“Dusk of today embrace a new beginning of tomorrow – Prince Rogers”
Berburu (baca: menikmati) senja menjadi waktu yang istimewa bagi diriku, sama halnya saat mengejar matahari terbit di ujung Timur. Aku menyukai semburat warna-warni yang dihasilkan oleh bias sinar matahari di kedua waktu itu, menjelang pagi atau di penghujung sore hari. Waktu yang sakral, walaupun hanya sejenak. Apakah kalian juga mempunyai sebutan khusus untuk kedua waktu itu?
Aku rela bangun pagi-pagi, saat kebanyakan manusia masih terbius dengan mimpi-mimpi indahnya dan menarik selimut hangatnya. Melawan sebuah kenikmatan paling hakiki dimana menjelang pagi adalah saat manusia tidur paling lelap. Aku rela pergi ke suatu tempat berketinggian tertentu atau tempat dimana mata dengan leluasa dapat melihat tanpa terhalang, apakah itu sebuah bukit, gunung, pantai ataupun gedung tinggi.
Memberikan kepada indra pelihat ini sebuah pemandangan luas, 180 derajat tanpa penghalang apapun. Seperti halnya dengan saat pagi, perburuan melihat senjapun demikian adanya. Sangat menyenangkan bagiku. Entahlah, mungkin aku sudah kecanduan tingkat akut.

Hari menjelang sore saat aku menyambangi Brown Canyon, sebuah perbukitan gersang yang berubah menjadi penambangan material batu dan pasir. Proses penambangan yang terjadi selama bertahun-tahun membentuk beberapa tebing yang menjulang tinggi yang jika diperhatikan mirip gedung pencakar langit.
Perubahan yang sangat mencolok setelah sekian lama dilakukan penggalian adalah sisa bukit yang kian hari ukurannya semakin mengecil. Ratusan, mungkin ribuan kubik material sirtu diangkut oleh truk-truk yang setiap harinya hilir mudik memenuhi bak-baknya, mengirimkannya kepada para developer perumahan disekitar Brown Canyon.

Apakah ini bukti dari keserakahan manusia? Bukan hakku untuk menghakimi. Aku datang ke tempat ini hanya ingin menikmati lingsirnya matahari di langit Barat.
Baca juga: Outsadt, Sejenak Memutar Waktu Di Kota Semarang
Dua truk terakhir pengangkut pasir yang lewat menghamburkan debunya ke udara, menandakan bahwa waktu penambangan telah usai. Jika kamu ingin mengunjungi ke tempat ini tidak disarankan pada waktu siang. Selain karena hawanya sangat terik, musuh kamu lainnya adalah hilir mudik truk-truk pengangkut pasir. Pagi hari atau menjelang sore adalah waktu yang tepat karena aktivitas penambangan belumlah mulai ataupun telah selesai.

Entah sudah berapa kali aku mendatangi tempat ini, namun tak pernah merasa bosan. Mungkin ada sederet mantra yang diucapkan para supir truk atau mandor-mandor pekerja penambangan supaya banyak orang datang kembali ke tempat itu. Ini artinya ada sedikit tambahan pemasukan di kantung mereka, hasil dari menjual karcis tak resmi kepada para pengunjung yang datang. Kampret memang!
Sore itu tak banyak yang aku lakukan selain duduk diam di atas jok motor yang terparkir di pinggir cerukan tanah. Tak lagi menaiki tebing yang letaknya lebih tinggi di bagian Timur. Tak pula menelusuri goa-goa yang dibentuk oleh para penambang pasir. Kamu, wanita bermata sipit dan berambut sebahu, duduk tepat disampingku. Sama-sama menujukan pandangan mata ke ujung Barat dimana tampak satu bulatan berwarna oranye yang sebagiannya tertutup awan.

Menikmati bulatan yang bergerak perlahan ke batas cakrawala di ujung Barat. Masing-masing mengagumi benda bulat bernama matahari yang bersinar lindap. Kami tak bercakap satu patah katapun. Awan kecil-kecil yang masih diterpa sisa-sisa sinar matahari semakin membuat orkestra langit terlihat semakin megah.
Baca juga: Selamat Malam, Lawang Sewu
Banyak cara dan alasan dilakukan orang untuk menikmati keistimewaan warna senja. Sekedar melepas penat, meluapkan lara, alasan romantisme dan segudang alasan lainnya. Senja menghadiahi kita sebuah ruang perhentian untuk rehat sebentar dari serangkaian waktu yang telah kita lewati sepanjang hari.

Senja memberikan keelokan yang memesona sebagai penanda akhir sebuah hari. Tak terhitung sajak, puisi, tulisan maupun lagu yang tercipta lewat inspirasi tenggelamnya matahari.
Jika seumpama wanita, senja adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan karunia keelokan paras dan senyumnya yang berwarna jingga. Menebar pesona hingga sanggup membuat para penikmatnya terpaku – bahkan melongo seperti diriku. Berlari-lari di batas cakrawala hingga menghilang seperti ditelan bumi. Bodo amat dibilang lebay, namun aku memang pengagum senja.
Seperti aku mengagumi dirimu, wanita bermata sipit dan berambut sebahu.

“Hari ini senjanya bagus ya?” tanyaku sambil menggenggam tanganmu.
Kamu, wanita bermata sipit dan berambut sebahu, hanya mengangguk. Seutas senyum mengembang di wajahmu yang bulat.
Senja datang tak lama, sebentar namun bermakna. Harimu yang indah akan segera usai. Kisah yang baru akan dimulai esok pagi, diawali oleh orkestra langit yang memukau bernama matahari terbit. Tentunya dengan cerita yang lebih indah dari hari ini.
Apakah kamu penikmat senja juga?
Semarang, Agustus 2019
Brown Canyon – Rowosari, Tembalang, Semarang
Keren banget foto sunsetnya!
Anyway aku belum pernah dapet view sunrise yang bagus, soalnya males bangun pagi. Sekalinya emg ngejar sunrise eh malah berkabut. Salut sih sama orang orang yang dedicated to wake up so early and withstand the cold air in the morning just to witness the sunrise. But I was lucky enough to witness such a beautiful sunset when I was at the beach with Febri and it was indeed beautiful 🥰
Sepertinya aku anak senja wkwkwk
LikeLiked by 1 person
Terima kasih apresiasinya, mbak 🙂
Iya sih, mengejar matahari terbit memang butuh energi lebih dan keberuntungan juga; kadang terlihat langit cerah ternyata setelah sampai di tempat malah berawan. Tantangannya memang alam yang sak karepe dhewe, susah ditebak hahaha…
Sudah bawa peralatan foto lengkap ternyata zonk, nggak dapat sunrise; tapi kalau pas musim kemarau begini (biasanya pertengahan tahun) sunrise & sunset kebanyakan bagus sih, mbak. Berdasarkan pengalaman 😀
Isssh… Anak senja mari ngumpul! 😀 😀
LikeLike
Aku selalu suka ama warna senja. Romantis.
LikeLiked by 1 person
Yeay… Welcome to twilight world, mbak 😁
LikeLike
Dari dulu pengen ke sini belum kesampaian, sekarang sayangnya keburu lockdown 🙂 di tengah pandemi yang bikin gak bisa ke mana2 ini, jadi terhibur juga baca travel post orang2 yang seru2. Senang bisa nemu blognya. Salam kenal dari follower baru!
LikeLiked by 1 person
Masa pandemi begini paling travel tipis-tipis saja, mbak 🙂
Salam kenal juga. Terima kasih sudah berkunjung
LikeLike
Bahkan sekelas para sopir pun Tak perlu diajari bagaimana Cara berbisnis…”Kampret emang”…hahaha
LikeLiked by 1 person
Semacam retribusi tak resmi ngono iku, Oom… Wis biasa wis 😀
LikeLike
Sabetan….😃
LikeLiked by 1 person