Perbincangan Di Warung Angkringan

“3 hari yang melelahkan,” pikirku sambil menghela napas.

Lelah hati, badan dan pikiran. Belakangan, 3 hari terakhir aku fight maksimal dengan kerjaan. Remote site kantor di bilangan Menteng, bikin report (pakai acara salah pulak… huh!), dikerjain orang plus diomelin atasan. Malam hari sepulang dari tempat kerja masih disambung janjian dengan teman untuk pemesanan komputer. Berlanjut harus presentasi ke beberapa orang untuk sebuah project. Damn!

Berlama-lama di kantor seakan menyiksa. Aku memutuskan untuk mengemasi barang-barangku dan segera meluncur pulang.

Motor cruiser aku tunggangi dengan kecepatan sedang menyusuri jalanan. Sesampainya di bilangan Cawang, kubelokkan stang motor menyusuri jalanan Kalimalang. Kebetulan jalanan Kalimalang terbilang padat karena masih ada pembangunan jalan layang.

Sisa jarak sepanjang 11 km menuju Bekasi aku tempuh dengan sisa tenaga yang tersisa. Angkot maupun metromini saling silang mencuri jalanku. Berhenti seenaknya dan tanpa menyalakan lampu sen. Brengsek, pada tak tahu aturan apa ya!

Kira-kira di pertengahan jalan, aku menepikan motor. Sebuah warung sederhana beratapkan terpal berwarna oranye mencolok menjadi tempatku melepas lelah. Spanduk kain berwarna kuning lusuh bertuliskan “Angkringan Nasi Kucing – Lik Har” terpasang sebagai penutup depannya. Warung itu menggunakan teras sebuah toko onderdil motor yang sudah tutup.

Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, biasanya warung angkringan akan mudah kamu temukan di ujung-ujung gang ataupun tempat keramaian. Biasanya sebagai tempat bersosialisasi antar warga kampung.

Sajian khas warung angkringan adalah Nasi Kucing. Makanan ini sudah tak asing lagi di telinga orang Jawa Tengah dan Yogyakarta. Nasi kucing identik dengan wong cilik. Mayoritas penyantap makanan ini adalah tukang becak, sopir angkot, kusir andong/delman, mahasiswa berkantong cekak, tukang parkir, pedagang ataupun kuli pasar. Namun tak jarang terlihat pula orang kantoran yang doyan.

Warung angkringan
Cerek yang berisi air putih atau teh (Dok. ilustrasi)

Nasi kucing dibuat dengan porsi sedikit karena daya beli masyarakat di zaman dulu sangat rendah. Harga makanan saat itu tak bisa dibilang murah. Solusinya dibuatlah nasi kucing yang berisikan nasi putih sekepalan orang dewasa, ditambah sambal terasi dan secuil lauk. Disebut secuil karena memang benar-benar secuil, entah itu ikan bandeng, telur dadar, ikan teri, orek tempe atau daging ayam.

Jika kamu gemar makan di kafe-kafe kekinian dan mengunggah hasil foto makananmu di platform media sosial, penampilan nasi kucing mungkin tak akan pantas untuk mengisi feed-mu. Makanan di kafe jelas tertata rapi menggunakan kaidah food stylish, sementara nasi kucing berpenampilan mirip nasi yang disiapkan untuk makanan kucing piaraan.

Aku duduk di bangku kayu panjang, tepat di depan bungkusan nasi kuning yang tertumpuk rapi dengan aneka lauk pauk di sekelilingnya. 2 orang lainnya berusia kurang lebih setengah baya duduk tepat di sampingku.

Sebungkus nasi kucing ikan teri, 2 tusuk sate usus ayam dan 1 potong tempe goreng aku pesan. Tak lupa menyerahkannya kepada Lik Har untuk memanaskan lauk. Lik Har dengan sigap memanaskan lauk pesananku di atas sebuah anglo, tembikar berisikan arang kayu sebagai media pembakarnya. Sebagai penggelontor rasa seret, wedang teh tubruk gula batu menjadi andalanku.

Tak lama, pesananku datang. 2 tusuk sate usus ayam mengepulkan asap tipis tanda masih panas.

Warung angkringan, angkringan
Kamu dapat memesan laukmu untuk dibakar (Sumber: ilustrasi)

Setengah jam nyangkruk di angkringan, aku bercakap ngalor ngidul dengan sesama penikmat nasi kucing. Kadang disertai dengan tawa lepas. Ngakak. Tak seperti di restoran mahal, di sini tak ada aturan kamu harus mengikuti tata krama yang njelimet. Ukuran kesopananmu hanya dilihat dari tenggang rasa dan tepo seliro antar sesama pengunjung. Lik Har ikut larut dalam perbincangan.

“Lik, nggak takut ada saingan? Kan di seberang jalan juga ada warung angkringan lho. Ramai juga tuh,” tanyaku ke Lik Har.

“Oalah mas, ya nggak tho. Lha wong rejeki itu kan sudah diatur sama Gusti Allah kok. Yang jualan itu saya kenal, tetangga satu desa, beda kampung,” jawab Lik Har dengan santainya. Asap tipis mengepul dari rokok yang dihisapnya.

Jawaban itu membuatku terdiam.

“Kita sama-sama dari Klaten. Malah kita seneng, nanti kalau pas lebaran kan bisa barengan pulangnya ramai-ramai sama pedagang yang lainnya,” imbuhnya.

Sego kucing
Nasi kucing (Sumber:ilustrasi)

Obrolan makin ramai ditimpali dengan gurauan. Topik tentang pagebluk Corona menjadi bintang utama perbincangan kami. Momok wabah Corona memang telah meluluh lantakkan sendi-sendi usaha hampir di seluruh dunia. Efek domino dari wabah yang mendunia ini berimbas pada pemasukan warung angkringan Lik Har. Kejadian yang belum pernah dialami oleh semua orang ini seakan menghantarkan banyak orang menuju titik nadir.

“Sejak Corona ada pengunjung warung saya merosot, mas. Sebagian besar kan katanya pada kerja dari rumah. Ya mungkin mereka pada masak di rumah atau pesan makanan lewat ojek online. Lha wis piye nek memang begini kondisinya. Pasrah tapi ya tetap usaha. Yang penting dapur tetap ngebul,” Lik Har menambahkan.

Dari nada bicara Lik Har, aku menangkap seberkas sinar harapan. Harapan untuk terus mengupayakan kebaikan demi kebaikan lewat warung angkringannya. Aku mengangguk mengiyakan.

Sebungkus nasi kucing di depanku telah tandas. Teh tubruk yang berasa sepet menggelontor kerongkongan, menghilangkan seret dan rasa hausku.

“Lik Har, berapa aku harus bayar,” tanyaku sambil mengeluarkan dompet dari saku celana.

“14 ribu Rupiah, mas,” jawab Lik Har. Tak mahal namun cukup membuat perut kenyang.

Brosur sego kucing
Brosur nasi kucing (Sumber: ilustrasi)

Warung nasi kucing mulai ramai oleh pengunjung. Motor dan mobil silih berganti terparkir di depan warung. Kehadiran warung angkringan rupanya mampu merebut hati masyarakat dan menjadi simbol egaliter antar manusia. Kesederhanaan dan kehangatan warung angkringan tak bakal tergantikan oleh gerai-gerai makanan lain yang kekinian. Hal ini yang membuat pelanggan setianya selalu punya alasan untuk kembali ngangkring.

Aku berpamitan dan kembali melajukan motorku menuju ke rumah.

Tentang Lik Har, ia bukanlah siapa-siapa. Lik Har hanyalah pedagang warung angkringan sederhana. Namun satu kalimat yang diucapkannya dalam perbincangan tadi menancap dalam di otakku. Aku merasa tertempelak dan malu. Lik Har telah mengajarkanku tentang menyederhanakan pikiran. Mungkin itu suara alam yang menegurku. Entah. Matur nuwun, Lik.

Saat tulisan ini dibuat, penggalan kalimat itu masih menancap lekat di ingatanku.

Jakarta, 2020

Advertisement

7 Replies to “Perbincangan Di Warung Angkringan”

  1. Senang sekali rasanya membaca tulisan ini. Saya bahkan sampai senyum-senyum sendiri di depan layar, lalu diam dan merenungkan pesan yang tersemat dalam tulisan ini. Menarik, sangat menarik, Kak!

    Saya senang bagaimana tulisan ini disajikan. Mulai dari pengalaman pribadi, yang berlanjut pada pengalaman di luar diri, menyapa orang lain. Saya sangat senang dengan sosok Lik Har di sini. Rasanya sosok beliau adalah perwakilan dari jutaan masyarakat yang terkena efek domino pandemik ini.

    Liked by 2 people

    1. Terima kasih apresiasi nya, mbak Ayu.

      Sekedar berbagi kisah dari wong cilik dengan pemikiran nya yang sangat sederhana. Kadangkala kita, yang merasa manusia modern dengan pemikiran nya yang njelimet, abai dengan yang namanya kesederhanaan.

      Terima kasih, mbak

      Liked by 2 people

  2. “Brengsek”…ya itulah kata kesayangan di jalanan Ibu Kota. Apalagi di “planet lain” yang kini sedang berkembang menuyusul ibukota…..Menemukan orisinalitas kuliner negeri asal memang rasanya gimana gitu ya…..Oh, cat rice…..oh, wedang jahe geprek🙄

    Liked by 1 person

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: