“Hooaa… Hooaa…!!” teriak para penabuh gamelan bersahutan dengan irama musik.
Bunyi keriuhan gamelan terdengar bertalu-talu di seberang sana. Begitu menghentak keras, bertenaga dan rancak. 12 orang penari terlihat mengikuti irama yang dihasilkan dari seperangkat alat musik yang ditabuh bergantian bertempo cepat. Ditambah bunyi gemerincing yang dihasilkan oleh krincingan pada setiap kaki para penari membuat para penonton bersegera mengerumun, merangsek ke pinggir lapangan yang hanya dibatasi oleh tali plastik sederhana, menonton pertunjukan tari ini.
Aku tengah beristirahat sejenak melepas dahaga di warung es saat pementasan dimulai. Bergegas kembali menelusup diantara para penonton. Tentunya setelah membayar segelas es yang aku habiskan dengan terburu-buru. Aku memang sengaja menunggu pertunjukan kesenian yang satu ini.
Soreng, tarian yang dipentaskan saat itu adalah peninggalan nenek moyang yang hingga kini masih lestari. Kesenian rakyat ini berkembang dan digemari masyarakat yang tinggal di daerah antara lereng gunung Merbabu dan gunung Andong, Magelang. Kesenian tari Soreng biasanya ditarikan secara berkelompok, dengan jumlah penari berkisar 10 – 12 orang laki-laki.
“Dahulu tarian ini dikenal dengan nama Prajuritan. Tari Soreng memang merupakan adaptasi kisah Aryo Penangsang dan para prajuritnya.,” Pak Taryono memulai penjelasannya.
Pak Taryono adalah penasihat kesenian Soreng yang aku temui di Festival Kampung Gunung “Telomoyo Reborn”. Festival diadakan tanggal 30/11 – 2/12/2018 lalu, bertempat di dusun Dalangan, desa Pandean, kecamatan Ngablak, kabupaten Magelang.
Dalam setiap pementasan tari Soreng, Pak Taryono seringkali berperan sebagai Patih Ronggo Metahun, seorang patih yang mengikat perjanjian dengan Pangeran Sekar, putra Raden Patah, raja Demak pertama. Isi perjanjian tersebut adalah bahwa Patih Ronggo Metahun akan merawat dan membesarkan Aryo Penangsang, anak Pangeran Sekar yang pada akhirnya menjadi Adipati Jipang Panulan.
Gerakan tari Soreng sangat sederhana, rancak dan kompak. Seperangkat alat musik yang terdiri dari gabungan instrument tradisional dan modern dimainkan secara berbarengan, menjadikan perpaduan irama yang menyenangkan. Bunyi yang dihasilkan lebih variatif.
Alat musik truntung, bedug kecil dan juga 4 macam Bende yaitu bende pengangkat, bende penitir, bende peminjal dan bende pengepul, mewakili instrument perkusi tradisional. Jedur besar atau bass drum dan cymbal mewakili alat perkusi modern.
“Pukulan pada cymbal dimaksudkan untuk memperkuat gerakan Soreng,” tutur Pak Taryono melanjutkan.
Dari penuturan Pak Taryono kata Soreng berasal dari peleburan kata Sura dan Ing. Sura berarti berani, sementara Ing adalah sebuah pengertian yang merujuk pada sesuatu di belakang kata Sura. Dalam hubungannya dengan kesenian Soreng, kata di belakang Soreng merujuk pada Soreng Rono, Soreng Pati dan Soreng Rangkud.
“Soreng diambil dari nama komandan pasukan atau prajurit Aryo Penangsang. Soreng Rono artinya berani berkorban, Soreng Pati berarti berani mati. Sementara Soreng Rangkud artinya berani menawan prajurit dengan jumlah banyak,” Pak Taryono melanjutkan.
Bercerita tentang prajurit Aryo Penangsang yang sedang berlatih perang, tari Soreng terbagi dalam dua bagian atau kubu. Masing-masing kubu terdiri dari beberapa prajurit berkuda, prajurit bersenjata pedang, bersenjata tongkat, prajurit tangan kosong dan ada dua pekathik. Para prajurit akan saling bertarung satu lawan satu dari setiap kubu. Pekathik, sementara bertugas mengambil dan menuntun kuda untuk para prajurit penunggang kuda.
Latihan perang tanding yang tergambar dalam cerita tari Soreng ini juga menjadi ciri khas pasukan Aryo Penangsang.
Soreng, secara simbolis merujuk pada sosok pasukan perang yang pilih tanding serta pemberani. Kata takut apalagi menyerah tak ada dalam kamus pasukan ini. Garis besarnya, Tari Soreng adalah batalyon pilihan yang siap untuk berperang dalam laga tanding. Mungkin semacam KOPASSUS dalam pasukan TNI Angkatan Darat saat ini.
Jika diambil dari kisah yang melatar belakangi tari Soreng, jelas kesenian ini sejatinya berasal dari Demak, namun nyatanya kesenian ini lebih berkembang di daerah Magelang, tepatnya di lereng gunung Merbabu dan gunung Andong. Soreng yang mengangkat sepenggal kisah dari Babad Tanah Jawi merupakan manifestasi masyarakat Jawa yang berhasil merangkum dan menuangkannya dalam sebuah pertunjukan seni tari.
“Kesenian Soreng adalah sebuah warisan budaya Jawa yang berirama dan sarat makna. Semangat prajurit Aryo Penangsang yang tak kenal kata menyerah menjadi salah satu makna yang terkandung dalam setiap lenggak-lenggok penarinya,” tutup Pak Karyono dalam perbincangannya denganku.
Para penari Soreng masih terlihat menarikan gerakan-gerakan yang cepat, kompak dan harmonis. Sementara para penonton bergeming menyaksikan pertunjukan. Tampak asyik menikmati. Hingga akhirnya para penari selesai mementaskan Soreng dengan paripurna. Bunyi tetabuhan yang dimainkan dengan irama cepat bertalu dan berirama berangsur senyap, berganti dengan dengan riuh tepuk tangan yang menghiasi langit dusun Dalangan siang itu.
Bentuk apresiasi setinggi-tingginya atas kesenian Soreng.
Aku menemui Pak Taryono sekali lagi. Menjabat erat tangannya yang berkeriput, tanda tak lagi muda. Berterima kasih kepada Pak Taryono sekaligus berpamitan. Tetap sehat nggih, pak!
Peralatan kamera, lensa dan tak lupa buku catatan perjalanan segera aku kemasi. Buku yang selalu aku bawa dan menemani dalam setiap perjalananku. Berisikan banyak coretan outline kisah yang terkumpul, siap untuk dirangkai dan dirangkum dalam tulisan-tulisan selanjutnya.
Seni tari merupakan salah satu bentuk cabang seni yang harus kita lestarikan bersama. Tarian menjadi bentuk budaya yang bernilai dan mempunyai makna dalam hidup masyarakat. Tarian juga dapat menjadi ciri khas suatu daerah. Soreng, menjadi sebuah identitas seni di Jawa Tengah. Ia sudah selayaknya mendapat tempat dan perhatian, minimal oleh masyarakat pendukungnya. Lebih lanjut di kalangan yang lebih luas, sebangsa Indonesia.
Dusun Dalangan, desa Pandean, kecamatan Ngablak, kabupaten Magelang – Desember 2018
wah menarik banget kisahnya, terimakasih sudah berbagi 😀
LikeLiked by 1 person
Terima kasih apresiasinya. Salam.
LikeLike
Aryo penangsang ki pendekar pilih tanding asli Demak….Ono tarine ternyata ya mas….kamu mah oke, ahli bedah tari.
LikeLiked by 1 person
Iyes, oom. Tradisi bunga melati di ujung keris pengantin lelaki di Jawa itu juga diambil dari kisahnya Aryo Penangsang.
Bunga melati itu ibaratnya usus Aryo Penangsang yang terburai 😁
Tarian ini 2 tahun lalu juga dipentaskan di Festival 5 Gunung. Tahun lalu kayaknya nggak ada
LikeLike
Kenapa makna itu dibawa ke prosesi pernikahan ya Mas? Ngeri dengernya
LikeLiked by 1 person
Keris merupakan simbol kejantanan. Melambangkan seorang pria yang siap berperang menjaga harkat dan martabatnya. Simbol kejantanan ini diperkuat oleh untaian melati. Untaian melati mengingatkan mempelai pria pada Arya Penangsang yang memperjuangkan kehormatannya. Arya Penangsang tidak mundur saat terluka parah, namun tetap berperang dengan gagah berani. Simbolisme ini diakhiri dengan pengingat. Seorang pria tetap harus berkepala dingin dalam berjuang. Jika salah langkah, ia akan “terbunuh” oleh kejantanan dan kehormatannya seperti Arya Penangsang.
Baca dimari, Oom:
https://mojok.co/terminal/ronce-melati-di-busana-pengantin-pria-jawa-adalah-simbol-usus-terurai-milik-pemberontak/
LikeLike
Josss
LikeLiked by 1 person
Dirimu kalau nanti married bawa gobang wae, Oom… Keris kekecilan hahahaha
LikeLike
Weetttzz….ciaaattttttt hazedig…..
LikeLiked by 1 person
Nice blog
LikeLiked by 1 person
Thank you for your appreciation.
LikeLike
Unik sih mas Yo. Ini cerita dari Demak tapi lestari di Magelang. Dan makam beliau ada di Blora 😁
LikeLiked by 1 person
Iya, mas. Saya pernah berkunjung ke makam beliau di Blora itu dahulu… Konon katanya ada yang pernah membawa tanah makam beliau malah ketiban sial. Entah kebenarannya 🙂
LikeLike
Aku sebener e masih bingung mas Yo. Karna waktu itu aku pernah ziarah ke makam Kanjeng Sunan Kalijaga di Kadilangu, di situ juga ada makam Raden Arya Penangsang. Nah yang bener makamnya yang mana ya? Hehehe. Sama kayak makam Syekh Siti Jenar yang ada di Jepara, tp ada jg yg meyakin ada di Jawa Barat.
LikeLiked by 1 person
Naah saya malah baru tahu ini kalau di Kadilangu juga ada makam Aryo Penangsang, Mas.
Waktu dulu itu ziarahnya ke Blora jee 😀
LikeLike