Watu Goyang, Swastamita Di Tanah Jogja

“Sekat pagi dan petang yang singgah sejenak itu bernama senja” – @burgerk3ju

Aplikasi peta digital di telepon pintarku menunjukkan rute dan jarak yang cukup jauh, 30 Km. Sementara waktu tempuhnya menampilkan kurang lebih 1 jam perjalanan. Dengan jari telunjuk aku menekan tombol virtual START untuk memulai perjalanan memburu senja. Sore ini, aku memilih Watu Goyang menjadi tempatku bertafakur menikmati saat matahari beringsut pergi.

Menyusuri jalanan landai dalam kota hingga menanjak di luar kota Gudeg saat akhir pekan memang menyenangkan, walaupun ramai namun tak semacet jalanan di ibukota yang semakin ngehek. Tak terasa motor yang kami tumpangi melindas jalanan yang menanjak menuju arah Imogiri, makam para raja Jogja.

Udara mulai terasa agak dingin karena kami memasuki daerah perbukitan sebelah Timur kota Jogja. Lokasi Watu Goyang berada sebuah di Pedukuhan Cempluk yang letaknya di atas perbukitan Semar. Konon katanya, dahulu bukit ini bentuknya mirip tokoh pewayangan Semar saat belum tertutupi pepohonan yang rimbun.

Senja memang pantas untuk dinikmati, Watu Goyang dapat jadi pilihan tempat untuk menikmatinya.
Bentang alam Jogja dari puncak Watu Gunung. (Dok. pribadi)

Watu Goyang adalah sebuah spot wisata kekinian yang terletak di atas sebuah bukit kecil. Tempat ini digarap menjadi tempat wisata oleh masyarakat pedukuhan setempat dan mulai dibuka untuk umum sekitar 3 tahun lalu. Dari tempat parkir, perjalanan selanjutnya harus kamu tempuh dengan menaiki anak tangga batu.

Baca juga: Watugupit, Senja Yang Dirindukan

Tangga batu ini disusun oleh pengelola untuk mencapai puncak bukit di mana Watu Goyang berada. Nggak jauh kok, cuma sepelemparan batu. Santai saja.

Sesampainya di atas bukit aku mendapati 2 batu besar raksasa berwarna hitam yang saling bertumpuk. Rupanya kedua batu bertumpuk itulah yang bernama Watu Goyang. Batu raksasa yang bertumpuk itu akan bergoyang saat tanganku menyentuh ataupun mendorongnya.

Usut punya usut, batu bertumpuk itu sudah berada di atas bukit sejak ratusan tahun lalu karena peristiwa alami.

Petilasan Sultan Agung di Watu Goyang

Watu Goyang dipercaya sebagai petilasan Sultan Agung, seorang Sultan Mataram. Kisahnya bermula saat Sultan Agung mencari tanah yang berbau wangi (Siti Arum), dimana tanah yang berbau wangi tersebut nantinya akan menjadi tempat peristirahatan terakhirnya dan juga kerabat keluarga Kesultanan Mataram.

Dalam pencarian tersebut, Sultan Agung mendapat wangsit bahwa nantinya akan ada seekor burung merak yang bakal menjadi penunjuk arah tempat yang dicari. Benar terjadi, ia mengikuti burung merak yang terbang ke arah Barat dan hinggap pada sebuah tumpukan batu yang berada di atas bukit.

Sesaat setelah Sultan Agung mendapati burung itu bertengger di atas sebuah batu, ia kembali terbang. Saat burung merak itu terbang, batu pada bagian atas yang bertumpuk itu bergoyang. Semenjak itulah batu tersebut dinamakan Watu (batu) Goyang.

Pemandangan senja dari Watu Goyang
Senja dari puncak Watu Goyang. (Dok. pribadi)

Burung merak itu kemudian terbang ke arah Barat dan berhenti pada sebuah bukit. Bukit inilah yang saat ini disebut Bukit Merak, sebuah bagian dari pegunungan Seribu, sebelah selatan kota Jogja. Di bukit Merak, pencarian Sultan Agung akan tanah yang berbau wangi tersebut berakhir.

Ia kemudian membangun pasarean yang dimulai dari tahun 1632 dan sekarang menjadi pemakaman raja-raja Jogja. Tempat ini lebih dikenal dengan nama Pasarean Imogiri atau Pajimatan Girirejo Imogiri.

Baca juga: Candi Ijo, Senja Yang Berkelas

Kisah ini belum tentu dapat dibuktikan keabsahannya karena sebatas cerita rakyat atau legenda yang beredar dan mengalir dalam jejak kehidupan masyarakat di seputar Watu Goyang.

Senja yang memesona di Watu Goyang.
Swastamita, senja yang indah. (Dok. pribadi)

Senja di Watu Goyang

Dari posisinya yang berada di area ketinggian, Watu Goyang memberikan panorama bentang alam yang menyejukkan mata. Letaknya yang berada di lereng pada bagian barat membuat kita dapat memandang luas tanpa penghalang. Dataran rendah kota Yogyakarta hingga daerah Kabupaten Bantul akan kelihatan dari Watu Goyang.

Di bawah kaki langit di ujung Barat, pegunungan Menoreh bagaikan raksasa yang tertidur. Jika kalian beruntung, saat cuaca cerah akan terlihat deretan pantai-pantai Selatan yang membentang hingga ke arah Barat.

“Senja sebentar lagi akan kelihatan,” ujarku sambil menyiapkan perangkat kamera yang aku bawa.

Baca juga: Sambisari, Kisah Peradaban Yang Tersembunyi

Kamu, wanita bermata sipit dan berambut sebahu, masih menikmati bulatan berwarna oranye di ujung barat yang sedikit tertutup awan. Terdiam dan membiarkan rambutmu berkibar pelan tertiup angin sore.

Senja Watu Goyang
Menikmati senja di Watu Goyang (Dok. pribadi)

Pada sebongkah batu yang sedikit landai, kami duduk berdampingan. Menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan alam. Kami seumpama batu kerikil di hadapan pemandangan alam yang indah ciptaanNya. Terdiam. Bertafakur.

Hangatnya sinar matahari perlahan pergi berganti hembusan semilir angin yang membawa hawa dingin. Semesta telah berganti warna. Warna jingga di ujung langit menghiasi langit biru yang mulai redup. Sekat antara pagi dan petang itu membawa keheningan, menghasilkan utas senyum di wajah kami berdua. Meredam segudang amarah yang seminggu lalu kami pikul dalam hiruk pikuk keseharian.

Swastamita, senja yang indah. Di tanah Jogja.

Watu Goyang tak hanya memberikan senja yang indah nan syahdu, ia juga mempersembahkan keindahan gemerlap lampu dataran rendah yang terlihat memesona. Kota Jogja bagai dikerubuti jutaan kunang-kunang, saat ribuan lampu kota mulai berkelap-kelip di ujung sana.

Selepas senja Watu Goyang
Kemerlip lampu kota Joga dilihat dari Watu Goyang; memesona. (Dok. pribadi)

Sudah lewat bakda Maghrib, saatnya kami kembali pulang. Senyum manis kami untuk swastamita yang tersaji hari ini.

Yogyakarta, Juli 2019

7 Replies to “Watu Goyang, Swastamita Di Tanah Jogja”

  1. “Pada sebongkah batu yang sedikit landai, kami duduk berdampingan. Menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan alam. Kami seumpama batu kerikil di hadapan pemandangan alam yang indah ciptaanNya. Terdiam. Bertafakur”
    Giliran ngene aku ra diajak…….Syedih aku.
    Sampeyan berdua kerikil…….enake aku apane yo?…..hmmmhhhh

    Liked by 1 person

Leave a comment