Bermula dari keisengan belaka untuk belajar menulis cerita pendek, namun akhirnya menjadi tantangan tersendiri. Macam candu, bikin ketagihan! Bertemu hal-hal sederhana yang dirangkai menjadi sekumpulan kisah-kisah pendek. Belum sempurna namun aku dengan pede menulisnya (hehehe…).
Penggalan kisah-kisah yang aku unggah kali ini jika diperhatikan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (macam Proklamasi saja hihihi…) memang tidak berkaitan satu dengan yang lainnya, namun mempunyai kesamaan pada benang merahnya yaitu cinta. Cinta sederhana yang dapat kita temui saban hari.
“Menikahlah Denganku 2” disajikan bukanlah untuk mengekor sinetron kejar tayang dengan jumlah episode bejibun, namun telah melalui kontroversi dan pertempuran hati (halaaah…) dalam penyajian kisah pendeknya. Tentu saja masih banyak terdapat kekurangan disana-sini. Semoga nantinya dapat menjadi bahan pembelajaran untuk tulisan-tulisan selanjutnya. Jangan diomelin, please.
Setiap tulisan mempunyai keunikan dan rasanya sendiri-sendiri. Lebih cocok dinikmati dengan secangkir kopi dan sepotong kue.
Selamat membaca ya.
Mustofa Dan Rokok Lintingwe-nya

Kepulan asap rokok dihembuskan ke udara, menutup wajahnya yang keriput dan sontak mengotori rongga semesta. Polusi, walaupun dalam skala mikro. Serasa nikmat sekali bapak setengah baya berkulit gelap itu. Mulutnya sesekali menghisap rokok klobot yang sudah disiapkan dari rumah. Aroma asap tembakau bercampur sedikit gerusan cengkeh hitam yang dibakar menguar ke sekeliling. Baginya, perpaduan rokok lintingwe (ngelinting dhewe) dengan secangkir kopi pahit dan singkong rebus adalah sebuah legit tak terkira.
Pak Mustofa, aku temui kala perjalanan turun dari puncak Gunung Prau, Dieng, Wonosobo. Bermata pencaharian petani kentang adalah kesehariannya. Perkebunan kentang banyak ditemukan di lereng-lereng bukit maupun pegunungan di Dieng.
Ia duduk di atas batu berukuran besar di bawah pohon pinus dan sedang menunggu kawan-kawannya yang lain untuk memanen hasil kentang. Terlihat sebuah keranjang berukuran cukup besar dari anyaman bambu dengan pikulan kayu tergeletak di tanah.
“Bapak mau ke kebun?” tanyaku.
“Iya, mas. Mau panen kentang. Sekalian cari rumput buat pakan ternak”, jawabnya.
“Jauh kebunnya pak?” tanyaku lebih lanjut.
“Nggak mas, dekat kok. Kebun kentangnya di lereng bukit situ,” jawabnya sembari menunjuk sebuah bukit yang jaraknya sepelemparan batu di belakangnya.
Mari mampir, mas. Ngopi dulu.” Ia menuang kopi hitam kental ke dalam gelas berukuran sedang. Gelas kaca yang biasa dijumpai dalam acara arisan atau hajatan. Senyumnya mengembang, memperlihatkan deretan giginya yang menghitam karena kebanyakan merokok.
Aku tak menampik tawaran Pak Mus untuk mampir ngopi. Lumayan, mengistirahatkan sebentar kakiku yang sedari tadi menahan berat badan di turunan.
Singkong rebus segera aku comot ketika ditawarkan. Nikmat.
“Kulo menawi mboten ngudhut malah pegel sedanten awake, mas,” tutur Pak Mus kepadaku.
Aku tersenyum sembari menebak berapa umur Pak Mustofa. Tubuhnya masih tampak sehat dan kekar.

Pak Mustofa menuturkan sudah sejak lama ia bersahabat dengan rokok lintingan tangannya. Pak Mus pernah mencoba rokok instan, namun ia seperti tak menemukan apa yang disebutnya “kenikmatan merokok”.
“Rokok yang diracik dan dilinting dhewe punya kepuasan tersendiri yang muncul kala kita meracik dan melinting rokok, membakar ujungnya, menghisap serta menikmati kepulan asap tembakau yang terbakar bercampur aroma cengkeh dan wur,” Pak Mus dengan mimik sumringah menjelaskan.
Jelas tergambar kelegaan yang sangat ketika mulutnya mengepulkan asap putih pekat membubung.
“Wur adalah bubuhan berupa bahan isian rokok kretek. Asalnya dari aneka rempah. Wur berasal dari kata awur-awur. Guna rempah dalam rokok lintingwe ini untuk menguatkan dan menstabilkan rasa. Ketika terbakar api, campuran tembakau, cengkeh dan wur ini akan mengeluarkan aroma yang khas,” Pak Mus melanjutkan.
“Ngelinting rokok iku seni, mas!” Pak Mus menegaskan. Aku termangu.
Potongan singkong rebus kedua aku comot dan memasukkannya ke dalam mulut. Nyamleng.
Dieng, Wonosobo, 19/10/2012
Kami Bukan Cuma Teman, Kami Adalah Keluarga
Aku percaya bahwa ikatan yang paling kuat antar sesama homo sapiens adalah di dalam keluarga. Disana ada rasa saling menjaga, melindungi, menghormati, senasib sepenanggungan bahkan rasa menerima. Dalam setiap hembusan nafas doa, nama kami, masing-masing anggota keluarga disebut – dimohonkan ampunan hingga dibukakan selalu pintu rejeki dan berkatNya.
Berawal dari sekedar kumpul-kumpul para lelaki dengan hobi mainan yang sama yaitu ngincer. Hobi fotografi. Seiring dengan berjalannya waktu, kami mempunyai ikatan yang kuat hingga kepada anggota keluarga kami masing-masing.
Pertemuan seluruh anggota keluarga seringkali kami jadwalkan secara rutin, biasanya diadakan kala bulan puasa. Kami biasa bertemu di padepokan tempat kami belajar foto bersama, tempat yang sejak saat pertama kali berkumpul diberi nama padepokan Billy Moon – padahal kami tak pernah diajarkan silat disana.
Pada setiap acara kumpul, kami masing-masing membawa makanan untuk dinikmati bersama. Potluck nama kerennya. Aku, seperti tahun tahun sebelumnya selalu membawa kue surabi Karawang. Kue ini disukai oleh Oom Dianse dan juga Kea, anak mbarep-nya.

O ya, dalam pertemuan kali ini anggota padepokan kami ketambahan satu anggota baru. Seorang lelaki kecil berusia 9 bulan, Omar namanya. Ia adalah putra Oom Aris Wihardi dan tante Virta. Dengar-dengar dari bapaknya, sebentar lagi Omar bakalan siap manggul keril. Asyiiik. Kita naik gunung barengan ya, dik.
Saat melihat anggota keluarga padepokan yang makin bertumbuh besar dan dewasa, ingatan kembali melayang saat pertama kali kami berkumpul di padepokan kira-kira 10 tahun lalu. Sungguh merupakan anugerah terindah yang dapat kami syukuri dan tak dapat kami dustakan.
Semoga di kesempatan lainnya kami masih tetap bisa bertemu, bercanda, saling menguatkan dan mendoakan yang terbaik untuk kami semua.
Aku teringat akan sebuah theme song dari sinetron Keluarga Cemara, harta yang paling berharga adalah keluarga.
Itu memang sebenarnya.
Padepokan Billy Moon, Jakarta Timur – 10/06/2018
Menikahlah Denganku 2
“Marry me/ Today and every day” – Train, Marry Me

Sebuah kalimat. Terdiri dari 2 kata, tetapi bermakna sangat dalam. I do.
Kalimat sakral ini biasanya diucapkan kala dua makhluk kasta tertinggi ciptaan Gusti Allah bernama manusia, bersepakat untuk mengikat janji, sehidup dan semati dalam sebuah ikatan yang dinamakan pernikahan.
Ada banyak hal menyoal pernikahan. Perkara saling mencintai, menghormati, menghargai, melindungi dan yang terpenting mendudukkan hak kedua orang yang bersepakat tersebut pada tempatnya. Pernikahan tak hanya bicara kamu mencintai pasanganmu atau sebaliknya, namun disana butuh komitmen, kesiapan dan juga mental yang matang.
Marriage comes with 3 rings; engagement ring, wedding ring and suffering.
Kalimat diatas dapat dijadikan bahan permenungan kita.
Ternyata pernikahan tidaklah selalu kembar identik dengan kebahagiaan, namun juga tak identik dengan neraka. Sebuah kebahagiaan tak dapat ditentukan oleh sebuah pernikahan. Kebahagiaan ditentukan oleh kerja keras kita untuk bahagia. Untuk bahagia dalam pernikahan kita perlu bekerja keras, tanpa itu pernikahan mungkin akan menjadi seperti neraka.
Jadi, anggapan bahwa jika seorang jomblo auto bahagia setelah menikah adalah bualan di ujung gang. Lebih baik kau cuci muka dulu sana, gih!

Grup band Naif menuliskan lirik yang sederhana namun sangat romantis dan sarat makna pada salah satu lagu mereka – Denganmu semua air mata/ Menjadi tawa suka ria/ Akankah kau selalu ada/ Menemani dalam suka duka/ Denganmu aku bahagia/ Denganmu semua ceria/ Janganlah kau berpaling dariku/ Karena kamu cuma satu/ Untukku.
Bagaikan pasangan ganda campuran dalam pertandingan bulu tangkis, pernikahan tak hanya berbicara tentang kemenangan maupun kebahagiaan sepihak. Pasangan kita adalah hal terindah dari Sang Kuasa. Kala ia di sisi kita banyak sekali dinamikanya, namun saat ia tak berada di samping, kita serasa seperti layangan putus talinya. Hilang separuh jiwa kita… Uhuuuy.
I do.
Sebuah janji yang diunggah dan menjadi doa dalam pernikahan. Akankah kamu sanggup menjaga cinta suci dalam pernikahanmu sepanjang jalan hingga maut memisahkan?
— Married lets you annoy one special person for the rest of your life (unknown)
Semarang, 28/4/2019
Nelayan, Laut Dan Perahunya

“Siji, Loro, Telu!”
Teriakan aba-aba terdengar keras dan diulang beberapa kali oleh serombongan orang di kejauhan. Paling sedikitnya 10 orang terlihat di sana. Mereka sedang mendorong perahu yang kelar melaut menuju ke sisi pantai. Berbarengan mereka mendorong perahu berukuran sedang.
“Kami melaut dari semalam, mas. Tapi ada juga yang berangkat pagi ini. Biasanya jam segini mereka akan bongkar muatan di pasar ikan. Di dekat sana mereka akan memarkirkan perahu dan ada yang kebagian cuci motor tempel perahu di tempat itu”, Masrori menjelaskan sambil menunjuk ke deretan bangunan diatas tebing beton pembatas pantai.
Saat itu kira-kira pukul 10 pagi ketika aku sampai di pantai Menganti, Kebumen. Udara yang berhembus cukup panas, memaksaku untuk menenggak air mineral dalam botol yang terselip di ranselku.
Rori, begitu ia biasa disapa, adalah nelayan yang aku temui sedang beristirahat di atas perahunya yang terparkir di bibir pantai. Ia dengan senang menemaniku menuju ke atas tanggul pantai yang juga merupakan tempat pelelangan ikan.
Rokok yang terselip di bibirnya mengepulkan asap putih, membubung ke udara dan seketika hilang tersapu angin pantai yang berhembus semilir.

Sesekali ia membetulkan topinya yang kadang hendak terbang terbawa angin. Aku mengikutinya dari belakang menuju ke sebuah bangunan berbentuk pendopo kecil yang kosong. Sebuah bangku kayu panjang menjadi tempat duduk kami. Semangkuk soto segera berpindah dari gerobak penjualnya ke tangan kami ditambah dengan potongan tempe goreng yang nyamleng.
“Bulan lalu pantai ini sempat tutup sementara karena gelombang pasang, mas. Lumayan tinggi, bahaya buat melaut,” kata Rori sambil menyuapkan soto ke mulutnya.
Memang, dari berita yang aku lihat di media TV nasional menyebutkan gelombang pasang cukup tinggi menerpa hampir seluruh pantai di pesisir selatan Jawa. Hal ini menyebabkan takutnya para nelayan melaut dan berimbas pada pasokan ikan yang menipis serta roda perekonomian yang terhambat. Rori dan sebagian besar nelayan di pantai Menganti memang sangat menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan ikan. Roda macet ora ngliwet, begitu motto hidup mereka. Rori tertawa sumringah saat mengatakannya.
Alam memang menjanjikan seribu alasan untuk hidup, ia menebarkan cinta pada manusia yang bergantung hidup padanya. Namun saat anomali terjadi siapa yang kuasa menahan. Tak seorang Masrori ataupun… aku.
Saat aku menuliskan kisah ini, sederet artikel lainnya sudah menunggu diterakan. Plus tumpukan project yang hampir deadline menyebalkan dari kantor sudah menunggu untuk dikebut. Cinta banget sih ini kantor kasih project bejibun!
Kebumen, 15/6/2016