Suara Jascha Richter terdengar lirih di dalam kabin mobil yang aku tumpangi siang itu. Dari audioset dalam mobil, playlist memutar lagu “Sleeping Child” seakan menjadi pengantarku untuk sekejap memejamkan mata. Selintas tampak kulihat sungai Kapuas di bawah jembatan panjang yang baru saja kami lewati. Denny, supir yang membawa mobil sesekali bersenandung lirih mengikuti bait demi bait yang dinyanyikan. Aaah, punya selera yang mantap juga anak Pontianak ini. Roda mobil dengan cepat menggilas aspal melaju ke arah Singkawang, tempatku akan melakukan perjalanan liputan. Tak sampai satu lagu habis, Denny menepikan mobilnya dan segera membangunkanku dari “tidur ayam” barusan.
“Mas, kita mampir sebentar ya. Minum es lidah buaya. Biar segar,” kata Denny kepadaku.
“Bolehlah. Kebetulan juga haus nih,” jawabku sambil mengucek mata dan menguap sekali.
Cuaca di kota Khatulistiwa saat ini tengah panas-panasnya. Tidaklah perlu mengukur berapa derajat panas di sana, apalagi saat Equinox tentunya lebih panas. Percayalah, cuaca di kota ini memang cukup menyengat – lebih panas dari Jakarta kurasa. Tak ada salahnya jika kami meneguk kesegaran es lidah buaya. Aku sudah membayangkan jika meminumnya dengan tambahan es batu dan ditambah sedikit perasan jeruk lemon, tentunya semakin menyegarkan dan menghilangkan dahaga. Tanaman lidah buaya yang kita kenal dengan nama latin Aloe Vera ini selain digunakan sebagai bahan kecantikan dan obat-obatan, lidah buaya juga bisa diolah menjadi makanan. Pulau Borneo dikenal sebagai salah satu daerah penghasil tanaman lidah buaya terbaik di dunia
Ibu penjual di warung segera menyambut dengan senyum dan sapa yang ramah kepada kami bertiga ketika memasuki warungnya. Kita bisa menjumpai banyak warung berderet di jalan Budi Utomo, Pontianak Utara yang menjajakan olahan makanan atau minuman berbahan dasar lidah buaya ini. Dodol lidah buaya, coklat, manisan lidah buaya hingga es lidah buaya. Ada juga yang masih berupa lembaran lidah buaya dan sekantung plastik lidah buaya yang masih mentah.
“Harga lidah buaya yang masih berupa lembaran itu Rp5.000/kg, sementara yang sudah dikantung plastik Rp10.000.” kata ibu Siti Rahmah, pemilik warung “Pondok Chinday”.
Selain sebagai obat panas dalam, lidah buaya juga menjadi obat untuk penyakit ambeien, kolesterol ataupun darah tinggi. Cara mengolahnya pun mudah, lidah buaya diblender hingga menjadi jus dan diberikan sedikit tambahan gula untuk pemanis.
Harga satu gelas es lidah buaya juga cukup murah, hanya Rp10.000 saja. Menurut ibu Siti lebih lanjut, warungnya ramai ketika akhir pekan atau hari libur.
“Banyak orang mampir dan membeli es lidah buaya ini, ketika mereka lewat jalan besar itu. Selain itu mereka juga membeli oleh-oleh olahan lidah buaya lainnya,” begitu tandasnya.
Aku mendengarkan ibu Siti Rahmah yang bercerita kepada kami tentang usahanya. Tak sadar ternyata satu gelas es lidah buaya sukses berpindah ke perutku. Aaah, memang menyegarkan sekali. Tak lupa membeli sedikit penganan hasil olahan lidah buaya untuk bekal nyemil di perjalanan. Kuliner yang enak, senyum dan sapa orang-orang yang ramah serta pengalaman dan cerita yang baru aku dapatkan pastinya akan menjadikanku bertambah kaya – bukan kaya materi, tetapi kaya cerita. Cerita tentang sepenggal Indonesia. Cerita tentang kebaikan-kebaikan yang kutemui dalam setiap perjalanan. Juga cerita tentang menikmati sebuah perjalanan. Indonesia memang indah.