11 Jam di Negeri Rempah – Bagian I

Burung besi yang aku tumpangi sukses menjejakkan roda-roda kokohnya di landasan pacu bandara Sultan Babullah, Ternate. Jarum jam menunjukkan pukul 07.05 waktu Ternate, sementara jarum jam di pergelangan tanganku masih terpaku di angka 05.05. Oh, ternyata aku lupa mengubahnya ke waktu Indonesia bagian timur. Mataku baru terpejam kira-kira 30 menit yang lalu, setelah menempuh perjalanan terbang semalaman dari Jakarta. Masih mengantuk, namun pemandangan bumi Ternate di waktu pagi hari tak boleh terlewatkan. Dari balik kaca bundar di dalam kabin pesawat terlihat sebagian puncak gunung Gamalama tertimpa sinar matahari pagi, sementara di kaki gunung tampak rumah-rumah penduduk kota Ternate. Sangat mengesankan.

Ternate, kata yang seketika terlintas di benakku ketika aku memutuskan untuk menggunakan voucher tiket gratis penerbangan hasil dari memenangkan lomba menulis setahun yang lalu. Aku baru sadar setelah mengetahui bahwa 2 bulan lagi masa berlaku tiket tersebut bakal hangus. Bahkan 3 hari sebelum keberangkatan aku baru membuat rute perjalanan dan memutuskan pergi menuju Manado, namun melalui rute memutar dengan 2x transit di Makassar dan Ternate. Sengaja aku memilih perjalanan malam karena ingin merasakan tidur di atas ketinggian 35000 kaki (Iih norak ya…Yo wis ben). Rute 2 kali transit penerbangan di Makassar (2 jam 45 menit) dan Ternate (11 jam) membuat perjalanan Jakarta – Manado menjadi sangat panjang, padahal perjalanan normal dapat ditempuh dalam waktu 2 jam 50 menit. Yaa namanya juga ingin mencoba hal yang baru, boleh doong. Aku memang belum pernah ke Ternate, sementara kota ini memang masuk dalam salah satu bucket list perjalananku.

Bang Acho, penduduk lokal yang direkomendasikan oleh Satya Winnie ternyata tidak dapat menjemput dan mengantarkan aku menjelajah Ternate. Ia sedang mengantarkan tamunya dari Jakarta. Pun ketika aku menghubungi Mbak Windy, rekan melancong yang lain, iapun bahkan tak punya kawan yang dapat aku jadikan guide disini. Baiklah, petualangan ini akan segera aku mulai, pikirku. Tanpa teman, tanpa saudara maupun orang yang dapat aku jadikan rujukan. Hanya berbekal sebait doa, bahwa aku akan menemukan orang baik di sana.

Pak Ade, seorang tukang ojek di seputaran bandara adalah sebuah kebaikan yang aku temui pertama kali begitu keluar dari pintu kedatangan. Ia sepertinya tahu kalau aku belumlah familiar dengan Ternate dan menawarkan jasanya ketika aku celingukan mencari angkutan umum. Walaupun tadinya aku tolak dengan halus, namun akhirnya ia yang menjadi tukang angkutku hingga ke landmark kota Ternate. Lokasinya berada di dekat pelabuhan tengah kota. Dengan sopan ia menawarkan jasanya kembali menghantarkan berkeliling, namun kembali aku dengan halus menolaknya setelah membayarnya. Aku menghabiskan waktu sambil mengambil beberapa foto di kawasan landmark ini, kemudian akan menempuh rute selanjutnya yang tak jauh jaraknya dengan berjalan kaki.

