Sudah Pernah Makan Sate Kere?

Kota Surakarta atau Solo menyimpan banyak ragam budaya dan wisata yang dapat ditemukan ketika kita berkunjung ke kota ini. Termasuk salah satunya adalah wisata kuliner. Seperti kota-kota lainnya di Jawa Tengah, olahan kuliner disini memang cenderung berasa manis. Sedikit cerita sejarah tentang rasa manis yang mendominasi hampir semua masakan di Jawa (Jawa Tengah khususnya) ternyata ini dipengaruhi oleh sejarah masa lalu.

Dalam buku berjudul “Semerbak Bunga di Bandung Raya” karya Haryoto Kunto terbitan tahun 1986 diulas sedikit tentang mengapa rasa manis begitu mendominasi sebagian besar olahan masakan asli Jawa. Diceritakan, satu tahun setelah terjadi perang Diponegoro pada 1931, Gubernur Jenderal Van der Bosch dililit masalah keuangan yang cukup pelik. Persediaan dana mereka menipis.

Kemudian dirinya menerapkan sistem tanam paksa, dimana wilayah Jawa Barat diwajibkan untuk menanam kopi, sementara Jawa tengah diwajibkan untuk menanam tebu. Selama 9 tahun, 70% wilayah pertanian diubah menjadi ladang tebu.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Penampilannya menggoda banget lho!

Hal tersebut menyebabkan bencana kelaparan di wilayah Jawa tengah. Karena hanya tersedia tanaman tebu, akhirnya masyarakat terbiasa mengkonsumsi tebu untuk bertahan hidup. Semua olahan masakanpun akhirnya menggunakan air tebu, sehingga masyarakat di Jawa Tengah akrab dengan gula. Hal ini bertahan hingga zaman modern.

Baca juga: Mie Ongklok, Rasanya Rame!

Hal inilah yang menjadikan alasan mengapa masakan di Jawa Tengah cenderung manis. Tapi lebih manis penulisnya sih… *blethaaak

Balik lagi ke kuliner di Solo ya…

Sate Kere “Yu Rebi”

Kuliner sate sudah terkenal di seantero nusantara. Banyak olahan sate yang seringkali kita temui adalah berbahan dasar daging ayam, kambing ataupun sapi. Tetapi berbeda dengan sate kere “Yu Rebi” di Solo ini. Berbahan dasar gembus atau ampas tahu menjadikan kuliner sate ini patut untuk dicicipi. Warung sate ini tidak hanya menyajikan sate tempe gembus saja, tetapi sate dari olahan daging sapi seperti hati, babat, iso, kikil, ginjal bahkan sop buntut hingga gado-gado dapat menjadi pilihan lain untuk dinikmati.

Kondisi sulit di masa kolonial sebelum kemerdekaan membuat masyarakat menjadi tak kehabisan akal dalam menciptakan makanan. Sate Kere sendiri dahulu merupakan kreativitas warga Solo dalam mengolah limbah makanan menjadi makanan lezat yang hingga kini digemari banyak orang dan menjadi kuliner khas daerah.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Sate Kere

“Awalnya saya menjajakan sate ini secara keliling di Solo sejak tahun 1965, hingga akhirnya menetap mulai sekitar tahun 1980an. Waktu itu saya jualan sate tetapi dagingnya kecil-kecil seperti lalat, makanya pembeli menyebutnya sate kere. Kere dalam bahasa Indonesia artinya adalah miskin. Sebutan “Sate Kere” ini kemudian saya jadikan nama warung sate saya, mas,” begitu ungkap Yu Rebi, pemilik warung sate.

Baca juga: Tendangan Katupat Kandangan

Bumbu sate di warung inipun sengaja dipilih dari bahan pilihan demi mempertahankan cita rasa. Bumbu sambal kacang yang diolah sendiri, serta campuran gula yang didatangkan khusus dari Brebes menjadikan bumbu sate ini menjadi spesial. Warung sate kere “Yu Rebi” buka mulai pukul 10 pagi hingga 6 sore.

“Warung sate saya ramai biasanya di hari libur atau Hari Raya Lebaran, seringkali para pembeli  sampai menggelar tikar di trotoar karena tidak mendapatkan tempat duduk. Alhamdullilah, sekarang sudah ada 3 cabang warung sate kere saya. Salah satu pelanggan saya adalah Pak Presiden Jokowi.” Yu Rebi menutup pembicaraan.

 

Sate Kere “Yu Rebi” / Sate Jerohan Sapi “Yu Rebi”
Jl. Kebangkitan Nasional Kios 1-2
Sriwedari, Laweyan – Solo

This slideshow requires JavaScript.

Advertisement

One Reply to “Sudah Pernah Makan Sate Kere?”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: