“Dalam setiap perjalanan ada cerita.” – Amadya
“Mas Yo, ada jalur baru nih ke puncak gunung Prau. Kapan mau nanjak?” tanya pak Didik. Ia adalah tour guide lokal dari Dieng, Wonosobo.
Ia telah beberapa kali menemaniku dalam 2 tahun terakhir jika aku melancong ke Dieng. Pak Didik berusia separuh baya, seorang yang sederhana dan mengerti betul seluk beluk Dieng.
Pak Didik tak lagi bekerja di penginapan yang selalu jadi tempat menginapku jika melancong ke Dieng. Ia sudah punya banyak klien yang menjadikannya bekerja sepenuh waktu menjadi pemandu wisata bagi tamu-tamunya. Apabila mereka perlu tempat menginap barulah ia mengantar ke penginapan tempatnya bekerja dulu.
Simbiosis mutualisme yang keren.
Segera aku meramban internet mencari tahu jalur yang dimaksud pak Didik; dan ternyata memang ada jalur tracking tersebut. Jalur itu mengambil titik awal pendakian dari perkampungan warga menuju puncak gunung Prau dari sisi kota. Puncak tertingginya mencapai 2536 mdpl. Sementara puncak gunung Prau sesungguhnya adalah 2565 mdpl.
Menurut keterangan Pak Didik, saat kita sampai di puncak dan cuacanya cerah bakal bisa lihat 9 gunung di sekelilingnya. Mengguncang adrenalin.
Bersegera aku langsung kontak Aris, teman perjalananku, supaya membatalkan rencana jalan-jalan ala borjuis-nya ke Dieng dan mengalihkannya ala backpack.

“Jiaaaahh, nggak keren amat sih pake paket tour. Ke Dieng jalan backpacker saja yuuk! Ntar deh, aku coba kontak temen aku tour guide di sana, katanya ada trek baru selain Sikunir buat lihat sunrise nih!”, ajakku lewat sambungan telepon ke Aris waktu itu.
Hanya orang sinting yang akhirnya menerima ajakan ini. Hahahaha… Pis.
Isi form cuti, checked! – dicemberutin ama orang HRD kantor gegara aku sering ajuin cuti
Tanda tangan lembar cuti ke GM, checked!
Ijin meninggalkan rumah, checked!
Baca juga: Orkestra Alam Bukit Sikunir Dan Telaga Cebong
Tak lupa aku berkirim pesan ke beberapa teman backpacker sekedar panas-panasin urusan kabur ke Dieng dengan agenda naik gunung. Jahat memang sih!
Dari beberapa temanku hanya Aris dan Bayu yang positif pergi barengan, sementara Dwi batal ikutan karena ada meeting korporat di kantornya. Evie dan Rara, kawan backpacker lainnya, memilih piknik ala borjuis ke negeri Singa. Horang kaya!
Bayu memutuskan untuk tidak berangkat bareng dari Jakarta. Ia punya rencana sekalian mengantar orangtuanya pulang ke Wonosobo. Praktis hanya kami berdua, aku dan Aris yang berangkat dari Jakarta.

MENUJU NEGERI PARA DEWA
Sore itu aku langsung kabur dari kantor sekitar jam 18.00. Menumpang seorang teman yang kebetulan pulangnya searah. Aku diturunkan di bilangan Karet Bivak dan melanjutkan perjalanan ke Stasiun Gambir dengan numpang ojek.
Aris rupanya sudah sampai duluan di stasiun dan menunggu di restoran cepat saji.
Begitu menginjakkan kaki di stasiun, aku segera memesan paket hemat makanan. Dengan pertimbangan praktis, aku memutuskan untuk makan di dalam kereta biar praktis. Kereta api Argo Muria menjadi pilihan kami berangkat malam itu.
Sialnya, keberangkatan kereta molor sekitar 20 menit dari jadwal yang tertera di karcis. Mungkin kempes kali ban keretanya.

Akhirnya, kereta melaju menembus pekatnya malam. Tak ada yang menarik selama perjalanan karena di luar gelap. Kami memutuskan untuk tidur. Lagu “Country Road” milik Bob Dylan menjadi pengantar tidurku dalam perjalanan.
Pukul 3 pagi kereta sampai di Semarang. Kami melanjutkan perjalanan menuju ke rumahku untuk beristirahat.
Setelah cukup beristirahat, pagi itu kami berdua mencari tiket bis patas AC guna melanjutkan perjalanan ke Wonosobo. Ritual mampir ke tukang soto ayam langgananku di bilangan stadion Diponegoro tak boleh terlewatkan.
Baca juga: Kisah Pangeran Kidang Garungan Hingga Pedasnya Cabai Gendot
“Aku berangkat dari Jakarta ya, Oom.” – Sebuah pesan singkat dari Bayu mengabarkan jika dia sudah berangkat pagi itu dari Jakarta.
Bus yang bakal kita tumpangi sejatinya berangkat sekitar pukul 14.00 dari kota Semarang. Namun, seperti kejadian kereta api semalam, bus juga molor berangkatnya. Bis baru mengasapi kota Semarang pukul 15.30. Paraaaah!
Alamat bakal kemalaman nih nyampe Wonosobo, pikirku.

Saat bus sampai Wonosobo sekitar jam 7 malam, kami memutuskan untuk langsung menuju warung makanan khas kota Wonosobo. Mi ongklok Pak Muhadi. Bayu, sudah ngetem di sana sekitar 30 menitan. Sementara Pak Didik ikutan gabung tak lama kemudian.
Kami menyusun rencana untuk esok hari.
Semangkuk mi Ongklok dan sate ayam cukup mengenyangkan perut yang keroncongan karena kami kedinginan. Bersegera kami melanjutkan perjalanan ke rumah Bayu. Sekedar numpang mandi dan ngaso.
Pada tengah malam, sekitar pukul 01.00, kami bangun dan bersiap-siap naik ke dataran tinggi Dieng. Pak Didik kami jemput di pinggir jalan dekat rumahnya demi menghemat waktu.
Cuaca mendung dan gerimis mengguyur jalanan kota Wonosobo yang masih sunyi DAN terlelap dalam tidurnya. Tiupan angin mendesir cukup kencang, menembus malam pekat.
Bersambung.
Huhuuuu, jadi kangen Dieng hahaha. Penasaran baca lanjutannya 🙂
LikeLiked by 1 person
Kuy, Oom. Ngadem ke Dieng bareng
LikeLike
Aktor bagian pertama ini adalah Mie Ongkloknya justru….enak sepertinya.
LikeLiked by 1 person
Juuooooss wis nek mi Ongklok; tiada tara 😀
LikeLike
Rung pernah nyoba….penisirin
LikeLiked by 1 person
Enak, oom. Coba Google deh, ono sik jual daerah Petukangan
LikeLike
Yoi…layak diburu..😂
LikeLiked by 1 person