Kadangkala aku sering bertanya kepada diriku sendiri sebelum memulai suatu perjalanan. Pelajaran apa yang akan aku dapatkan kali ini? Sebuah pertanyaan yang kadang aku sendiri tak pernah tahu jawabnya. Ketika kembali dari perjalanan dan mengingat kembali rentetan peristiwa yang menghiasi, akhirnya aku mengerti pelajaran apa yang aku dapatkan. Perjalanan kali ini terencana untuk kembali memanggul beban dengan ribuan langkah kaki yang mengikutinya. Menguatkan mental, semangat serta memupuk tekad untuk mewujudkan mimpi menuju ketinggian. Sebuah ritual suci yang selalu aku jalankan ketika jiwa ini bosan dengan kepenatan.
Mengatur Perjalanan
Malam itu aku habiskan dengan mengemas beberapa potong kaos, satu baju lengan panjang berbahan flannel dan juga hoody sweater. Perlengkapan obat-obatan pribadi beserta peralatan mandi aku packing dengan rapi supaya tidak memakan tempat dalam keril. Mataku sulit terpejam barang sekejap, mungkin gara-gara 2 gelas kopi yang aku minum sembari menyelesaikan tulisanku tadi sore. Sial.
Kami serombongan janjian di terminal bis Bekasi untuk menuju ke kota berjuluk Swiss van Java, Garut. Aku memilih tidur pulas di dalam bis demi membalaskan dendam semalam. Badan ini cukup lelah, aku tak mau ketika nanti melakukan perjalanan mendaki tidak dalam kondisi fit. Pilihan tidur adalah alasan yang tepat dibanding meladeni perbincangan receh dengan rekan seperjalanan. Maaf ya.

Menjelang sore hari kami tiba di pertigaan Tarogong kota Garut. Ferry salah seorang teman kami sudah menjemput dengan mobil bak terbuka. Kami bertujuh menuju rumahnya untuk mengatur rencana perjalanan pendakian ke Gunung Guntur nanti malam dan beristirahat. Makanan khas Sunda yang disediakan kami santap dengan beringas dan tanpa ampun, mengisi perut yang sangat keroncongan. Aku kembali memilih untuk tidur sementara 2 orang rekan kami dari Bogor akhirnya ikut bergabung di Garut.
Memulai Pendakian
Perlengkapan segera kami kemas untuk dibawa melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya menikmati makan malam. Logistik terbagi ke dalam masing-masing keril yang kami bawa. Malam itu kami bersepakat memulai pendakian dan memutuskan bermalam di basecamp Cikahuripan. Total jumlah orang dalam rombongan kami adalah 14 orang dan turut serta 3 ekor anjing pemburu babi hutan. Sebuah rombongan yang cukup gendut.
Jalan aspal kampung yang menanjak dan berlanjut dengan jalur tanah di 20 menit pertama langkah menjadi awal ujian kami. First step wouldn’t an easy way. Peperangan baru saja dimulai. Walaupun aku rajin berolah raga lari sepanjang minggu, tetap saja dengan berat beban di punggung perlu penyesuaian baik dari langkah dan pengaturan napas agar dapat mengikuti ritme. Perjalanan kami malam ini menempuh jalan perkampungan dan berlanjut menapaki jalan beton yang menanjak terjal. Rupanya jalan beton ini mengarah ke pabrik susu milik PT. ABC Kogen Dairy dan PT. Raffles Pacific Harvest, sebuah pabrik industri pengolahan susu dan peternakan sapi perah modern berbasis teknologi terbaru di Garut. Menurut informasi yang kudapatkan hasil meramban di internet, luas lahan yang dimiliki perusahan asing ini mencapai 72 hektar dengan daya tampung lebih dari 10.000 sapi. Oleh penduduk sekitar tempat ini lebih dikenal dengan nama Kandang Sapi.

Butuh waktu 3 jam untuk sampai ke base camp Cikahuripan. Dari jalan beton menanjak terjal itu kami berbelok ke arah perkebunan cabai dan tembakau milik warga, setelah sebelumnya diarahkan oleh seorang security pabrik yang melarang rombongan kami melintas memasuki wilayah pabrik. Ternyata kawasan itu terlarang untuk umum. Tanpa jeda kami berjalan dalam kegelapan dengan bantuan senter menembus area perkebunan, hingga akhirnya sampai di base camp. Kami meletakkan keril dengan sekenanya, pundak serasa mau rontok sementara kaki berasa capek dan pegal. Bekal nasi dan semur daging domba yang dibawa dari rumah Ferry sontak menjadi primadona untuk segera disantap. Kami benar-benar lapar dan beringas menghabiskan bekal nasi itu tepat di tengah malam. Setelahnya kami memutuskan untuk beristirahat dan tidur.
Tile, salah seorang teman kami bikin perkara dengan menonton siaran langsung sepak bola piala dunia secara streaming dan tidak beristirahat. Kisah selanjutnya tentang Tile akan aku tulis pada bagian lainnya di cerita ini.
Istirahat Yang Singkat dan Suhu 15 Derajat Celcius
Dengan malas aku membuka mata diikuti teman-teman yang lain. Jam menunjukkan pukul 2.30 dini hari. Setengah jam kami pakai untuk membereskan peralatan tidur dan juga mencuci muka. Tepat pukul 3.00 kami memulai perjalanan menuju puncak Guntur. Angin berhembus lumayan kencang dengan membawa suhu dingin 15 derajat Celcius.

Awal perjalanan dengan kontur tanah gembur ketika melintas perkebunan milik warga menjadi pe-er tersendiri bagi kami. Selanjutnya kami dihajar jalur menanjak dengan rumput yang tinggi di kanan-kiri. Jalur terjal menanjak ini seakan tanpa ampun kami lewati dengan susah payah. Tampak kota Garut dengan kerlap-kerlip lampunya menjelang subuh di belakang kami. Sungguh indah.
Beberapa kali kami berhenti untuk kembali mengatur napas dan minum. Waktu berjalan merambat menuju fajar, sementara kami masih berjibaku menaklukkan medan menantang di depan kami. Akhirnya kami terpisah menjadi 2 rombongan, karena beberapa rekan kami kepayahan. Jalur yang dilalui kali ini memang bukanlah jalur resmi yang pernah kami lewati tahun lalu. Kami dibawa melewati jalur evakuasi oleh para guide yang berada di depan. Pantas saja terjalnya ajaib dan menguras tenaga. Kami sampai di POS I (Panyawangan, 1721 mdpl) lebih cepat dari dugaan. Setelah beristirahat sebentar perjalanan berlanjut menuju POS II (Panyileukan, 1854 mdpl) dengan bergegas.
Kembali kami harus mengkonsumsi jalur yang terjal, sempit dan berbatu. Menurutku ini lebih terjal dari yang kami lewati pada saat di bawah tadi. Sial. Beberapa kali nyaris terpeleset karena salah mengambil pijakan. Benar-benar ujian fisik, mental dan emosi bahkan Tile sempat hampir pingsan di tanjakan ini. Beberapa kali ia mengeluhkan perut dan dadanya yang sakit. Pada satu ketika ia menunduk dan muntah karena tak tahan. Kamipun terpaksa menghentikan langkah. Memberikan sedikit asupan makanan dan minuman serta membalurkan krim penghangat di kakinya.
Baca juga: Pendakian sebelumnya ke gunung Guntur
“Kau mau lanjut perjalanan atau kita semua tinggal di sini menunggu terang? Kita bakal balik ke base camp kalau kau nggak sanggup,” tanyaku kepada Tile yang sudah kepayahan.
“Tunggu sebentar ya. Aku ambil napas dan istirahat sejenak,” jawabnya.
Perjalanan akhirnya dilanjutkan, tentu saja kecepatan kami tidak seperti sebelumnya. Perlu jeda waktu untuk kembali menyelaraskan napas dengan udara yang kian menipis di ketinggian. Sementara terpaan angin yang berhembus cukup kencang menjadi batu ujian kami lainnya.
100 Meter Menuju Puncak
Tanjakan curam terakhir terlewati walaupun dengan susah payah. Walaupun sama-sama berat (jalur utama merupakan jalur berpasir) tetapi jika aku boleh memilih tentunya akan memilih jalur evakuasi karena lebih cepat. Tetapi siap-siap saja ya, jalur ini sinting banget tanjakannya!

Di lembah terakhir – yang kami sebut lembah penantian – 200 langkah sebelum menuju puncak, tampak teman-teman yang lain sedang beristirahat sambil menunggu kedatangan kami. Sang Bagaskara sebentar lagi terbit, ditandai dengan rona memerah di ufuk timur yang mengintip. Bergegas kami kembali menyiksa kaki, emosi dan mental kami untuk tanjakan terakhir. Melajukan langkah serta mengumpulkan tekad untuk menuntaskan kerinduan yang kami pupuk sedari di kaki gunung. Tak terhitung lagi berapa kali lutut beradu dada dan merosot dari tanjakan. Seandainya ini strategi bermain bola, kami adalah penganut Catenaccio. Permainan bertahan dengan sesekali melakukan serangan balasan. Kami benar-benar bertahan melawan hawa yang cukup dingin (terbaca 9 derajat Celcius), tanjakan terjal dengan kemiringan mencapai 75 derajat, berat beban di keril, tingkat emosi dan mental di batas maksimal yang nyaris membuat kami menyerah.
Silver sunrise menjadi kado bagi kami semua yang mampu bertahan dari semua terpaan ujian sepanjang malam. Kami berdiri diatas gundukan tanah setinggi 2249 mdpl. Luapan emosi dari kami masing-masing diabadikan dalam bentuk swafoto berlatar belakang lukisan bentang alam yang menakjubkan. Goresan maha karya Sang Pencipta yang sempurna!
Mendaki gunung Guntur itu menguras tenaga, batin dan perasaan – semacam mencintai kamu gitu deh. Gunung Guntur memang tak setinggi Mahameru namun juga lumayan menyiksa. Perjalanan kali ini memang tak sesuai perkiraan dan harapan kami, tetapi apa yang kami temui lebih dari apa yang kita pikirkan. Membiarkan diri terhempas oleh “siksaan” alam memberikan pelajaran bahwa sekalipun perjalanan tersulit mampu kita lewati tetaplah harus lutut ketemu dada alias stay low. Pada lain waktu masih banyak jalan terjal lainnya yang harus kita lalui. Dalam setiap perjalanan di alam bebas, seseorang akan menerima jauh lebih banyak dari apa yang ia cari, begitu kalimat yang aku kutip dari John Muir.

Pulang
Kami yang kelaparan segera membuat sarapan dan menikmatinya bersama-sama, ditemani secangkir teh dan kopi panas. Beberapa dari kami memilih tidur tanpa alas dengan penghangat asap belerang yang mengepul dari permukaan tanah. Bahagia yang paripurna. O ya anjing yang ikut serta, sangat setia menunggu ketika kami tercecer di belakang saat dalam perjalanan. Ia yang berjalan menyelap-nyelip diantara kaki dan menyalak riang seakan menjadi energy booster bagi kami. Baik banget sih kalian…
Perjalanan turun menyusuri jalur berkontur pasir dan kerikil tentunya mempercepat langkah kami, walaupun tak serta merta membuatnya menjadi lebih mudah. Kabut tebal yang turun dengan cepat membuat kami makin bergegas. Satu hal yang membuat semangat kami masih tetap membara, masakan khas Sunda lengkap dengan ikan asin dan sambalnya sudah menanti di rumah Ferry.
Di base camp Cikahuripan, kami beristirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Lutut yang terasa agak nyeri menjadi halangan bagiku untuk bergegas melangkah. Beruntunglah di tengah jalur beton yang menurun curam itu kami menemukan warung untuk meluruskan kaki. Keberuntungan selanjutnya dengan datangnya mobil untuk mengangkut kami yang sudah sekarat kepayahan menuju rumah.
Terima kasih untuk semua teman-teman perjalananku kali ini. Kalian batu!
Terima kasih juga untuk semua hal yang telah mengajarkanku. Dan semua yang belum bisa aku pelajari.
Masnya suka naik gunung juga ternyata…
Lestari mass !!! 😁
LikeLiked by 1 person
Salam rimba, mas. Yuuk nanjak bareng 🙂
LikeLiked by 1 person
Waduhh.. udah lama ga nanjak mas.. udah 3 tahun.. 😂
LikeLiked by 1 person
Hahaha… Mesti disempatkan, mas. Sayang kerilnya nggak dicangklong di punggung lho
LikeLiked by 1 person
Iya juga sih mas.. tapi nantilah.. belum ada kepikiran naik gunung lagi.. 😁
LikeLiked by 1 person
Siap, mas. Tracking tipis-tipis saja ya, mas. Kasihan kerilnya jarang diajak jalan 🙂
LikeLike
pengen naik gunung tapi gak kuat dingin klo pas malam nya..
LikeLiked by 1 person
Mesti sedia semua perlengkapan dengan baik sih kuncinya; jaket tebal, kaos kaki juga sudah ada yang hangat kok.
Asyik kok naik gunung.
Salam.
LikeLike
widih foto2 nya keren nih
LikeLiked by 1 person
Terima kasih, masih belajar motret juga kok 🙂
Salam.
LikeLike
Itu ga buka tenda yaa mas…?
Pasti kalau buka tenda bakal lebih lama dan bisa bersantai menikmati suasana gunung guntur 😀
LikeLiked by 1 person
Kebetulan nggak, mas. Karena waktu yang mepet begitu sampai base camp dan istirahat hanya jeda sebentar. Malas buka tenda cuma sebentar.
Tahun lalu sewaktu pendakian pertama kita buka tenda di base camp, menyenangkan juga 2 hari di Guntur.
Salam.
LikeLike
Wah mantabh nih treknya, kapan2 nyoba ah…
Btw, tulisannya OK, sdh mencampur aduk sepak bola, quote dan rasa perjalanan dlm 1 bingkai. Keep it up gaes
LikeLiked by 1 person
Terima kasih apresiasinya, mas. Silahkan mencoba nanjak Guntur yang menyiksa 🙂
Salam
LikeLike
jadi butuh berapa lama total buat naik ke puncak mas?
foto-fotonya keren…
LikeLiked by 1 person
3 jam kami sampai puncak, mbak. Itu kita lewat jalur evakuasi, jadi bisa lebih cepat. Plus kami slow walker kok 🙂 harusnya sih bisa lebih cepat.
Kalau lewat jalur biasa kurang lebih 4 jam.
Salam
LikeLike
Pengen nanjak, tapi gak kuat bawa keril-nya
Negara jagoan-nya masuk final piala dunia gak kak?? Hahha
LikeLiked by 1 person
Sewa porter kalau nggak kuat bawa keril, mbak. Kitanya tinggal foto-foto,,, Hehehe. Sekali-sekali mesti coba bawa keril, asyik lho.
Walaah jagoan saya Brazil sudah mudik duluan di perempat final 🙂
Salam
LikeLike
Aku salut sm anak gunung, soalnya aku g berani. Haha. Keren banget pemandangannya. Coba bisa kesana tanpa harus trekking.
LikeLiked by 1 person
Terima kasih apresiasinya, mbak.
Saya juga mau kalau ada eskalator dari kaki gunung sampai puncak, sampai atas kita makan ayam kremes… Hahahaha
Salam
LikeLike
Jadi kangen naik gunung kan :”) Perjalanan ke puncak memang selalu memberi kesan yang menyenangkan. Maka berbahagialah kalian yang pernah dan bisa merasakan puncak 😉
LikeLiked by 1 person
Mungkin dulu saya selalu harus berada di puncak ketika menjelajah gunung; tetapi sekarang lebih menikmati proses perjalanannya yang terjal dan berbatu.
No men left behind kalau kata film Black Hawk Down 🙂
Yang penting kebersamaan dengan sesama rekan pendaki. Puncak adalah bonus
LikeLike
Akkk jadi kangen puncak. Always get a wonderful experience setiap kali naik gunung. Selamat mendaki puncak selanjutnya! Jangan lupa d share bahagianya hehe
LikeLiked by 1 person
Betul, mbak. Expect the unexpected. Menjelajah gunung menggali banyak cerita – baik senang, sendu maupun konyol.
Salam rimba.
LikeLike
Waaa masnya keren berani naik gunung yang tinggi-tinggi. Aku nggak kuat dingin dan capeknya 😍😍😍
LikeLiked by 1 person
Saya juga maunya naik ojek daring sampai puncak biar nggak capek, mbak. Sayangnya nggak ada 😛
Salam.
LikeLike
Asik banget naik gunung. Tambah pula diceritain dengan menarik bikin aku yang baca jadi ikut kebawa suasana, hehe…
Dari dulu suka sama hawa pegunungan, tapi kalau naik sampai puncak belum pernah. Tenaganya nggak kuat 😂
Sukses mas untuk pendakian2 selanjutnya
LikeLiked by 1 person
Terima kasih apresiasinya, mbak.
Naik tipis-tipis saja, mbak. Yang penting olah raga gerak. Tracking juga asyik kok kalau tenaganya nggak kuat naik gunung 🙂
Terima kasih.
LikeLike
Aku baca cerita ini kok seru ya..
Tp saat mengalami naik gunung kok merinding wkwkwk
Nafasku g kuat dan fisik g mendukung. Makanya lebih suka travel city tour -_-
LikeLiked by 1 person
Naik gunung memang perlu effort lebih sih, kak. Mesti rajin olahraga sebelum pendakian, paling tidak supaya lebih bisa mengatur napas.
City tour juga sama sih, karena ketika menjelajah kota pasti juga akan banyak jalan kaki – cuma bedanya nggak nanjak jalannya. Plus banyak warung di sepanjang jalan 🙂
Salam
LikeLike