYA akan kamu terima, karena hubungan yang baik dengan Gusti Allah pasti akan dapat memeluk lebih erat, memberi lebih banyak dan mengasihi lebih tulus akan sekeliling kita.

Aku sedang (dan akan terus) belajar untuk melapangkan kapasitas hatiku pada sebuah kata penerimaan dan menampung segala kepahitan.

Memeluk kehidupan sepahit apapun.

Seberapa tinggi kita naik dan seberapa dalam kita turun, seberapa jauh kita melangkah dan seberapa dekat kita berhenti berjalan, seberapa bahagia kita hidup dan seberapa kita sedih hari ini semuanya tergantung dari kondisi hati kita.

Selamat belajar untuk memeluk kehidupan…

Leave a comment