Landmark Ternate
Landmark Ternate

Oh ya, hal yang agak menyebalkan adalah ketika tahu bahwa provider kartu telepon selular yang aku pakai ternyata tiarap tanpa sinyal di Ternate. Hanya provider kartu GSM plat merah yang merajalela, namun itupun hanya sinyal HSDPA bukan 4G. Setengah kesal aku membayar kartu telepon seluler bernomor baru dengan fasilitas kuota data yang setidaknya cukup untuk berkomunikasi dengan rekan kerja (dan juga bersosial media… hehehe). Namun justru dengan kejadian menjengkelkan ini, tak dinyana aku berjumpa kebaikan selanjutnya. Mbak penjual kartu telepon selular menawarkan jasa temannya – seorang tukang ojek – untuk menemani perjalanan menjelajah, begitu ia mengetahui aku baru mendarat di Ternate. Aku mengiyakan, setelah kami bersepakat mengenai tarifnya. Seorang anak muda lokal tampak sudah siap di atas motor matic, Sahrul namanya.

Ternyata, Sahrul seorang anak muda kekinian dan gemar berpergian. Ia banyak bercerita tentang Ternate dan tempat-tempat yang layak untuk dikunjungi. Dari deretan tempat tujuan yang aku buat, ia tahu lho semuanya, lengkap dengan untold stories-nya. Aaah, senang sekali dan betapa beruntungnya aku. Walaupun bertampang sangar ternyata Sahrul anaknya baik dan ramah. Don’t judge the book by its cover, aku bersepakat dengan kalimat itu. Motor yang kami tumpangi berdua melintas aspal. Satu demi satu tujuan kami jejak. Cuaca Ternate panas banget.

Batu Angus

Tempat ini berupa sekumpulan bebatuan yang bertumpuk-tumpuk tak beraturan berwarna hitam legam. Bebatuan ini berasal dari lahar letusan gunung Gamalama yang terjadi pada tahun 1673 dan menghampar dari kaki gunung hingga ke pinggir pantai. Lelehan lahar kemudian mengering, mengeras dan berubah warna menjadi hitam seperti batu yang hangus. Ladang batu ini menjadi obyek menarik untuk tempat berfoto berlatar belakang gunung Gamalama yang hijau serta langit birunya; sayangnya ketika aku datang ke sana gunung Gamalama tertutup seluruhnya oleh kabut – sementara langit mendung berawan. Namun heran, cuaca di sini panasnya mantul, mantab betul!

Batu Angus
Hamparan Batu Angus, latar belakang Gunung Gamalama tertutup kabut

Pantai Sulamadaha

Airnya sebening kristal! Teriakku sebagai reaksi gembira ketika sampai di bagian ceruk pantai yang berair teduh. Tampak beberapa perahu bagai melayang diatas air pantai yang beningnya seperti air mineral dan berwarna biru itu. Brengsek indahnya! Dasar pantai terlihat dari atas tempat aku berdiri, sementara bayangan koral seakan melambai-lambai di bawah sana. Benar-benar membuat ternganga. Surga. Pengin nyemplung dan snorkeling tipis-tipis, tapi nggak bawa baju ganti… Sial!

Pantai Sulamadaha
Pantai Sulamadaha sebening air mineral 😀

Pantai Jikomalamo

Tak jauh dari Sulamadaha kita dapat menemukan pantai Jikomalamo. Letaknya yang tersembunyi, cukup jauh dari pinggir jalan besar membuatnya masih tetap asri. Sebelumnya, untuk menuju Jikomalamo harus menggunakan perahu dengan tarif sekitar Rp250.000 dari Sulamadaha. Akses jalan menuju ke pantai ini masih terbilang belum lama dibangun, setidaknya itu yang dikatakan Sahrul, tukang ojek merangkap informan dan travel mate-ku kali ini. Air di Jikomalamo juga cukup bening serta menyimpan kekayaan bawah lautnya yang “brengsek” indahnya! 11-12 lah dengan pantai Sulamadaha. Suwer deh! Kamu mesti ke sini dan buktikan sendiri.

Pantai Jikomalamo
Pantai Jikomalamo, indah juga lho

Danau Tolire Kecil

Sebenarnya pengin mampir ke tempat ini, namun cuaca panas terik membuatku mengurungkan niat. Kami berdua memilih menepikan motor di sebuah warung tak jauh dari situ untuk menikmati es kelapa muda yang menyegarkan!

