“Cinta, walaupun ditemukan di comberan sekalipun akan tetap hangat dan menyenangkan bagi yang tengah menikmatinya” – @burgerk3ju
“Mau makannya pakai apa, mas?” tanya ibu penjaga warung makanan kepadaku.
Sepiring nasi putih yang masih mengepulkan asap berada di tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang sendok makan siap mencedok lauk yang sementara masih berada dalam pikiranku.
Entah apa menu lauk yang akan kupesan, semuanya terlihat menggoda. Tenggorokanku sukses menelan air liur yang untungnya tak jatuh ke piring nasi.
Siang itu udara lumayan panas. Perut yang kosong mengantarkanku mampir di warung nasi Bu Tinah di bilangan Gang Gloria, Petak Sembilan Glodok.
Warung Nasi “Bu Tinah” letaknya tak jauh dari warung kopi legendaris Tak Kie, hanya beberapa langkah kaki. Warung ini diusahakan oleh Pak Iwan berdua dengan bu Tinah, istrinya.
Warung nasi Bu Tinah adalah gerai sederhana penjual nasi tak ubahnya warteg. Letaknya di depan emperan sebuah toko dengan etalase kaca sebagai tempat memajang aneka ragam lauk pauk. Aku lebih sreg menyebutnya Warung Nasi Nusantara, karena dari sekian banyak masakan yang tersaji di etalase kaca beberapa masakan khas daerah seperti Gudeg (Jogja), Ikan Pucung Gabus (Betawi), Rendang (Padang) berjejer menghias manis. Bahkan beberapa piring berisi lauk tampak ditumpuk karena tak tersisa lagi ruangan untuk menaruh piring berisi lauk makan.

“Bu Tinah, aku mau lauk tempe goreng balok, teri kacang balado, ikan mujaer pesmol. Sayurnya pare udang,” pintaku sambil menunjuk pesanan.
“Mas, duduknya di dalam kedai si Engkoh itu ya. Sekalian pesan minumnya di sana,” kata pak Iwan kepadaku.
Aku tak langsung mengiyakan perkataan pak Iwan. Sepertinya aku lebih tertarik memesan secangkir es kopi susu di kedai Tak Kie. Kebetulan ada tersisa satu meja kosong di dalam yang barusan ditinggal pelanggannya.
Baca juga: Perbincangan Di Dalam Bajaj
Rupanya telah terjadi kesepakatan antara warung nasi “Bu Tinah” dengan pemilik kedai mi dan minuman yang mereka panggil Engkoh. Buktinya, setiap pembeli di warung nasi “Bu Tinah” diperbolehkan duduk di dalam kedai si Engkoh dengan syarat minumnya mesti pesan di kedainya; jika tidak mau silakan berdiri bak standing party di deretan para pedagang kaki lima di Gang Gloria yang padat itu.
“Kami sudah berjualan di sini dari tahun 80 an, mas'” bu Tinah menuturkan.
“Wah cukup lama juga ya. Jualannya dari dulu nasi, sayur dan lauk pauk ginian, bu?” tanyaku penuh selidik.
Pak Iwan menimpali “Iya, mas. Ibunya dari dulu jualannya ya kayak gini.”
Aku segera memindahkan sepiring nasi dan lauk pauknya ke dalam perutku; tak lupa membayar maharnya setelah selesai menikmatinya. Perut cukup kenyang. Es kopi susu menyempurnakan makan siangku kali ini.

Aku menyempatkan berbincang sejenak dengan kedua pasangan suami istri ini. Kebetulan warung nasinya sejenak tak ada pembeli.
“Dari saya jualan nasi ini, bapaknya anak-anak ini rupanya suka sama saya, mas. Kami akhirnya berjualan berdua sejak pacaran hingga menikah. Sampai punya anak dan sekarang tambah cucu,” kata bu Tinah.
“Cinta bapak dan ibu ini bagaikan hidangan makanan ya. Penuh bumbu. Manis, asem, pedas, gurih campur jadi satu,” candaku.
Pak Iwan tersenyum bungah. Keduanya terkekeh senang. Bahagia yang sebenarnya.
Baca juga: Cerita Tentang Hujan
Aku melenggang menjauhi warung nasi “Bu Tinah”, meninggalkan kisah cinta mereka yang penuh dengan wangi bumbu dapur.
Dalam lamunanku, cinta bisa berawal dari mana saja; termasuk dari penggorengan turun ke hati.
Kalau cintamu, awalnya dari mana? Eaaaa
melihat etalase makanannya, mendadak jadi lapar
LikeLiked by 1 person
Hahaha… Etalase makanan khas warteg, mas; Memang menggiurkan 😀
LikeLike
Cinta lalu berjodoh bisa berawal dari jalan yang tak pernah kita duga. Tapi kalau jodohnya penjual nasi, alamat hidupnya akan sejahtera. Tidak akan kelaparan haha.
Btw, kalau penulis dari manakah berawal cintanya? 😀
LikeLiked by 1 person
Awal kisah cinta si penulis dari kota metropilitan bertemu di lereng bukit Tidar, mas… Hahahaha
LikeLike