
Atur Rencana
Berawal dari sebuah postingan foto di medsos Instagram seorang teman tentang sebuah tempat outdoor activity yang lagi nge-hits di kancah para maniak travel – intip punya intip ternyata tempat itu bernama Gunung Batu, tekape-nya di wilayah Jonggol, Bogor – Jawa Barat
Secara sudah setahun belakangan ini kaki, badan, jiwa dan raga sudah kangen banget kepengin nanjak ke puncak ketinggian. Dan ketika ketemu trit di dunia maya tentang tempat yang lagi nge-hits ini, langsung di share di laman Facebook saya dan dengan gagah berani nge-tag beberapa kawan yang sehobi (sesama pemuja dan penikmat ketinggian). Beberapa kawan menyambut dan berminat bareng jalan ke tekape.
Atur punya atur, utak punya atik – cari hari baik setelah bersemedi 3 hari 3 malam di kamar, kami mendapatkan wangsit pergi tanggal 1 Mei – bertepatan dengan May Day. Yaaak benar… kami mau merayakan May Day di puncak ketinggian, suatu kegiatan anti-mainstream… Kereen kan!

Inpait sana-sini via WA, BBM, FB Messenger dan terakhir LAN Messenger – semua rekan-rekan pemuja ketinggian berhasil di kontak; alhasil hanya 3 orang (termasuk saya) yang memutuskan bakal nanjak. Di hari-hari terakhir 3 orang rekan kantor gue rencana bakalan ikut gabung. Pas sehari sebelum May Day, teman saya Bayu membatalkan kepergian kami karena ada keperluan harus jaga baby-nya yang sedang sakit demam. Maklumlah, teman saya yang satu ini tergolong Bapak Siaga!!
Kami menunda keberangkatan pada hari berikutnya – Sabtu; berarti batal rencana kami merayakan May Day di atas ketinggian – padahal udah siap-siap kibarin bendera SLANK. Otomatis ketiga teman kantor saya juga batal ikutan gabung, karena di hari Sabtu mereka ada tugas kuliah. Dasar pelajar!!!
Fix!! Sabtu pagi sekitar jam setengah sembilan saya meluncur dari rumah ke meeting point yang sudah ditentukan sebelumnya; kami bertemu di bilangan Giant – Mega Mall, Bekasi. Yess, Bekasi saudara-saudara. Kota yang sempat nge-hits dikalangan netizen dengan sebutan “Outer Space City” itu lhooo!!! Puassss!!!
Meeting Point dan seduhan kopi pagi hari
Sampai di meeting point ternyata baru saya yang nangkring disana, sepeminuman teh berikutnya teman lama saya, Aris – seorang traveller, backpacker sekaligus jombloer menampakkan batang hidungnya. Banyak gunung dan bukit sudah ditaklukkan sama dia, tapi tak satupun wanita berhasil dia taklukkan. Maklum, dia ini tergolong orang sibuk secara dia CEO di salah satu perusahaan komputer terkemuka di dunia. 🙂
Sepeminuman kopi berikutnya, teman kami Bayu datang – ternyata dia bersama temannya yang kami ketahui bernama Aji; menurut dia sih 2 bulan lalu baru saja pergi nanjak ke Gunung Batu Jonggol tersebut. OK, lebih baik ada yang bisa jadi guide jalan kesana.
Dari meeting point kami segera berangkat melewati jalur Narogong, Bekasi hingga bertemu flyover Cileungsi. Dari sini kami belok ambil jalur ke kiri ke arah Jonggol, melewati Taman Buah Mekarsari menelusuri jalan beraspal yang beberapa berlobang. Hingga kami ketemu persimpangan jalan ditandai sebuah tugu yang ada bertuliskan “BOGOR – TEGAR BERIMAN” berwarna hijau di tengah persimpangan itu. Kami mengambil jalan ke kiri ke arah Cariu / Cianjur – sesuai petunjuk di papan arah. Sempat tersendat macet di beberapa titik jalan karena adanya pertigaan dan antrian kendaraan.
Kami sempatkan mampir ke sebuah rumah makan guna mengisi perut yang sudah kelaparan. Tempat makan ini namanya RM. Pondok Surya, berada di sebelah kanan jalan berwarna kuning nge-jreng. Segerombolan makanan segera berpindah ke perut kami yang lapar. Masakannya lumayan sedap, dan yang paling penting harganya nggak terlalu mahal – setara dengan level kami yang backpacker ini. Bayangkan saja… semangkok sop iga dihargain sama dengan sop ayam!!!

On My Ride to Track – Gunung Batu yang arogan
Singkat cerita kami bertemu dengan sebuah jalan kecil di sebelah kanan jalur besar ini. Dari nama jalan kecil itu “Gunung Batu 2” kami yakin bahwa ini adalah jalan menuju tekape. Tetapi kalau dilihat dari peta Google Map masih jauh kami harus membelok. Aaaah… terpaksa kami harus menggunakan GPS – Gunakan Penduduk Setempat alias bertanya… hahahaha…
Setelah beberapa saat kami menemukan jalur ke kanan tersebut – masih dengan nama gang “Gunung Batu 2”. Memasuki jalur itu cukup sempit, mobil berpapasan 2 masih bisa – hanya yang satu terpaksa mengalah memberi jalan. Jalan yang kami tempuh cukup jauh, kalau dari petunjuk yang ada sekitar 20 KM. Kondisi jalan naik turun, disertai sedikit lubang di tengah jalan – otomatis kami nggak bisa tancap gas disini. Tak lama perjalanan di sisi kanan tampaklah perbukitan yang kami tuju, itu tandanya sudah dekat. Jalan menjadi semakin rusak. Singkat cerita sampailah kami di kaki Gunung Batu, Jonggol – yang juga menjadi tempat parkir motor / mobil para pemuja ketinggian. Di ujung mata tampaklah Gunung Batu (lebih tepat sebenarnya Bukit Batu) itu berdiri dengan arogan, pongah dan sombongnya.
Kamera, gorengan, tanjakan 45 derajat singit dan gerombolan krucil
Beristirahat beberapa saat, kami sempatkan ke warung guna membeli logistik beberapa botol air mineral kemasan sebelum ritual nanjak. Aris ternyata membawakan kami beberapa botol Thai-Tea dingin yang sudah disiapkan dari rumah. Aah… memang kau teman yang baik hati dan tidak sombong, Braay…
Kamipun memulai perjalanan kami. Melakukan ritual – memuaskan jiwa yang dahaga akan puncak ketinggian. Baru beberapa menit berjalan kami sempat berpikir gimana kalau di atas kelaparan, Aji memutuskan untuk membeli seplastik gorengan di warung yang terdapat di kaki bukit. Terjadi insiden ketika kamera digitalnya ketinggalan di tukang gorengan. Kamera digital ditukar dengan 10 buah gorengan!! Horang kayaaa… hahahaha..

Sampailah kami di persimpangan tanjakan ke atas; menurut Aji kalau kita ambil jalur sebelah kiri akan menemukan tanjakan yang agak landai, sementara jalur satunya tanjakan cenderung curam. Karena menghemat waktu naik kami berempat memilih jalur yang terjal. Yak.. ternyata memang benar-benar terjal, sudut kemiringan sekitar 45-50 derajat menantang di depan mata. Kami langsung tancap gas gigi 1 plus NOZ yang langsung aktif – kaki-kaki kami seperti ban Dodge Charger-nya Dominic Toretto yang berdecit ketika NOZ diaktifkan 😀
10 menit kami di tanjakan curam ini memutuskan untuk berhenti – atur napas, gan! Air minum yang kami bawa langsung berpindahmelewati kerongkongan kami dengan sukses. Di beberapa titik ada petunjuk ada berisi ajakan untuk melestarikan alam. Kami memutuskan untuk kembali lanjut perjalanan – dan tak berapa lama kami sampai di pit-stop pertama; berupa sedikit tanah lapang dan ada tenda biru tapi bukan tenda kondangan lho. Ada warung! Hahaha…
Disinilah tragedi terjadi!! Kami melihat sekumpulan ibu-ibu (mungkin pedagang warung yang ganti shift jaga siang) sambil momong segerombolan krucil anak-anak balita. Gileeee… kami dikalahkan sama anak-anak balita (sueerrr!!! Ini nggak bohong) yang dengan ketawa-ketiwi seakan meledek kami yang ngos-ngosan kehabisan oksigen, and you know what?? Mereka nanjak lho, nggak digendong emaknya… ciyuussss!!!
Demi menjaga kehormatan kami sebagai pemuja dan penikmat ketinggian, kami memutuskan untuk lanjut. Aris tersenyum kecut karena kami ledekin; maklumlah dia ini kan backpacker borjuis… Ngakunya sih tiap weekend nge-goes sepeda sampai belasan kilometer, tapi dia yang paling duluan kehabisan oksigen di tanjakan pertama. Malu sama anak balita tuhhh!!! Hahahaha…
Perlahan tapi pasti kami melanjutkan perjalanan, dari pit-stop pertama hingga pit-stop kedua yang merupakan pit-stop terakhir sebelum ke tanjakan ke puncak kita butuh waktu 10 menit; disana sudah ada beberapa pendaki yang nge-camp; yak … sedikit tanah lapang itu ternyata camping ground.

Vandalism diatas gunung dan Thai-Tea istimewa
Lewat dari camping ground ini, kami langsung tancap gas ke jalur tanjakan terakhir menuju puncak bukit batu. Gilaaak!! Ini tanjakan super curam – ketinggian sekitar 700 mdpl dengan sudut kemiringan 75 derajat, kontur tanah merah plus batu-batu — kiri dan kanan jurang berkedalaman 700 meter. PERFECT!! Ditambah lagi jalur pendakian yang hanya cukup satu orang lewat, jadi jika ada pendaki yang turun harus antri bergantian dengan pendaki yang naik. Di beberapa spot tampak sangat sulit didaki, untungnya sudah disediakan seutas tali untuk membantu kami memanjat. Feeling saya bakalan susah nanjak ke sini jika hari hujan, karena bakalan licin sangat – tidak kami rekomendasikan ke sini jika hujan.
Pada beberapa batu besar di tanjakan, kami sempat melihat bahwa alam di sini sudah terkena aksi vandalism. Batu-batu dicorat-coret oleh orang-orang bermental kampungan, norak dan tolol – tapi dengan bangga mereka ngakunya pecinta alam. SH*T!! Mereka menampilkan eksistensi kelompok ataupun individu mereka dengan aksi anarkhis!! Dasar katrok!! Bahkan beberapa pendaki alay sempat kami tegur karena membuang bekas botol air mineral sembarangan… Jancuk!!!

Penyiksaan di tanjakan terakhir ini kami lalui kurang lebih 20 – 30 menit, hingga akhirnya kami sampai ke puncak. Ada 3 puncak disini, dan puncak yang tertinggi ada di bagian pertama sementara dimana kami berdiri adalah di bagian tengah puncak… Yess!!! 895 mdpl (menurut petunjuk altidude di jam canggihnya Aris) sudah kami taklukkan!!! Toss!! Hi-five diantara kami berempat! Tangisan haru, peluk cium, sujud syukur dan salam-salaman seperti di acara halal bihalal 🙂
Walaupun kami nggak jadi kibarin bendera SLANK, walaupun kaki ini lelah, tubuh ini capek, pandangan mata berkunang-kunang karena kehabisan oksigen tapi hati kami puas. Ritual yang terpuaskan dan orgasme atas pemandangan ciamik menyejukkan mata – membuai jiwa raga – dan melegakan dahaga – tubuh dibelai desiran angin sang alam,. Yess!! Dahaga akan ketinggian. Kami para pemuja dan penikmat ketinggian di 895 mdpl (gue sempat pesan ke Aris, kalau aplot foto jam tangan canggihnya jangan lupa ketinggiannya di-edit jadi 1895 mdpl).
Sebagai tanda keberhasilan, kita toss dengan Thai-Tea dan tak lupa… gorengan!!! Keren kaan!!
Foto Instagramable, Facebookable dan Pathable
Satu jam kami di puncak bukit, puas foto-foto berkualitas Instagramable, Facebookable dan Pathable – kami memutuskan untuk segera turun, karena terlihat di sisi kanan bukit sudah begitu gelap dengan awan; perkiraan kami sebentar lagi bakal turun hujan. Dan kami bakalan kesulitan jika turun bukit dengan kondisi hujan, apalagi dengan medan turunan curam. Jangan cari perkara deh… Hehehehe… Kami turun melewati jalur yang berbeda ketika kami naik, setelah ketemu pit-stop pertama di tanjakan. Benar jalur disini lebih landau tetapi sedikit memutar agak jauh. Langit semakin gelap sementara hujan gerimis mengundang… Mengundang segera nyeduh mie instant.

Warkop dan sate kurang matang
Sampai di kaki bukit di pelataran parkir, kami sempat sejenak melepas penat di warkop sembari nyeduh kopi dan teh panas. Karena nggak mau kemalaman, kami memutuskan bergerak pulang menyusuri jalur yang berbeda ketika kami berangkat. Kami ambil jalur ke arah Citeureup dan tol Jagorawi; jalur disini jalannya lebih parah kondisi jalannya, hanya saja katanya lebih cepat. Setelah kami sampai di jalur utama kea rah Citeureup, kami mendapati satu warung makan yang menjual sate. Seingat gue, ini satu-satunya warung sate yang kita temui selama dalam perjalanan pulang — setelah kurang lebih 2,5 jam perjalanan!! Toop!! Kita seperti di dunia Hobbit deh…
Jangan tanyakan satenya enak atau tidak – karena dalam kondisi kelaparan berat, tusuk sate yang dikecapin saja buat kami itu pasti enak banget; walaupun ada beberapa dagingnya kurang matang… Hajaar gan!
Setelah perut fully loaded, bergerak mobil kami menuju arah tol Citeureup. Aris memutuskan untuk turun di bibir tol (haiiissh… bahasanya) dan nyambung naik taksi. Aaah… memang backpacker borjuis sekali kawan kita satu itu. Berkelas. Sementara kami bertiga kembali ke Bekasi.
Terima kasih atas perjalanan ritual kali ini, guys… sungguh menyenangkan pergi dengan roadis macam kalian!! Gue yakin, setelah kita taklukkan 895 mdpl hari ini – tim kreatif sinetron 7 Manusia Harimau bakalan kontak kita buat casting…. Hahahahahaha…
NB:
Oom Aris – thanks Thai-Tea nya, jangan kapok ya!! Buruan taklukkan hati cewek, jangan puncak gunung mulu kau taklukkan… hahahahaha…
Oom Bayu – terima kasih sudah menjadi driver kita yang cool walaupun kelaparan; next time kita ngopi cantik di puncak Semeru atau Rinjani… Yiuuuk mareeee!
Oom Aji – besok-besok kalau nanjak bareng kita lagi jangan lupa bawa kamera yang bisa alih fungsi jadi dispenser, setrikaan, hair dryer TV 32” dan lemari es itu ya… Kamera sakti!! Tukar gorengan boleh?? Hahahaha…