Enjoy the little things, for one day you may look back and realize they were the big things – Robert Brault
Menyoal perjalanan pastinya tak akan pernah lepas dari cerita. Penggalan kisah yang kita dapatkan tentunya beragam, ada kisah sedih, senang, menyebalkan bahkan merindukan. Kisah-kisah yang kita temukan pastinya akan membekas di ingatan, tidak semuanya, mungkin hanya sebagian. Menurutku, hal itu seru dan dapat kita bagikan.
Penggalan kisah yang aku unggah memang tidak berkaitan satu dengan yang lainnya. Hanya saja kisah-kisah ini sengaja aku pilih dan tuliskan sebagai penanda dan pengingat, bahwa ternyata banyak hal sederhana yang dapat ditemui dalam setiap keseharian. Tergantung kita mau mengingatnya atau melewatkan penggalan cerita-cerita sederhana itu. Judul tulisan ini, sengaja aku pilih dari penggalan kisah yang ada tanpa bermaksud apapun, selain sebagai unggahan doa (eeh…).
Maafkan ya, jika ada beberapa kata kasar terdapat di sana. Itu sejujurnya adalah ungkapan dari jiwa… Hahaha.
Selamat membaca.
TIDUR YANG MAHAL
Orang seringkali menganalogikan tidur atau istirahat yang mahal adalah dengan menginap di hotel berfasilitas mewah dan lengkap. Anggapan itu tak sepenuhnya benar.
Aku termasuk penggemar olahraga tracking ataupun hiking. Menyoal aktifitas naik gunung, tentu tidak hanya berbicara tentang puncaknya; itu hanyalah bonus. Namun kembali pulang ke rumah dengan selamat adalah hal yang lebih penting.
Dapat beristirahat di atas gunung (baca: tiduran – bahkan tidur beneran – selonjoran gaya bebas) saat melihat pemandangan alam (bukan wallpaper ataupun backdrop di studio foto) adalah istirahat yang sesungguhnya bagiku.
Ribuan langkah yang menjejak, menantang tanjakan dengan tingkat kemiringan nyaris 80 derajat, tak terhitung lutut beradu dengan dada, merosot beberapa kali karena kontur tanah menanjak dan berpasir, melawan hawa dingin menusuk tulang dengan suhu mencapai 9 derajat Celcius, melawan emosi dan lelahnya fisik – adalah sekian dari banyaknya “kerusuhan” yang berhasil dilewati. Segala kelelahan fisik dan emosi sepanjang pendakian hingga mencapai puncak, seketika lebur dan sirna ketika melihat goresan tangan-Nya terpampang dalam wujud lukisan alam.
Bagaikan menunaikan sebuah perjalanan suci, lengkap dan paripurna langkah kakiku. Akupun bersujud. Bahkan hingga tertidur pulas dekat dengan singgasana-Mu. Sebuah tidur yang mahal.
Mohon ijin sebentar ya, Gusti Allah. Aku capek, lelah hayati. Numpang tidur sekejap. Matur nuwun.
Gunung Guntur, Garut, 2249 mdpl – 19 Juni 2018.

