Bantayo Poboide, Jejak Kebesaran Masa Lalu Gorontalo

Gorontalo sejak dahulu dikenal sebagai salah satu dari sembilan belas daerah adat di Indonesia, dan telah turut serta mewarnai keragaman budaya nusantara. Masyarakat Gorontalo tetap memelihara dan melestarikan serta mengembangkannya, agar dapat memperkaya budaya bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kehadiran sebuah rumah adat tradisional di kota Gorontalo diharapkan mempunyai kegunaan berganda, baik sebagai pusat segala kegiatan adat daerah, museum tempat menyimpan dan menghimpun peninggalan-peninggalan leluhur serta catatan yang mempunyai nilai sejarah, pusat pengembangan dan pembinaan kerajinan tradisional maupun sebagai pusat pengembangan pariwisata dan budaya.

Bantayo Poboide ialah rumah adat Gorontalo yang keseluruhannya terbuat dari kayu. Bantayo Poboide yang dalam bahasa Indonesia bermakna gedung tempat bermusyawarah ini menjadi situs budaya di kabupaten Gorontalo. Selain berfungsi sebagai balai besar tempat berkumpulnya masyarakat adat, tempat ini juga sebagai area untuk melakukan berbagai kegiatan. Upacara adat, penerimaan tamu kenegaraan, pesta perkawinan adat hingga kegiatan sosial keagamaan kerapkali diadakan di rumah adat ini. Para baate atau pemangku adat dan tokoh agama biasanya berkumpul dan merundingkan berbagai masalah masyarakat dan kerajaan.

Bantayo Poboide
Bantayo Poboide tampak depan

Bantayo Poboide diresmikan tanggal 15 Januari 1985 oleh Kol. (AU) Martin Lupito selaku pemangku jabatan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gorontalo pada waktu itu. Bangunan ini terletak di desa Kayu Bulan, Kecamatan Limboto, Gorontalo. Bangunan ini bergaya tua namun kesan artistik, megah dan karismatik tampak pada eksterior rumah adat. Secara keseluruhan, Bantayo Paboide terbagi menjadi lima bagian, yaitu Serambi Luar atau Depan, Ruang Tamu, Ruang Tengah, Ruang Dalam serta Ruang Belakang tempat beradanya dapur, kamar mandi dan kamar-kamar kecil.

Baca juga: Pulo Cinta, Petualangan Cinta di Atas Karang Laut

Arsitektur bangunan Bantayo Poboide dibangun dengan posisi tinggi yang dapat terlihat dari penempatan langit-langitnya. Hal ini dimaksudkan untuk memperlancar sirkulasi udara supaya hawa di dalam rumah adat tidak panas, padahal bangunan ini menggunakan seng sebagai atapnya. Desain panggung dari rumah adat tradisional mengakibatkan terjaganya aliran udara dari lantai bawah ke dalam ruangan rumah. Apakah kalian tahu mengapa semua bangunan di kabupaten Gorontalo tidak menggunakan genteng yang terbuat dari tanah, namun menggunakan atap seng atau asbes sebagai penggantinya? Ketika aku menggali informasi ini, ternyata ada kaitan erat dengan kepercayaan masyarakat kebanyakan di kabupaten Gorontalo. Mereka beranggapan bahwa hanya orang meninggal saja yang tinggal di bawah tanah.

Pelaminan
Bagian dalam rumah adat; terdapat pelaminan dan baju pengantin adat – tempat ini seringkali dipakai untuk acara pernikahan adat Gorontalo

Aku sempat bertemu dan berbincang dengan ibu Rukmini Otaya di rumahnya. Pengelola  Bantayo Poboide ini menjelaskan bahwa konon lokasi berdirinya bangunan tepat berada diatas istana raja wanita Limutu, Putri Bungale (Mbui Bungale).

“Seorang ratu yang terkenal bijak, perkasa serta cantik. Ia memerintah daerahnya dengan baik. Keharuman nama ratu Mbui Bungale menjadi salah satu ratu termahsyur yang tercacat dalam rekam sejarah Gorontalo masa silam,” ibu Rukmini menjelaskan.

Ibu Rukmini memang terlihat sudah cukup berumur, namun ia sangat antusias ketika menceritakan pengalamannya dalam mengelola rumah adat, bahkan ia terlihat sangat penikmati perannya selama merawat Bantayo Poboide hingga kini. Sambil menikmati suguhan teh hangat dan kue kering yang disajikan, aku menyimak detail kisah bangunan adat ini. Sungguh, bangunan ini dibangun dengan ketelitian yang tinggi serta kaya dengan nilai filosofi kehidupan masyarakat Gorontalo.

Pedati
Pada bagian samping rumah, terdapat pedati yang dahulu kala menjadi moda angkutan masyarakat Gorontalo

“Saya sangat senang ketika generasi muda masih mau mempertahankan budaya Gorontalo dari arus modernisasi, semuanya itu dapat mereka pelajari dari keberadaan rumah adat,” pungkas ibu Rukmini menutup pembicaraan denganku. Sehat terus ya, bu. Kita bertemu suatu saat nanti, jika aku masih punya umur panjang dan berkesempatan kembali ke Gorontalo.

Bantayo Poboide digunakan pertama kali saat pengukuhan gelar adat kepada Nani Wartabone, seorang pahlawan nasional Gorontalo. Rumah adat ini sekarang menjadi lambang kebesaran masa lalu Gorontalo yang masih menyimpan nilai luhur budayanya.

Hila’u to Hulonthalo…

Bangunan adat tampak samping
Disinilah jejak kebesaran masa lampau Gorontalo dapat digali dan dikisahkan; sebagai nilai tinggi kekayaan bumi negeri ini.

*Artikel ini telah ditayangkan di majalah LINKERS (in-flight magazine Citilink)  edisi bulan Agustus 2018

9 Replies to “Bantayo Poboide, Jejak Kebesaran Masa Lalu Gorontalo”

  1. Di daerah Kalimantan dan Sulawesi biasanya mereka menggunakan kayu ulin; kayu ini akan menjadi sangat kuat semakin lama digunakan.

    Saya tidak menanyakan jenis kayu apa yang dipakai untuk bangunan Bantayo Poboide, namun pasti yang membangunnya sudah memikirkan dengan benar bakal bertahan lama.

    Liked by 1 person

Leave a comment