“Pada akhirnya, setiap orang adalah perjalanan bagi manusia lainnya. Dan setiap perjalanan terbuat dari 2 hal, pertemuan dan perpisahan.” – Sungging Raga
KEMBALI PULANG
“Gimana nih, lanjut perjalanan atau balik kanan?” tanya Bayu kepada kami bertiga.
Puncak gunung Prau yang sesungguhnya tertutup kabut yang tebal di kejauhan.
“Kalau aku sih lanjut, bro. Tapi Aris dan pak Didik sepertinya nggak. Mereka nggak fit,” jawabku sambil melihat ke Aris dan pak Didik yang terlihat kepayahan.
Rute perjalanan kami seharusnya berlanjut dengan tracking sepanjang 4 km melintasi bukit dan menuruni punggung gunung Prau melewati jalur yang lain. Melihat kondisi dari kedua teman kami, Aris dan Pak Didik, menjadi sesuatu yang tidak mungkin jika kami paksakan.
Kami bersepakat untuk turun melewati jalur yang kami naiki semalam.

Jalur itu ternyata memang menantang. Kami saling meledek dan bersendau gurau saat mengetahui bahwa tanjakan gunung Prau yang kami lewati cukup terjal. Ternyata dengkul kami masih cukup kuat melibas tanjakan, walaupun dengan susah payah hehehe.
Saat kami tiba di perkebunan kentang, terlihat beberapa bapak yang tengah duduk sembari mengobrol. Asap rokok mengebul dengan bau tembakau yang khas menguar memenuhi udara pagi. Kami sempatkan berbincang sejenak dengan mereka sembari melepas lelah.
Baca juga: Tentang Erotisme Dan Keagungan Candi Sukuh
Kami beristirahat di Penginapan “Bu Djono” untuk makan pagi. Disana kami bertemu dengan beberapa turis asing berkebangsaan Jerman yang baru kembali dari puncak Sikunir. Mereka mendapati sunrise yang berkabut, persis seperti yang kami alami juga pagi ini.
Kami berbincang dan bertukar cerita pangalaman traveling masing-masing.
Kami melanjutkan perjalanan ke Telaga Warna, kompleks candi dan kawah Sikidang setelah cukup beristirahat. Aris dan Pak Didik memutuskan untuk menaiki bukit guna melihat Telaga Warna dari bagian atas. Aku dan Bayu cukup menikmati danau dari bawah.

Saat tengah hari, kami memutuskan untuk kembali ke rumah Bayu di Wonosobo. Pak Didik kami antar sekalian ke rumahnya. Istirahat menjadi agenda kami selanjutnya. Menjelang sore kami bertiga melanjutkan perjalanan ke Semarang dengan mobil travel.
Saat melewati gunung Sindoro dan gunung Sumbing yang berdiri megah, secara bersamaan kami menganggukan kepala. Iya, kedua gunung ini menantang juga untuk ditaklukkan. Entah kapan rencana itu dapat kami wujudkan. Yang penting kami sudah mengunggahnya dalam beberapa larik permohonan doa.
Perjalanan bukanlah melulu tentang tujuan, namun tentang apa yang terjadi dan dengan siapa kamu melakukan perjalanan itu.
Gunung Prau, Dieng, Wonosobo – Februari 2012
Note:
Special thanks buat Oom Bayu. Matur nuwun buat hospitality-nya selama di Wonosobo; teh hangat dan tempe kemulnya akan selalu dikenang! Jos markojos, buddy!
Oom Aris, terima kasih juga ya sudah nemenin nge-gembel walaupun semi borjuis. Jangan kapok jalan sama roadis macam saya.

mas kok ga ono misuhe seh wkwkwkw
eh nek mendaki ngono ngising e pie deh
LikeLiked by 1 person
Hush… Kalau naik gunung pantang misuh daripada ora bisa mulih, oom 😂😂
Gali lubang, pup, tutup lubang. Trik nya kucing patut dijadiin panutan hahahaha
LikeLike
Sudah lama ngak jalan-jalan woaaaa
Membaca tulisan sungguh membuat kangen!
LikeLiked by 1 person
Hahahaha… Misi saya berhasil dong, mbak 😂
LikeLiked by 1 person
Berhasil dengan manis! wkwkwk
LikeLiked by 1 person
Ayooo, Om ke timur, kita naik gunung bareng 😀
LikeLiked by 1 person
Aiiishhh… Sadap! Tawaran yang susah ditolak iki, Oom
LikeLike