Berbekal tiket pesawat murah hasil hunting bulan lalu, trip gue kali ini adalah ke Jogja. Yaa, Kota Gudeg yang istimewa itu. Sejak terakhir gue main ke sini kira-kira 5 tahun lalu, memang belum pernah kembali ke Jogja lagi. Dan saatnya melepas kangen dengan kota yang menjadi judul lagu salah satu grup music KLA Project itu – bercumbu dan bermesraan dengan Malioboro. Aaah…
Partner traveling gue kali ini adalah Via – seorang cewek traveller, backpacker dan tracker; tapi punya kebiasaan baper… Hahahahaha. Dia dulu adalah teman sekantor gue di kantor terakhir sebelum gue memutuskan resign; hanya saja dia di divisi yang berbeda. Saat ini Via masih mengabdikan segenap pikiran, jiwa dan raga di kantor itu. Ooo ya, sekedar info buat para cowok jomblo, Via ini sedang mencari cinta – setelah cintanya menghilang entah kemana (bakalan dijitak nih gue sebentar lagi sama Via) hahahaha…
Flight schedule gue hari itu jam 05.55 pagi – jadwal terbang yang berhasil memaksa gue bangun jam 3 pagi. Gebleg! Tepat jam ½ 4 gue beranjak naik bis DAMRI yang membawa ke bandara Soetta. Gue heran pas check in minta tempat duduk samping jendela dibilang full seat sama reception-nya; gue lupa ternyata pas hari itu ada fenomena gerhana matahari di Indonesia. Pantas saja hampir semua penumpang pilih window seat. Tapi masih tersisa 2 seats samping jendela, hanya saja pas di emergency exit – which is pas dekat bagian sayap. Nggak apa-apa lah, dan memang hari itu adalah hari keberuntungan gue. Ruang yang agak lega di 2 seats samping emergency exit itu memang bersahabat buat gue yang punya masalah dengan panjangnya kaki gue. Bisa selonjoran… Hehehehe
Buat Via, ini adalah first flight. Sebelumnya dia selalu backpacker naik kereta atau bis berbasis kerakyatan alias kelas ekonomi… Hahahaha. Sekali-sekali naik pesawat dooong, begitu ajak gue ketika dia memutuskan untuk barengan trip. And you know what, pas take off gue lihat mukanya pucat ketakutan… Hahahaha. Hanya saja pas landing, terucap dari mulutnya ”Enak juga naik pesawat.”. See…

Pertimbangan gue naik pesawat bukan karena gue punya duit lebih, nggak. Hanya karena pertimbangan waktu saja yang lebih cepat dan kita bisa nge hit banyak tempat piknik di Jogja. Sejam perjalanan kita sampai di kota Gudeg. Dari bandara ternyata sekarang sudah bisa naik bis Trans Jogja. Bis yang kalau di Jakarta sama dengan Kopaja yang ber-AC itu dengan cepat membawa kami ke pasar Bringhardjo. Kok pasar? Yak, karena perut kami lapar sangat. Tujuan pertama kami adalah Soto Pites “Mbah Galak”. Soto lejen di dalam pasar yang rasa kuahnya sangat otentik. Yang istimewa disini adalah ketika kita memesan soto selalu ditanya “Pedas nggak sotonya?” – ketika kita pesan pedas, dengan sigap Mbah Galak mengambil banyak cabe dan me”mites”nya (menggerus) cabe itu dengan ibu jarinya. That’s why it called Soto Pites.
Silahkan Google Soto “Mbah Galak” – bakal banyak informasi yang mengulas kedahsyatan soto ini.
Saat ini yang jualan ternyata bukan Mbah Galak lagi, karena beliau sudah meninggal dunia 3 tahun lalu – diteruskan oleh anak lelakinya. Masih dengan me”mites” cabenya dan rasa sotonya tetap sama. Tetap galak. Sebagai penawar dahaga gue memesan wedang kolang-kaling; sementara Via memesan yang berbeda, es kolang-kaling. Kedua minuman ini sama segarnya menurut gue. Perpaduan sirup yang ditambah perasan jeruk nipis dan kolang-kaling ini berhasil menggiring lidah kami mengecap kenikmatan dan kesegarannya, ditambah semangkuk soto yang juga segar menghunjam perut. Dengan tambahan keripik tempe dan perkedel perut kami terasa kenyang. Segar. Keringatan. Puas.
You have must try before you die, pesan gue ke klean yang berencana main ke Jogja. Total kerusakan yang harus kami bayar pun nggak mahal, cukup IDR 24.500 berdua makan sampai begah.
Istirahat sebentar di warung soto ini, perjalanan kami lanjutkan ke bilangan Tamansari. Letaknya kurang lebih 2 km dari Pasar Bringharjo. Karena hari masih pagi dan demi menjaga kebugaran (halaaah…) kami memutuskan untuk berjalan kaki ke sana. Dengan masing-masig ransel masih di punggung, kaki kami membawa langkah kami menyusuri jalan ke Tamansari. Sempat berhenti sebentar di depan Keraton Jogja, demi melihat sholat gerhana yang dilakukan para abdi dalem. Ternyata jalan kaki ini membuat kami keringatan banget, dikarenakan cuaca Jogja yang cukup panas. Singkat kata kami tiba di Tamansari setelah beberapa kali pit-stop.

Di Tamansari ternyata sudah cukup rame, bahkan banyak juga para alay berkeliaran disini. Bah! Puas ambil beberapa foto di area Tamansari, kaki melangkah menuju Sumur Gemuling dan Masjid Bawah Tanah. Ketiganya berada di area berdekatan. Tak lupa kami menenggak Es Beras Kencur dan Es Kunyit Asam demi menjaga kebugaran dan mencegah badan kami dari dehidrasi. Asli panas banget dimari, braay. Tiket masuk area Tamansari kami tebus dengan harga IDR 5000 / orang, pun harga Es Beras Kencur dan Es Kunyit Asam yang menyegarkan itu.
Satu hal yang kami sayangkan di kompleks Tamansari adalah adanya beberapa coretan tangan orang-orang tolol dan bodoh yang gatal dan tidak menghargai budaya bangsanya. Mendingan mati sana klean!!

Karena panas terik di kepala, kami memutuskan untuk naik becak kembali ke Pasar Bringharjo – IDR 20.000. Nggak sanggup kalau mesti jalan kaki lagi, walaupun jaraknya nggak terlalu jauh – tapi cuaca panas berhasil memaksa kami untuk membagi rejeki pada tukang becak. Sate sapi di emperan trotoar pasar adalah buruan kami selanjutnya untuk mengganjal perut makan siang. Sate sapi yang lebih terkenal dengan “Sate Knalpot” ini juga lejen buat gue. Sejak kecil kalau main ke Jogja selalu beli sate ini. Irisan daging sapi yang empuk ditusuk bambu kecil, dipanggang diatas bara api – diguyur sambal kacang bercampur kucuran kecap diatas potongan lontong… Sh*t! Menggelegak jiwa, meneteskan air liur dan menggoda lidah. 10 potong sate daging berkombinasi dengan lemak berhasil mendarat di perut kami, setelah mulut kami dengan beringas mengunyahnya lebih dulu… Hahahaha…

Kolesterol dan lemak?? Silahkan kalian nongkrong dulu di laboratorium… Kami hanya ingin makan enak!
Total kerusakan yang harus kami tebus IDR 31.000
Dengan menumpang kembali bis Trans Jogja, kami melanjutkan perjalanan ke hostel yang sudah kami booking jauh hari sebelumnya. Ngantuk, capek, pegal – memaksa kami melangkah kaki ke hostel dari halte bis. Edu Hostel adalah tempat kami bakal menginap selama di Jogja. Hostel berkonsep kamar dormitory itu cukup murah buat backpacker macam kami – IDR 80.000/bed/night.
Silahkan Google Edu Hostel ya buat informasi lengkapnya…
Permintaan kami untuk early check-in ditolak oleh receptionist hostel. Tidur di lobby yang menyediakan tempat duduk – lebih tepatnya sih tempat tidur – hingga waktu check-in jam 3 sore. Gue dan Via di kamar dormitory yang berbeda lantai. Ini adalah pengalaman pertama gue dan Via menginap di hostel ini; konsep kamar dormitory dengan 3 tempat tidur tingkat menjadikan kami berkenalan dengan banyak orang dari berbagai daerah bahkan negara. Teman sekamar gue dari Inggris, Korea Selatan, Bali dan Malaysia. Istirahat setelah sebelumnya mandi sore itu, kami berlanjut menyewa motor untuk sarana kami nge-hit pantai-pantai seputar Gunung Kidul esok hari.

Informasi persewaan motor ini kami dapatkan dari hasil browsing di internet corner di hostel. Transaksi kami lakukan di hostel dengan membayar mahar IDR 140.000 untuk 2 hari sewa. Bakmi “Pak Pele” menjadi target makan malam kami hari itu. Bakmi yang kami tunggu selama 30 menit, dimana itu sama dengan 40 piring antrian itu berasa mahal di kerongkongan dan perut kami. Terpuaskan kecapan lidah dan perut kami malam itu dengan mahar yang kami bayar IDR 52.000. Hahahaha…
Pulang ke hostel setelah sebelumnya isi bensin motor IDR 24.000 = 3 liter.
Tidur. Istirahat. Modom
Selanjutnya… The Seven Magnificent Beaches