SAYAP-SAYAP PATAH
Aku mengenal temanku ini sudah cukup lama. Saat terakhir bertemu dengannya kira-kira 12 tahun lalu. Kamipun akhirnya bertemu setelah sekian lama, tanpa direncanakan. Ketika aku tahu ia sedang berada di ibukota, kami saling menghubungi dan janjian untuk bakudapa.
Banyak yang berubah pada dirinya saat aku bertemu dengannya, jika dibandingkan saat terakhir kali berpisah dan menghilang tanpa kabar dalam kurun waktu lama. Ia menjadi sosok wanita yang tegar, lebih menghargai proses dan percaya bahwa segala sesuatu terjadi untuk sebuah alasan.
Menghabiskan waktu di sebuah kedai kopi bilangan Kota Tua, Jakarta – menyesap secangkir kopi Vietnam drip hingga tetes terakhir, kamipun bertukar cerita. Bagaikan sebuah film usang yang diputar ulang, kisah mengalir dari mulut kami masing-masing. Cerita tentang gelombang yang menghempas kami hingga ke titik nadir, cerita yang pernah melukai hati, cerita yang akhirnya membuat sayap kami masing-masing remuk, rusak dan patah.
Dia memutuskan untuk meninggalkan keramaian kota Jakarta demi menyembuhkan lukanya. Menyembuhkan sayapnya yang patah. Menyediakan hatinya untuk dibalut alam semesta. Membuka pikirnya untuk kembali jernih, dibelai oleh waktu yang hingga saat ini masih menyayanginya.
Aku, selayaknya juga mempunyai banyak kisah. Aku yang harus berdamai dengan diriku sendiri, juga menjalani terapi yang sama dengan temanku. Menyembuhkan sayap dengan borok dan luka yang menganga lebar, menunggunya kembali sembuh dan pulih untuk kemudian aku kembali terbang tinggi.
Hey kamu, terima kasih sudah datang menyambangiku dan sudi berbagi kisah. Biarkan alam semesta merawat dan terus menyayangimu. Jika sayapmu sudah sembuh dan lukamu telah mengering, belajarlah untuk kembali terbang. Jangan takut dan tetaplah berpikir jernih. Kita bertemu di lain waktu, dengan sayap yang sudah kembali pulih.
Ku coba kembangkan sayap patahku / ‘Tuk terbang tinggi lagi di angkasa / Melayang melukis langit / Merangkai awan awan mendung — Sayap Sayap Patah (Dewa 19)
Museum Fatahillah, Jakarta – 10 Juli 2017.

ANTARA TWILIGHT DAN SINETRON HIDAYAH
Macet Jakarta pagi ini, sungguh bajinguk; mungkin karena semalaman diguyur hujan yang bagaikan air tumpah dari langit. Pak Alif, sopir angkutan beroda tiga asal India ini tetap memacu tumpangannya; melindas aspal basah jalanan keras.
Suara Chris Martin yang melagukan “Yellow” di kupingpun seakan lenyap ditelan berisiknya suara knalpot Bajaj; getaran mesin yang jika diukur setara 5,2 skala Richter itu seakan menghempas tulang tanpa ampun. Bedebah memang!
“Sudah cukup lama, mas. 12 tahunan lah saya bawa Bajaj ini,” begitu jawab pak Alif kepadaku saat aku bertanya menyoal kariernya ini.
“Ramai nggak sih pak sekarang yang naik Bajaj?” tanyaku penasaran.
“Sudah nggak terlalu, mas. Sejak ada ojek online. Mas saja ini pelanggan pertama saya hari ini,” jawabnya menutup pembicaraan. Tak terasa akupun sudah hampir sampai di tujuan, sementara bunyi klakson ngehek memekakkan telinga. Ditambah asap pekat sisa pembakaran mesin seakan ikut menghiasi langit ibukota pagi ini.
Pak Alif, mungkin akan segera terlindas kemajuan jaman yang serba daring jika tidak segera mengubah cara pandangnya. Namun siapakah yang dapat mengurangi atau bahkan menahan berkat dari Gusti Allah jika memang itu sudah menjadi jatahnya. Tak seorangpun.
Pagi ini aku belajar KESETIAAN. Kesetiaan untuk menatap hari depan dengan penuh harap. Kesetiaan untuk menjemput mimpi.
Seperti kesetiaan pak Alif… dengan BAJAJ-nya.
“Pak Alif, nonton Twilight juga nggak pas hari Valentine?,” tanyaku penuh telisik.
“Nggak mas, saya nonton sinetron Hidayah.” Jawabnya sambil nge-gas bajaj. Ngooeeeeng.
Kampret!!!
Kota Tua, Jakarta – 14 Februari 2017

MENIKAHLAH DENGANKU
“Dihadapan Tuhan dan sidang jemaatNya, aku mengambil (menerima) engkau … menjadi istriku (suamiku) yang sah dan satu-satunya. Aku akan mengasihi engkau, dalam suka dan duka, dalam kelimpahan dan kekurangan, dalam sehat dan sakit, hingga kematian memisahkan kita“.
Satu bait deretan kata-kata di atas biasanya diucapkan oleh calon pasangan suami istri sebagai janji nikah. Mereka berdua berjanji untuk menapaki jalan yang baru dalam kehidupan mereka dan berkomitmen dalam janji nikah teguh.
Janji itu akan dimeteraikan oleh Pendeta atau Romo di hadapan jemaat Tuhan. Sudah pasti janji ini berat untuk dilakukan, karena banyaknya saksi yang hadir bukan cuma manusia, tetapi Gusti Allah juga ada disitu turut menyaksikan dan memeteraikannya.
Dalam perjalannya bakalan banyak ditemui naik-turun dan pasang-surut dalam kehidupan pernikahan. Apakah komitmen itu masih tetap terpatri dalam hati masing-masing pasangan? Aku banyak mendengar keluh kesah teman-temanku tentang kesulitannya menjalani kehidupan pernikahan. Harapan mereka untuk mewujudkan sebuah pernikahan yang indah, terbentur karena perbedaan pendapat atau banyak hal lain.
Aku selalu mengatakan untuk “back to your wedding promises”. Untuk tujuan apa kamu menikah dan mengapa kamu menikah? Mengapa pada saat itu kamu begitu yakin dengan janji yang diucapkan, tetapi sekarang berusaha untuk menciderai janji itu? Biasanya temanku akan terdiam dan senyap. Bajilak kan kalau sudah begini. Manyun jadinya.
Kehidupan pernikahan bukanlah kisah “Sleeping Beauty” yang happy ending, namun perlu diperjuangkan untuk mencapai happy ending.
Seperti larik kalimat yang aku kutip dari mas Sujiwo Tedjo ini…
“Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kau bisa berencana menikahi siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa“.
Mencintailah dengan hatimu. Menualah bersama, jangan berpisah – kecuali kematian memisahkan.
Aku merindumu.
Solo – 15 Desember 2017
*ditulis dari hotel kelas backpacker di sudut kota Solo bertarif Rp125.000 / malam.

WELCOME ON BOARD, JOJOS
Sejatinya anak adalah buah kasih sayang kedua orang tuanya; terlebih daripada itu anak adalah anugerah dan titipan dari Gusti Allah.
Terlahir di tanggal 15 Mei 2017 dengan nama Jocelyn Nathaniela Sitorus, yang artinya anak (perempuan) anugerah Tuhan yang selalu gembira dan membawa sukacita. Demikian doa dan harapan kedua orang tuanya yang diunggah kepada semesta untuk anak ini.
Foto ini aku ambil dengan kamera beberapa jam setelah dia keluar dari rahim ibunya; ketika dia lahir, aku masih di atas awan – di ketinggian 30.000 kaki, dalam perjalanan pulang menuju Jakarta.
Begitu aku mendarat di tanah, aku langsung mengarahkan kaki ke rumah sakit bersalin dan menyempatkan diri bertemu dengan si kecil ini. Aku menyapanya “Hai little one…” dan mendapat senyuman serta lirikan mata dari si kecil, keponakanku.
Jojos adalah panggilan kesayanganku untuknya, seperti abangnya – Abi, yang mendapat panggilan kesayangan juga. Biar nggak iri ceritanya.
Aku dapat merasakan kebahagiaan orang tuanya, yang juga merupakan sahabat – teman – keluarga keduaku dengan kehadiran Jojos di tengah mereka.
Jojos, pakde berdoa buat kamu ya… Jadi anak yang sehat, sayang sama bapak – ibu dan menjadi kesukaan semua orang. Nanti kalau sudah besar main ke gunung sama pakde ya, jangan ke mall terus… Hahahaha
Welcome aboard, baby Taurus (zodiac kita samaan nih, Jos)
RS. Hermina, Bekasi – 15 Mei 2017
*Special tulisan ini aku buat untuk si kecil Jojos.

METAMORFOSA
Pada rentang suatu masa, ada kisah menceritakan dengan gamblang seorang insan yang merasakan lelah berkepanjangan dan berkata “Gue capek!” dengan semua yang terjadi. Kesakitan dan kesedihan yang sekian lama melanda, membuat pertahanannya hancur dan rata tak bersisa.
Katakan saja air matanya sudah habis terkuras, bahkan untuk sekedar berjalanpun terseok kalau boleh dikatakan merangkak. Luka di sekujur tubuhnya menjadi penanda, bahwa memang berat perjalanannya. Jika tak ada sebuah tangan besar saat itu yang menghalang sebuah pisau untuk segera mengakhiri babak hidupnya, mungkin sekarang tak ada goresan kata maupun ucap yang menuturkan keindahan serta kebesaranNya.
Bagaikan proses metamorfosa seekor kupu-kupu, 4 tahapan kesakitan super ngehek harus dilalui untuk menjadi seekor kupu-kupu dewasa yang sempurna. Semesta sedang mencurahkan rasa sayangnya kepada insan ini. Ia membalut dan menyiapkan sayap-sayap yang telah koyak parah, luka dan patah itu menjadi kembali kuat dan siap untuk kembali terbang. Sayap yang indah dan elok dipandangan mata manusia dan empuNya.
Saat yang dinantikannya segera tiba. Kupu-kupu yang telah bermetamorfosa ini akan terbang dan menghias surga dengan kepak sayap yang baru. Ya, kepak sayap yang sempurna.
Thank you, my dear. It’s been a while.
Jakarta, 15 Desember 2018

DETIK DAN WAKTU
Pak Nurhadi, begitu ia biasa dipanggil, sudah cukup lama menjajakan jasa reparasi jam di trotoar jalanan Glodok, Kota Tua, Jakarta. Suara bising mesin mobil maupun motor dan juga teriakan klakson yang saling bersahutan seakan menjadi penghias hari-harinya. Pula asap knalpot sisa pembakaran maupun debu berterbangan sudah jadi hal biasa baginya.
“Sudah sejak tahun 90-an saya usaha disini, mas,” begitu jawabnya ketika aku menanyakan kapan tepatnya dia mulai usaha. Ia belajar mereparasi jam dari ayahnya.
“Ada musimnya nggak sih pak, kalau ramai?” tanyaku menyelidik.
“Ya, ramainya kadang-kadang sih, mas. Tergantung kalau ada orang yang punya jam rusak saja,” lanjutnya.
Pak Nurhadi bukanlah penduduk asli Jakarta, dia berasal dari Kebumen. Sebagian dari penghasilannya dikirim untuk keluarganya di sana.
“Mas jam-nya rusak juga?” tanya Pak Nurhadi
“Nggak sih, pak. Cuma antar ini teman saya, katanya mau beli tali jam,” jawabku dengan segera. Aktivitasnya mereparasi jam rupanya menarik perhatianku. Aku meminta ijin untuk memotret di tengah kesibukan pekerjaannya.
“Cuma hati saya nih yang rusak, pak. Detiknya sudah tak beraturan. Mungkin juga battery hatinya sudah harus diganti dengan yang baru,” bisikku lirih.
“Gampang, mas. Banyak berdoa. Itu sudah.” MAKJLEBBB pemirsa…
Trotoar Glodok, Jakarta– 6 Februari 2017

Terima kasih, Oom
LikeLike
Kapan-kapan yokk nanjak bareng mas…
Salam lestari… 😀
LikeLiked by 1 person
Siap, Oom. Salam lestari
LikeLike
Jojos! Imutnya …
LikeLiked by 1 person
Terima kasih, tante… *Jojos yang jawab 🙂
LikeLike