Danau Tolire Kecil
Danau Tolire Kecil, pas sampai sini panasnya… ampun deh!

Danau Tolire Besar

Pemberhentian selanjutnya adalah sebuah danau yang terletak di kaki gunung Gamalama, danau Tolire Besar. Berjarak tak jauh dari danau Tolire Kecil, sekitar 200 meter. Kedua danau ini ternyata menyimpan cerita legenda yang dipercaya hingga saat ini. Berada di wilayah Takome, 10 kilometer dari Ternate, danau yang berbentuk seperti loyang raksasa ini dipercaya menyimpan harta karun di dasarnya. Pada abad ke 15 masyarakat Ternate banyak membuang hartanya ke dalam danau agar tak dirampas oleh tentara Portugis yang saat itu menjajahnya.

Kisah tentang adanya buaya siluman juga dipercaya oleh penduduk setempat, mereka tidak ada yang berani untuk mandi ataupun menangkap ikan di danau. Saat aku berkunjung ke sini, terlihat seekor buaya berenang di atas air, namun entah itu buaya siluman atau bukan. Don’t ask me… By the way, menurut Sahrul sepanjang ia menyambangi danau ini beberapa kali, tak pernah ia seberuntung ini dapat melihat buaya. Berarti aku yang membawa keberuntungan buat kau, Sahrul… Hehehe

Danau Tolire
Danau Tolire Besar

Cerita unik lainnya dari danau Tolire Besar adalah jika kamu melempar sesuatu ke danau tersebut, maka benda itu tak akan pernah menyentuh air danau bagaimanapun kuatnya lemparanmu. Awalnya aku tak percaya, namun setelah mencoba melempar batu ke danau ternyata memang benar. Batu itu memang sampai menyentuh air danau, tapi hanya sampai di pinggir – padahal aku sudah mengerahkan lemparan sekuat tenaga. Aneh ya? Nggak percaya? Kamu boleh mencobanya sendiri.

Kisah legenda seorang ayah yang menghamili anak gadisnya sendiri dijadikan cerita turun temurun oleh masyarakat setempat. Mereka mempercayai bahwa sebelumnya Danau Tolire Besar dan Tolire Kecil adalah sebuah kampung yang damai, hingga kemudian kampung itu dikutuk karena kejadian tercela itu. Saat kedua orang tersebut hendak pergi dari kampung, tiba-tiba tanah tempat mereka berdiri amblas dan menjadi danau. Tolire Besar dipercaya sebagai jelmaan sang ayah, sementara Tolire Kecil adalah tempat anak gadisnya.

Sahrul mengkisahkan cerita-cerita ini, sementara aku mendengarkan sembari merekam pembicaraannya.

Sementara segini dulu, gaes. Kisah lanjutannya di bagian II nanti ya, ada bagian cerita tentang Fort Oranje, keindahan pemandangan laut dari desa Fitu, juga kisah tas ranselku yang dibobol maling ketika transit di bandara. Pokoknya seru deh! Nantikan gaes…

Bersambung.

Advertisement

20 Replies to “11 Jam di Negeri Rempah – Bagian I”

    1. Di Ternate memang banyak peninggalan sejarah dari bangsa Portugis, bisa jadi juga terjadi kawin silang dengan penduduk asli.

      Dengan masuknya pengaruh Islam di sana, perkawinan silang juga dimungkinkan. Pas berkunjung ke sana ketemu beberapa orang wanita dan memang cantik sih… Hahahaha

      Like

  1. beberapa bulan yang lalu, saya berkenalan dengan salah seorang mahasiswa undip yang kebetulan ikut bimtek sejarah di semarang, cita2nya ingin mengunjungi jalur rempah di indonesia timur. rasanya antusias sekali mendengar rencana2nya tapi entah lah mimpi itu kesampaian atau tidak hehehe

    Liked by 1 person

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: