Magelang dan Senandung Cinta Yang Pernah Hilang (1)

“Kita tengah berjuang dan menuju titik temu dengan cara dan jalan ceritanya masing-masing”

“Bu, seandainya aku diterima kerja di luar negeri ibu bakal kasih izin aku berangkat nggak?” aku bertanya kepada ibuku. Malam itu sengaja aku menelepon untuk menanyakan kabar sekaligus memohon izin darinya.

Ia terdiam sebentar. Pelan ia menghela napasnya, terdengar lewat lubang speaker di gawaiku.

“Kalau itu memang jalanmu, berangkatlah. Namun jika tidak, Tuhan pasti akan sediakan gantinya dengan pekerjaan di tempat yang lain,” begitu jawabnya dengan nada seperti biasanya, lembut namun jelas.

Aku memandang undangan psikotest yang dikirim lewat surat elektronik di laptopku. Memastikan bahwa 3 hari sejak undangan tersebut dikirimkan kepadaku, serangkaian test termasuk wawancara dengan board of management harus aku jalani. Sebuah tawaran untuk posisi kepala cabang dari sebuah perusahaan konsultan aplikasi perhotelan ternama. Rencananya aku akan ditempatkan di Republik Maladewa, sebuah negara kepulauan yang terdiri dari kumpulan atol di Samudera Hindia. Terletak sekitar 700 Km barat daya Sri Lanka.

Salah satu resort di Maldives (Foto dari sini)

Aku bertukar cerita dengan ibu. Obrolan bersambung hingga pertanyaan kapan aku akan berangkat jika diterima bergabung di perusahaan tersebut. Ia berpesan supaya aku menyempatkan diri pulang ke Semarang untuk berkunjung ke makam bapak, hal yang biasa aku lakukan tiap kali aku berpindah pekerjaan atau berencana untuk berpergian (traveling) dalam jangka waktu yang lama.

Aku sangat berharap dapat diterima untuk pekerjaan ini, ya paling tidak daftar referensi pekerjaan di CV-ku akan bertambah panjang dan juga sebagai batu loncatan selanjutnya untuk bekerja di tempat lain di luar negeri. Entah ke Eropa atau Amerika. Segudang catatan dan rencana-rencana lanjutan sudah tercatat dengan baik di memori otakku.

Bayangan gerombolan ikan-ikan kecil yang berenang di perairan dangkal, berkerumun dekat patok-patok kayu dermaga berkeliaran dibenakku. Lengkap dengan deretan cottages mewah dan lansekap lautan berwarna gradasi hijau dan biru tosca.  

2 minggu berselang, pertengahan bulan Oktober 2018, sepucuk surat elektronik aku terima. Hasil psikotest dan wawancara dalam bentuk selembar pemberitahuan di atas kertas digital berlogo perusahaan konsultan yang dikirimkan oleh kepala personalia.

Kembali aku menelepon ibu.

Piye hasil test wawancaranya?” ia menanyakanku.

Dengan malas aku menjawabnya. Hasil psikotest dan wawancara menunjukkan bahwa aku gagal dan tidak dapat bergabung di perusahaan itu. Ada rasa marah, kecewa, sedih hingga memaksa aku mengutuki diri. Ibuku sangat tahu perasaanku.

“Mungkin itu bukan jalanmu, Ngger. Pasti ada jalan lainnya,” ia berusaha menenangkanku.

Nggih, bu. 2 hari lalu aku dapat surat dari personalia sebuah hotel dan aku diterima kerja disana. Masuk di jajaran hotel management,” aku menjawabnya.

“Itu jalanmu, Ngger. Prosesmu memang belum selesai. Kapan kamu mulai kerja di sana?” tanyanya lebih lanjut.

Candi Borobudur (Foto dari sini)

Entah doa apa yang diunggah ibuku ke langit hingga ia memberi penegasan bahwa tawaran untuk bekerja di hotel adalah yang terbaik untuk diriku saat itu. Barangkali ia mendapat bisikan dari Sang Kuasa, who knows? Seolah ibu tahu kalau anaknya bakal minggat dari perkara yang sedang dihadapinya jika ia berada jauh darinya. Seolah ibu tahu kalau anaknya bakal dugem tiap malam di resort-resort Maladewa yang dipenuhi bule dari antero bumi. Seolah ibu tahu kalau anaknya bakal minum bir hingga mabuk dan hidup dalam pergaulan seks bebas.

Aku percaya jika orang tua kita adalah wakil dari Sang Maha Kuasa di muka bumi ini. Saat itu aku mengindahkan dan lebih mendengarnya berbicara.

“2 minggu lagi. Awal bulan November. Sebelumnya, aku mau traveling ke Ternate dan Manado sebelum mulai kerja, bu,” jawabku.

Selintas terbayang dalam benak, sebuah kota kecil yang akan menjadi tujuanku. Magelang.

Kota tertua kedua di negeri ini bakalan menjadi tempatku menghasilkan karya dan kembali bertemu dengan dunia perhotelan. Dunia yang pernah membesarkan dan juga sempat menjerembabkan hidupku.

Sebelumnya, aku sempat bertualang menjelajah sebagian dari daerah Magelang di awal tahun 2018. Saat itu aku bertugas sebagai tim liputan majalah salah satu maskapai negeri ini. Seperti déjà vu rasanya. 

Tanpa ragu aku menanda tangani surat pernyataan mulai bekerja dan segera mengirimnya lewat surat elektronik ke personalia hotel. Terlebih aku juga memastikan bahwa segala fasilitas penunjang pekerjaan akan dipenuhi selama perjanjian kontrak.

Pegunungan Menoreh (Dok. pribadi)

Aku memandangi sederet tulisan di buku pribadiku. Coretan yang berisi rencana-rencana masa depan andai aku jadi pergi ke Maladewa. Menutupnya rapat dan mengubur impian untuk sementara bekerja di luar negeri. Mengucap salam perpisahan dengan air lautan Samudera Hindia, teman baruku yang bahkan belum pernah sekalipun bersua.

Magelang, kota yang berada di tengah-tengahnya pulau Jawa itu akan menjadi tempatku bekerja, bermain dan mengejar cerita. Kembali akan berakrab-akrab dengan gunung dan hutan. Secara kota ini dikelilingi oleh 5 gunung, Merapi – Merbabu – Sindoro – Sumbing – Telomoyo – Menoreh.

Gunung dan hutan bagaikan seorang guru untukku. Mereka berbicara tentang rasa dan juga kekuatan. Tempatku bertafakur dan mencari jawaban atas pertanyaan diri. Kesunyian mereka meniadakan keangkuhan dan keserakahan.

Seakan tak ingin berpisah, gunung dan hutan ternyata bersepakat dengan unggahan doa ibuku, melebur dalam mangkuk ukupan, menembus sekat-sekat langit membuat Sang Kuasa berkenan menengok, membaca dan memahami permintaan mereka. Hingga akhirnya doa itu terjelma.

Aku termenung dan membungkuk hormat. Mengikuti kalimat-kalimatMU yang terucap lewat doa ibuku.

Magelang, aku datang.

Bersambung ke bagian 2.

Advertisement

4 Replies to “Magelang dan Senandung Cinta Yang Pernah Hilang (1)”

  1. Doa Ibu, entah apa pun itu pasti yang terbaik.
    Jadi teringat kisah adikku. Dia berniat masuk TNI. Mama sebenarnya berat tetapi tidak ingin menjadi penghalang. Segalanya tetap difasilitasi sesuai kemampuan. Adikku sudah yakin masuk, akan tetapi menjelang detik akhir ternyata ada nama yg menimpa nama dia (dengan segala dukungan yg lebih kuat pastinya.)
    Dia pun gagal, akhirnya kuliah biasa.
    Usai kuliah, dia bekerja dan Mama keceplosan kalau dia berdoa kepada Tuhan, bahwa sebenarnya kurang setuju dan tetap menyerahkan semua kepada Tuhan, apa pun itu yg terbaik. Mendengar hal tersebut, adik sempat agak sedikit marah, karena seolah doa tersebutlah penghalangnya.

    Eh, mohon maaf kalau jadi menulis panjang begini. Hanya terkesan dengan Ibunda Bapak saja setelah membaca cerita batalnya ke Maldives

    Liked by 1 person

    1. Nggak apa-apa nulis panjang kok, mbak. Terima kasih 🙂

      Orang tua pasti inginnya semua yang terbaik buat anak-anaknya; dan juga doanya, pasti yang terbaik.

      Terkadang kita nggak mengerti, namun seiring waktu kita akan paham dan tahu maknanya.

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: