“Rindu adalah gerimis yang melebat. Mengalitkanmu ke dalam anganku. Selalu.” – Anonymous
Tak seperti Hujan Bulan Juni, kumpulan puisi yang ditulis oleh maestro Sapardi Djoko Damono, hujan di bulan Februari tinggi curah hujannya karena memang tengah memasuki masa puncaknya seperti ramalan BMKG. Entah mereka menggunakan media apa saat memastikan kondisi cuaca dalam ramalannya beberapa hari ke depan; apakah dengan membaca kartu tarot atau melihat alat pengukur kelembaban udara, aku tak terlalu mempedulikannya.
Hari ini Jakarta diguyur hujan lebat sedari malam seakan tidak ada jeda. Tak ada spasi. Hujan lebat diselingi gerimis dan kemudian kembali lebat bagaikan chord musik yang selaras mewarnai hari baru.
Kali ini, aku perlu keluar rumah untuk urusan penting. Bertemu dengan klien guna membahas pekerjaan lanjutan.

Melihat rintik hujan, aku teringat akan perkataan guru SD-ku, ibu Mus, ketika ia selalu semangat menyampaikan mata pelajaran ilmu pengetahuan alam di depan kelas.
“Hujan terjadi karena adanya uap air yang terbawa angin yang naik ke wilayah pegunungan, kemudian bertemu dengan massa udara yang bersuhu rendah, sehingga terjadi pengembunan dan kemudian membentuk awan. Setelah awan jenuh, proses hujan pun turun ke bumi,” begitu terang ibu Mus, guru berumur separuh baya dengan dedikasi yang patut dipuji sebagai seorang guru SD.
“Pak, saya boleh numpang neduh di sini ya, hujannya deras sekali,” aku meminta izin kepada seorang tenaga security sebuah gedung di bilangan SCBD.
“Boleh, pak. Silahkan.” Jawabnya ramah.
“Bapak mau ke mana tujuannya?” tanya pak security penuh selidik.

Sebenarnya aku merasa jengah dan tak nyaman dengan pertanyaan itu. Aku tak punya tampang penjahat ataupun seorang teroris, pikirku. Tapi aku memakluminya, toh ia hanya menjalankan prosedur keamanan gedung. Itu memang tugasnya.
“Mmm… Saya baru turun dari lantai 4, pak. Ada ketemu sama klien saya. Sekarang mau ke parkiran motor; tapi kok hujan lebat sekali,” begitu aku menjelaskan.
Pak security itu tersenyum dan membiarkan aku mengambil sedikit tempat di pojokan lobby gedung yang dijaganya. Aku menaikkan hoody jaket parasutku sekedar menghalangi tempias air hujan.
Sekian pekan aku memang tak datang ke kantor. Mungkin bisa dihitung dengan jari persentase absenku tercatat di mesin absensi kantor. Hampir semua pekerjaan dilakukan dari rumah karena memang itu dimungkinkan. Datang ke kantor jika memang diperlukan untuk urusan meeting saja.
Aku berpikir ketika termenung menanti hujan reda. Barangkali akhir-akhir ini banyak hati manusia yang tandus dan mudah tersulut amarah. Hujan adalah jalan keluar untuk mendinginkan bahkan meredamnya.

Seumpama kemarau yang berkepanjangan, tanah menjadi kering dan tak seelok yang kita tahu. Hujan yang datang setelah kemarau panjang menjadikan kehidupan memberi jarak akan kesulitan dan kesengsaraan.
Hujan masih saja turun dengan lebatnya. Tak ada tanda-tanda akan berhenti dalam semenit dua menit ke depan. Sepertinya ia belum bosan mengguyur bumi.
Tatapan beberapa tukang ojek payung aku abaikan; toh ini masih hujan deras – percuma juga ke parkiran pakai jasa mereka. Naik motor tetap akan basah.
Hujan, ada kalanya menjadi berkah bagi sekalangan tukang ojek payung.
Hujan, ada kalanya menjadi bahan kesebalan beberapa orang karena geraknya terbatas.
Hujan, kadangkala ditunggu tanah kering untuk membasahi dahaga mereka.
Hujan, mungkin juga menjadi media penanda akan jalinan kenangan bagi sebagian orang. Entah kenangan manis ataupun miris.

Aaah, aku jadi teringat akan lelucon temanku yang sekarang entah berada di mana. “Aneh dengan orang jaman sekarang. Pas hujan yang diingat KENANGAN… bukannya JEMURAN!”
Jakarta, Februari 2020
Hujan
Saya mungkin salah satu orang yang tidak menyukai hujan. Saya tidak suka suasana dinginnya, basahnya dan jika ia datang disertai angin dan petir yang sambung menyambung, uchhhh sengsaranya!
Hujan sekarang meninggalkan genangan air di mana-mana, banjir! Ini lebih menyakitkan dibandingkan dengan mengingat kenangan haa
LikeLiked by 1 person
Hahaha… Bebas sih, mbak; penyuka hujan akan meniadakan atau menghindari panas jika dia bisa dan juga sebaliknya. Untungnya kita di Indonesia cuma punya 2 musim ya 😀
Naah kalau banjir itu tugasnya pemerintah kota; mereka tak perlu mengingat kenangan tapi tugasnya menghilangkan air yang menggenang 😀 😀
LikeLiked by 1 person
hahaha, ini realistis sekali pendapatnya Mas
Mantappp
LikeLiked by 1 person
Kayaknya hujan memang momen terbaik untuk membuat tulisan ya? Banyak yang begitu sih kalau aku perhatikan 😀
LikeLiked by 1 person
Setuju, mas
Terkadang hujan membuat jiwa sentimentil menulis tergugah 😀
LikeLike