Tuhan dan Secangkir Vietnam Drip

Cangkir kopiku tersisa setengah gelas ketika sebuah pesan masuk ke gawai pintarku. Aku menyesap seteguk Vietnam Drip sembari tangan kiriku menggapai gawai yang tergeletak di meja. Brengsek, nikmat nian rasa ini kopi. Jempol kiriku dengan cekatan melukis sebuah alur mengikuti titik-titik yang ada di layar gawai; terlihat layar gawaiku menampilkan sebuah pesan baru bertengger disana. Segera aku buka.

“Bro, posisi dimana sekarang?” begitu bunyi pesan dari kawan dekatku itu.

“Kafe Ujung Jalan”. Jariku dengan singkat mengetik jawaban.

“Gue ke situ ya. Pasti elo butuh teman nongkrong”, balasnya.

“Hmm, Okay”. Kujawab pesan itu dengan singkat.

Hari itu aku memang sedang malas. Malas tingkat maksimal. Malas berkomunikasi, malas bertegur sapa, malas memberi jawaban apalagi memulai percakapan. Buatku, hari itu adalah hari tersial. Nggak banyak yang harus dinikmati hari itu, apalagi disyukuri. Bah, nehi!

Tak berapa lama, aku melihat sebuah motor dengan suara knalpot yang sedikit keras merapat di tempat parkir. Aku dapat melihat sekilas kawan dekatku dari balik kaca jendela kafe yang sudah lusuh. Sepertinya sudah beberapa hari ini tak dibersihkan.

Pintu dibuka dengan suara “krincing” terdengar hingga aku dan mas Bubu – barista di kafe itu sontak menengok. Entah ide siapa sih yang memasang krincingan sapi di atas pintu itu. Kadang bikin kaget ketika ada tamu kafe yang masuk, ide brengsek memang. Mas Bubu (nama panjangnya sih Bujana, entah kenapa dia suka banget ketika aku panggil dia Bubu) menyambut kawan dekatku dengan menyalami dan tersenyum.

THOR

Paps Je, begitu nama panggilan temanku. Ia datang ke kafe dengan atribut kesayangannya. Celana jeans yang robek di dengkul kirinya, kaos putih bergambar “THOR” lengkap dengan palu Mjolnir-nya (anjiir norak banget sih) dan jaket kulit warna coklat kesayangan bertuliskan “Your Best Friend” yang sudah mulai bulukan tetapi tetap keren itu. Menurut sejarahnya, jaket itu adalah hadiah dari Babenya sepulang entah dari mana aku lupa. Rambutnya yang panjang ikal sebahu kali ini terkuncir rapi. Tumben.

Dipeluknya aku dengan hangat. Jujur entah kenapa aku selalu suka nongkrong bareng Paps Je. Ia adalah sosok yang hangat, walaupun kami sering berselisih paham dalam beberapa hal. But honestly, he’s such a great person.

“Mas Bubu, aku pesan Vietnam Drip seperti yang Jo pesan. Cuma origin-nya minta Ijen ya, jangan Bali Kintamani. Terlalu asam buat lambung gue,” sedikit berteriak Paps Je ke Mas Bubu dengan pesanannya. Dia memang biasa melakukan itu, secara kami adalah pelanggan setia kafe Ujung Jalan.

Alunan datar lagu bernuansa folk diputar memenuhi rongga kafe malam itu. Cocok dengan hujan yang tiba-tiba datang sedikit lebat mengguyur jalanan basah di depan kedai. Percik air hujan terlihat memenuhi jendela kafe dengan seketika. Sementara lampu penanda kafe terlihat remang. Sederet neon itu tampak mati hidup, mungkin sudah mulai usang dan konslet. Dasar Mas Bubu, terlalu pelit urusan maintenance kafe. Begitu pikiran kesalku terlintas begitu saja. Entah kenapa aku begitu singit hari ini. Kesal.

Paps Je tampak mengaduk Vietnam Drip-nya yang baru saja datang. Dibauinya cangkir kopi itu di depan hidungnya. Mengendus, persis seperti yang biasa aku lakukan. Kami memang sama-sama suka minuman ini. Entah kenapa. Disesapnya sedikit demi membasahi kerongkongannya, dan sambil tersenyum lebar sumringah dia merasa puas. Racikan kopi Mas Bubu memang top. Kami bersepakat. Paps Je segera membuka percakapan denganku yang lusuh. Seperti biasa ia mencoba memecah suasana dengan jokes-jokes garingnya. Aaah basi, pikirku. Tapi ia tak menyerah. Hingga akhirnya…

Vietnam Drip1
Vietnam Drip

“Paps, aku marah sama dirimu”, kataku dengan acuh dan lirih.

Me? Why with me? Salahku apa?”, tanyanya dengan alis berkerut ke atas. Rambutnya dibiarkan tergerai. Tali kuncirnya sekarang dilepas.

Sial, ini orang memang kayak Chris Hemsworth. Hanya saja “THOR” wanna be ini sedikit lebih tinggi. Tangannya sama-sama kekar dengan otot sedikit menyembul di permukaan lengannya.

Seketika obrolan kami menjadi satu arah. Aku lebih banyak bicara. Nyolot tepatnya. Aku tumpahkan segala kemarahanku ke Paps Je. Tak kuberi kesempatan sedikitpun untuk dia menyela. Aku benar-benar marah. Hingga akhirnya kebisuan cukup lama yang menjadi wasit malam itu. Aku tertunduk, masih dengan kemarahan yang belum reda.

Paps Je dengan sabar mendengarkan ocehan kemarahanku yang pecah malam itu. Ia mengangguk-anggukkan kepala dan kadang tampak menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Terkadang ia mengatupkan kedua telapak tangannya dan mendekatkan ke depan mulutnya. Matanya kadang terpejam. Kopi pesanannya dibiarkan menjadi dingin. Kadangkala ia mengubah posisi duduknya dengan menyilangkan kaki ataupun satu kaki diangkat ke atas sofa.

Life isn’t fair but it’s still good. It’s okay to get angry with God

Ketika akhirnya aku duduk terpaku nggak tahu lagi apa yang harus aku katakan, ia mendekat dan berbicara dengan nada seperti seorang bapak menasihati anak kecilnya. Ia mengatakan sesuatu di telingaku. Sebuah kalimat. Hanya aku yang tahu dan itu meruntuhkan semua keegoisanku. Aku terdiam seribu bahasa. Paps Je terlihat tersenyum. Bukan sebuah senyum kemenangan, tetapi senyum kelembutan. Aku belum pernah melihatnya dengan senyum yang melegakan seperti itu.

Aku tak sungkan memeluknya. Ya, kami berkawan dekat. Aku memeluknya bukan karena kami homosexual. Tidak. Tetapi Paps Je sudah seperti sahabat. Ia selalu ada kala aku dalam keterpurukan. Ia pun hadir ketika aku sukses. Ia juga seperti bapakku yang hangat memeluk dan kocak ketika mencoba menghibur dengan jokes garingnya itu. Dia sosok yang lembut.

Malam semakin kelam sementara hujan berganti gerimis kecil. Perbicangan malam itu menjadi hangat ketika Mas Bubu memberikan kami sepiring kue pukis yang masih hangat. Aaah, sepanjang hari sial ini ditutup dengan kehangatan yang sempurna. Bertemu dengan Paps Je, secangkir Vietnam Drip dan kue pukis Mas Bubu. Trisula maut sukses mengusir kepenatan.

ITS OK

Paps Je segera menghidupkan mesin motornya. Jaket coklat kulit yang dipakainya terlihat menyala di bagian punggung. Tulisan “Your Best Friend” berbahan glow in the dark itu menyala ketika terkena lampu kafe. Aku melihat Paps Je melambaikan tangan kepadaku lewat kaca spion motorku, dan aku segera membalasnya.

Chat with me anything, Bro”, serunya menembus keheningan malam.

I will, Paps”, jawabku lirih.

Thanks Paps…

 

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: