“Kemiskinan dan kebodohan adalah penyakit, salah satu obat mujarabnya adalah buku dan pendidikan” – Irwan Bajang
Siang itu cuaca cukup panas dan sukses membuat saya berkeringat, namun tak menyurutkan langkah kaki menuju salah satu sudut kota lama, Semarang. Selain sedang diadakan Festival Literasi dan Bursa Buku Keliling “Patjar Merah”, tujuan saya lainnya adalah bertemu dengan sosok yang menginspirasi dalam hal literasi dan penulisan buku, terutama buku dari penerbit indie/alternatif. Setelah bertukar kontak beberapa kali lewat pesan singkat, akhirnya kami berjumpa dan mengobrol santai tentang bermacam hal penulisan buku.
“Irwan Bajang,” katanya memperkenalkan diri. Sayapun menyambut uluran tangannya dengan hangat.
Sebuah kedai kopi di dekat lokasi festival menjadi tempat kami berbincang sore itu. Mas Bajang, begitu saya memanggilnya, meminta izin sebentar untuk melanjutkan sedikit pekerjaannya pada laptop yang terbuka di depannya. Sementara saya memesan teh bercampur jahe untuk menemani obrolan kami.
“Masa kecil saya di desa Aik Anyar, Lombok Timur, lebih banyak dihabiskan dengan membaca buku. Ketika membaca buku dan mencernanya, saya membebaskan otak dalam berimajinasi tentang buku-buku saat selesai dibaca. Itu yang memupuk saya bertumbuh dan menjadikan buku sebagai teman yang menarik. Kesukaan lainnya adalah ketika orang tua dan nenek saya selalu bercerita sesaat sebelum tidur. Merekalah yang menginspirasi saya untuk menjadi seorang pencerita”, Mas Bajang memulai perbincangan.
Demi mewujudkan niatnya untuk memperluas bacaan dan belajar menulis, pada tahun 2005 selepas masa SMA, pemuda yang bernama asli Irwan Firmansyah ini berpindah ke kota Yogyakarta dan menempuh bangku kuliah di sana. Mengapa Yogyakarta?
“Karena pada waktu itu di sana banyak penerbit buku.” Mas Bajang menjelaskan.

Ia mulai membuat karya cerpen dan puisi-puisi secara otodidak. Kumpulan hasil karyanya tersebut kemudian dicetak sendiri tanpa pengetahuan tentang bagaimana menerbitkan sebuah buku. Mas Bajang nge-print, menjilidnya dan nekat memperbanyak bukunya dengan cara difotokopi dan kemudian menjualnya ke teman-teman dekat. Sambutannya? Tak ada yang tertarik untuk membeli. Buku itu akhirnya ia bagikan secara cuma-cuma.
Pengalaman pahit itu tak menyurutkan semangat Mas Bajang. Berawal dari sinilah ia mulai mencari tahu tentang dunia kepenulisan, bahwa seorang penulis dapat mengirimkan hasil karyanya ke koran ataupun majalah dan juga penerbit untuk kemudian menerbitkan buku karyanya. Ia akhirnya berhasil menerbitkan novel pertamanya di tahun 2008. Novel bertema semi politik yang dikirim ke salah satu penerbit tersebut mendapat sambutan yang cukup bagus dari pembacanya. Cara pemasaran buku yang seringkali melalui komunitas-komunitas, membuat Mas Bajang mengalami kendala. Kala ia mengadakan acara bedah buku, sering didapati bukunya tidak ada di penerbit dengan alasan stok di gudang habis dan terpaksa harus membeli sendiri di toko buku sebagai stok. Hal ini dirasakannya menjadi tidak praktis dan menyulitkan dari segi pemasaran.
Saat tren cetakan digital menggaung di tahun 2009 – 2010, konsep Indie Book Corner digagas dan dilahirkan. Indie Book Corner (selanjutnya disingkat IBC) lahir dari keresahan seorang Irwan Bajang akan kesulitan para penulis anyar dalam mengirimkan, mencetak dan memasarkan hasil karyanya.
“Saya pernah bekerja di salah satu penerbit sebagai editor. Banyak karya penulis anyar walaupun isinya bagus namun tidak lolos dari meja redaksi untuk diterbitkan. Semuanya didasarkan pada kebutuhan pasar penerbit, genre ataupun tidak adanya kebutuhan saat itu dengan tulisan yang masuk ke redaksi. IBC hadir untuk menjembatani kesulitan itu,” lanjutnya.
Embrio Indie Book Corner adalah bahwa menerbitkan sebuah buku tidaklah serumit yang dibayangkan banyak orang dan dapat dilakukan oleh penulis sendiri. Proses kerja pada penerbit mainstream yang sedemikian panjang dipangkas sehingga tidak memakan waktu lama. Berkolaborasi dengan desainer, editor dan penerbit yang cocok serta membuat campaign pemasaran menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses penerbitan sebuah karya buku. Kemudian tahapan pemasaran buku dengan menggunakan media komunitas-komunitas juga ditempuh karena diyakini bahwa sebuah buku punya pasarnya sendiri. Melakukan acara bedah buku dalam sebuah komunitas, review di blog ataupun platform media sosial dapat pula menjadi strategi yang baik bagi seorang penulis agar bukunya dikenal dan menarik pembaca untuk membelinya.

Independent School, sebuah wahana pendidikan tulis menulis kemudian didirikan oleh Irwan Bajang untuk melengkapi keberadaan IBC. Tak hanya seluk beluk dunia menulis, di sekolah ini diadakan berbagai kelas kreatif diantaranya tentang cara menyunting naskah hingga pengerjaan desain sampul buku. Di dalam ruang-ruang kreatif inilah para peserta dapat saling berbagi materi, bergantian menyampaikan ide maupun gagasannya, berdiskusi secara terbuka tentang kepenulisan dan berkreatifitas. Semuanya dilakukan secara cuma-cuma.
“Bagaikan seekor burung yang terbang, Independent School merupakan sekolah atau wadah pendidikan bagi para penulis pemula. Sementara sayap penerbitannya adalah IBC. Konsep yang diusung adalah penggabungan antara sekolah atau wadah pendidikan dan wadah penerbitan. Diharapkan perkawinan kedua hal itu melahirkan kreativitas dan kolaborasi yang unik,” ujar Mas Bajang lebih lanjut.
Sebatang rokok dinyalakannya. Menyesap kenikmatan rasa tembakau dan memuntahkan asapnya. Bau tembakau terbakar sontak menguar memenuhi rongga kedai sore itu. Sayapun menyesap teh jahe dari gelas yang tinggal setengah isinya.
“Kolaborasi. Itulah kata kunci pada penerbitan Indie. Sebuah wadah kebersamaan dalam pengembangan buku dan saling memotivasi antar penulis”, papar Mas Bajang.
“Mas Bajang, ada anggapan bahwa buku keluaran penerbit indie itu kualitasnya ecek-ecek. Bagaimana tanggapan Mas Bajang?” tanya saya penasaran.
“Itu tidak benar. Penerbit buku indie/alternatif tidak berarti menomorduakan kualitas, hanya saja terdapat perbedaan dalam sistem pemasarannya. Sistem pemasaran IBC lebih memaksimalkan jejaring komunitas dan media sosial yang kita punya. Penerbit mainstream lebih mengandalkan promosi di toko-toko buku yang menggurita”, jawab Mas Bajang.
Cara ini terbukti cukup ampuh. Saat ini Indie Book Corner adalah penerbit buku indie yang cukup disegani dan mempunyai basis penggemar yang fanatik.

Atas kerja keras dan kegigihannya untuk membuat #IndonesiaBicaraBaik, lewat IBC dan Independent School-nya, Mas Bajang mendapatkan apresiasi SATU Indonesia Awards tahun 2014 kategori pendidikan. Penghargaan ini adalah persembahan dari PT. ASTRA International Tbk. Ia menyadari bahwa dengan semangat berbagi dan memberi manfaat bagi masyarakat sekitarnya, akan membuka mata bahwa semua orang berhak mendapatkan akses untuk berkembang dan semangat #KitaSATUIndonesia dapat terus digelorakan.
Ia sendiri tak pernah menyangka akan menerima apresiasi itu karena merasa tak pernah mengajukan dirinya dalam perhelatan tersebut. Hingga pada akhirnya ia mengetahui, bahwa ada rekannya yang mengajukan nama Irwan Bajang kepada penyelenggara sehingga ia tercantum dalam daftar kandidat penerima anugerah.
“Dari 5 nama kandidat, saya dan 1 orang lainnya yang terpilih dan berkesempatan untuk mempresentasikan apa yang telah kami lakukan. Alhamdulillah, presentasi saya dipilih sebagai penerima apresiasi. Hadiah yang saya dapatkan dipakai untuk pengembangan Independent School dan Indie Book Corner, semoga menjadi lebih baik lagi”, imbuhnya.
Mas Bajang, seorang yang awalnya bercita-cita menjadi seorang rock star, telah berhasil menggaungkan sebuah rumusan baru untuk mempermudah orang-orang dalam menerbitkan sebuah karya buku. Ia menularkan virus yang menginspirasi banyak penulis pemula untuk lebih bersemangat menulis, berani menuangkan ide maupun pemikirannya hingga mewujudkannya dalam bentuk sebuah buku secara mandiri. Semua proses jatuh bangun yang telah dilaluinya, menjadikan Mas Bajang pribadi yang matang dalam pemikiran untuk semakin memajukan literasi tak hanya di ranah Yogyakarta, namun di seluruh Indonesia. Penulis yang telah menelurkan 7 buah karya buku ini memang layak mendapatkan anugerah SATU Indonesia Award dengan melihat sumbangsih yang telah dilakukannya.
Matahari lingsir di ujung barat saat Mas Bajang mohon pamit kepada saya. Ia akan segera mengisi sesi talk show di acara festival Patjar Merah. Obrolan menarik ini kami pungkasi dengan kerinduan dan ide-ide gila Mas Bajang, terutama berkaitan dengan dunia kepenulisan dan buku.
“Pendapat bahwa orang yang doyan membaca buku itu nggak keren, nggak gaul, kuno itu adalah hal yang salah. Literasi tidak hanya berbicara tentang membaca, namun lebih luas yaitu mendengarkan. Saatnya buku berkolaborasi dengan banyak hal lainnya. Jika buku berkolaborasi dengan musik akan menghasilkan lirik-lirik lagu yang brilian dari musisi yang gemar membaca. Atau coba bayangkan lagi, jika sebuah konser musik diadakan dan tiketnya adalah sebuah buku. Proses kolaborasi tentunya menjadi lebih menarik, berwarna dan menyenangkan. Akan semakin banyak orang doyan membaca dan dunia literasi di Indonesia makin menggeliat”. pungkas Mas Bajang menutup perbincangan.
Saya terinspirasi untuk menerbitkan buku. Kamu?
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Anugerah Pewarta Astra 2019
Ayo dab, terbitin bukumu untuk pertama kali. Aku akan jadi pembeli pertama… Tenanan iki. Hahaha
LikeLiked by 1 person
Perlu mengumpulkan nyali lebih iki, mas dab… Hehehe
LikeLike
gimana? sudah jadi bukunya? 😀 Bajang, kenalan dulu pertama di Multiply. trus dia skrg udah jadi bapak-bapak anak satu, ahahahhaaa. dan tetap konsisten, sejak pertama kenal. mungkin dia tidak ingat saya, tapi saya sudah pasti ingat dia. 😀 cobain aja, bikin buku via Indie Book Corner. ahahahaha 😀
LikeLiked by 1 person
Iya, mbak. Pengin banget bikin buku, masih mengumpulkan tulisan 🙂
Buset jaman Multiply… Lawas. Hahahaha
LikeLiked by 1 person